Wujudkan Pemerataan Sistem Pendidikan Inklusif untuk Capai Tujuan Pendidikan Nasional

Tulisan berjudul  Wujudkan Pemerataan Sistem Pendidikan Inklusif untuk Capai Tujuan Pendidikan Nasional ini diikutkan lomba menulis Bisnis.com akhir tahun lalu. Sayangnya gagal masuk ke dalam 50 besar. Untuk menjadi 50 besar harus mendapatkan vote dan views yang besar, lalu keseluruhan pendaftar di-ranking berdasarkan urutan perolehan itu.

Setelah itu baru dinilai kualitas tulisannya oleh juri. Saya percaya diri kalau tulisan ini “boleh diadu kualitasnya” namun ... sayangnya, tulisan saya tak berhasil tembus 50 besar. Perolehannya sebesar 262 vote dan 1000-an views (saya lupa tepatnya berapa yang sudah baca). Rasanya usaha saya sudah optimal untuk share ke mana-mana. 😅

Apa boleh buat, para peserta yang masuk 50 besar itu jumlah vote dan views-nya RAKSASA semua 😆. Sampai puluhan ribu yang baca dan ribuan yang vote. Entah bagaimana bisa seperti mereka. 😁 Ah sudahlah, yang penting sudah berusaha. Tulisan ini saya tayangkan di sini. Semoga bisa bermanfaat.


Wujudkan Pemerataan Sistem Pendidikan Inklusif untuk Capai Tujuan Pendidikan Nasional

“Bagus sekolahnya. Banyak anak bodo’-bodo’ jadi pintar keluar dari sini,” kata seseorang kepada suami saya ketika mengunjungi sekolah dasar itu. Tak enak didengar tapi apa hendak dikata. Begitulah pandangan umum orang di Makassar terhadap anak yang perkembangannya tak seperti anak seusianya.

Bungsu kami kini sudah kelas 3 di sekolah tersebut. Dia masuk melalui jalur inklusi. Keadaannya yang speech delay dan terlambat dalam beberapa hal dibandingkan anak seusianya membuat kami memutuskan memasukkannya di sekolah ini.

Di sekolahnya, belasan anak berkebutuhan khusus diakomodasi belajar bersama anak-anak reguler. Sistem inklusi yang dirintis sejak tahun 2002 membuat semua guru, siswa, hingga penjaga kantin paham bagaimana bersikap terhadap ABK.

Di tengah keterbatasan kurangnya tenaga pendidik kategori Aparatur Sipil Negara, saya menyaksikan berjalannya sistem inklusif di sekolah ini. Tak harus mahal ternyata untuk menjadi sekolah inklusi. Jalan terbuka bermodalkan itikad baik dan tekad kuat dalam mengikuti peraturan pemerintah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan & Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa telah mengatur caranya.

Pasal 1 Permen tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan berpotensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.


Tujuan pendidikan inklusif (Depdiknas: 2009, 10-11) di antaranya adalah: memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan pendidikan layak sesuai kebutuhannya, membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar; membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah, dan menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.

Adapun manfaat pendidikan inklusif untuk ABK/disabilitas adalah meningkatkan kepercayaan diri, berkesempatan menyesuaikan diri, dan memiliki kesiapan menghadapi kehidupan di masyarakat. Sedangkan peserta didik pada umumnya dapat belajar mengenai keterbatasan, kelebihan, dan keunikan tertentu pada temannya sehingga dapat mengembangkan keterampilan sosial, menumbuhkan rasa empati dan simpati terhadap orang lain (Kustawan, 2013: 18).

Setelah 10 tahun ditetapkan, seharusnya pendidikan inklusif menjadi pola yang wajar dan mendewasa. Kenyataannya tak demikian sebab banyak sekolah tak menerapkannya. Belum lama ini di Makassar, seorang difabel daksa ditolak masuk sebuah SMP negeri yang menyatakan dirinya sekolah inklusi.

Beberapa bulan lalu, lini masa Facebook saya ramai dengan kasus seorang siswi SMA difabel netra yang menuntut persamaan hak belajar di sekolahnya. Permasalahan itu mencuat ketika permintaan menggunakan laptop dan menggunakan GPK ditolak. Keinginannya untuk bersekolah tidak diamodasi dengan baik oleh pihak sekolah.

Lagu lama, sekolah inklusi menolak difabel. Padahal kisah difabel yang menginspirasi sudah banyak beredar. Helen Keller (penulis Amerika, 1880 – 1968), salah satu contohnya. Helen adalah orang buta-tuli pertama yang lulus perguruan tinggi. Dia dosen dan penasihat senior bagi difabel. The Story of My Life adalah salah satu buku karyanya yang berisi kisah hidupnya.


Dr. Handry Satriago,  profesional berkursi roda merupakan CEO dari perusahaan besar. Sebelumnya dia bekerja di beberapa perusahaan lokal sebagai Direktur Business Development. Nur Sahadati Amir (Nunu), kawan blogger saya, memiliki beberapa keterbatasan fisik. Walau sering mengalami diskriminasi, Nunu berhasil menyelesaikan S1-nya. Kini dia bekerja sebagai ASN pada sebuah instansi di Jakarta dan tengah menyelesaikan studi S2-nya.

Pada tahun 2015, Anis Rahmatillah – pengguna laptop dengan kaki karena lengannya tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, meraih juara 1 pada Olimpiade Sains Nasional. Nick Vujicic – motivator kelas dunia telah mengunjungi lebih dari 25 negara meskipun dia terlahir tanpa kedua kaki dan lengan.

Mereka bukti bahwa keterbatasan bukan berarti sama sekali tidak mampu. Alih-alih dikasihani, difabel hanya butuh dimengerti dan dimaklumi bahwa mereka berdaya dengan cara berbeda. Fasilitasi mereka dengan metode yang tepat, misalnya dengan dengan menjalankan sistem pendidikan inklusif.

Albert Einstein yang pernah disangka bodoh dan bermasalah pada masa sekolahnya pernah menulis, “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”

Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, ia akan hidup selamanya dengan percaya bahwa dirinya bodoh. Seorang difabel netra memiliki kecerdasan yang sama dengan yang mampu melihat. Biarkan dia belajar menggunakan laptop, jangan minta dia untuk melihat ke papan tulis lalu menulis!

Berdayakan semaksimal mungkin lulusan Pendidikan Luar Biasa untuk menjadi GPK, tingkatkan kapasitas mereka dengan pelatihan yang sesuai, dorong penerapan pendidikan inklusif baik di sekolah swasta maupun negeri, penuhi kebutuhan guru ASN di sekolah negeri termasuk tenaga GPK-nya, berikan dana operasional pendidikan inklusif, dan edukasi para kepala sekolah serta orang tua perihal pendidikan inklusif.


Sekali lagi, dengan itikad baik dan tekad kuat segala keterbatasan bisa di atasi. Bukti terselenggaranya pendidikan inklusif dengan biaya minim sudah ada, yaitu sekolah anak bungsu saya. Maka janganlah mengatakan tidak bisa atau tak mampu jika belum berusaha.

Bukankah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia adalah tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang termaktub dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus kita dorong terlaksananya?

Bukankah warga negara yang baik bersedia mendukung program yang baik? Bersediakah Anda share tulisan ini agar makin banyak orang yang aware dengan pendidikan inklusif?


Makassar, 2019

Baca juga tulisan-tulisan tentang difabel:


Baca tulisan-tulisan tentang sekolah/pendidikan inklusi:





Share :

15 Komentar di " Wujudkan Pemerataan Sistem Pendidikan Inklusif untuk Capai Tujuan Pendidikan Nasional"

  1. Sistem pendidikan inklusi ini saya belum ketemu sih di sekitar, ada anak dari saudara suami difable juga sekolah di sekolah khusus padahal secara kecerdasan nurut saya ga ada masalah apa-apa.
    Akan ttetapi sistem pendidikan di negara kita usdah banyak kemajuan ya untuk para difable ini karena lebih diperhatikan dan skill mereka pun mulai dipertimbangkan.

    ReplyDelete
  2. Menurut saya memang penting sih pemerintah menata lagi sistem pendidikan terutama untuk ABK, entah pelatihan juga untuk guru-gurunya dan sosialisasi ke masyarakat luas untuk bersikap terhadap anak ABK. Karena seringkali kasian anaknya malah jadi dikucilkan mba. Sedih liatnya.

    ReplyDelete
  3. Jangan memandang sebelah mata anak-anak
    difabel karena sesungguhnya mereka lebih berprestasi drpada anak keumuman.

    ReplyDelete
  4. saya bersedia aja sih mbak, untuk lebih mensosialisasi pendidikan inklusi tersebut. Sedikit share, ponakan saya menderita autism namun dia bisa bersekolah di sekolah biasa bukan di SLB

    ReplyDelete
  5. Saya juga sungguh berharap, sekolah inklusif diterapkan di semua sekolah Indonesia tanpa pandang bulu

    Hasilnya akan baik untuk kedua belah pihak

    ReplyDelete
  6. Bener banget mbak, saya selalu ingat pesan guru saya "Jangan mengira hanya hewan yang bisa memanjat pohon adalah hewan yang pintar, jika demikian maka tidak akan ada ikan yang pintar". Kita semua pintar dengan porsinya masing-masing

    ReplyDelete
  7. Harusnya di zaman serba digital sekarang tidak lagi ada diskriminasi-diskriminasi itu untuk difabel ya mba. Era serba terbuka, informasi masuk dari mana saja. Saya pun heran kok masih ada pola pikir yg sempit dan tidak ikut menyukseskan pendidikan inklusi.

    ReplyDelete
  8. Harusnya di zaman serba digital sekarang tidak ada lagi diskriminasi-diskriminasi terhadap kaum difabel ya mba. Era serba terbuka, informasi masuk dari mana saja. Saya pun heran kok masih ada pola pikir yg sempit dan tidak ikut menyukseskan pendidikan inklusi.

    ReplyDelete
  9. Sekolah inklusi buatku sangat menolong dan membantu. Kebetula anakku usia 5 tahun tapi speech delay. Ahamdulillah banyak perkembanga

    ReplyDelete
  10. Oh ya kak, tapi ada saya baca juga status seorang teman fb dengan 3 anak ABKnya yang sepertinya dia tidak melulu setuju dengan pendidikan inklusif. Jadi dia setuju dengan pendidikan macam di SLB gitu, para ABK bisa dididik pula kemandirian hidup di sana. Nanti sa infokan akun fb beliau nah.

    ReplyDelete
  11. Saya pernah punya pengalaman mengajar di salah satu SMK dekat rumah semasa kuliah. Salah satu murid saya dulu termasuk yang butuh perhatian khusus, dan nggak semudah yang dibayangkan. Semoga banyak lembaga pendidikan yang melakukan hal ini, agar pendidikan jadi merata. Aamiin.

    ReplyDelete
  12. Hi, Mbak. Sekolah anak-anakku sudah dua tahun ini berstatus sebagai sekolah inklusi. Di sana ada anak-anak ADHD, speech delay, sampai difabel. Yang sangat aku apresisasi, sekolah mengundang perwakilan orangtua murid untuk menyampaikan perubahan tersebut beserta alasannya. Sekolah juga menyelenggarakan workshop yang wajib dihadiri semua orangtua murid dan memaparkan apa dan bagaimana sekolah inklusi.

    Kami juga diperkenalkan siswa/i ABK yang mana saja beserta fotonya. Tujuannya, agar apabila kami menemukan anak-anak tersebut berada di red zone sekolah, kami bisa membimbing mereka kembali ke kelas atau ke ruang guru terdekat.

    Salam sayang untuk putranya ya, Mbak.

    ReplyDelete
  13. Sebenarnya sudah banyak sekolah inklusi, hanya kadang sumber daya terbatas..

    Khusunya untuk guru pendamping, biasanya sekolah tetap menerima tapi ortu harus menyediakan guru pendamping sendiri..
    Klau di sekolah anak saya seperti itu sih

    ReplyDelete
  14. Di Sekolah anakku juga yang difabel bisa sekolah dan diterima dengan baik, selain untuk pemerataan pendidik saya pikir bagus buat empati anak juga, jadi paham bahwa ada perbedaan fisik macam itu.

    ReplyDelete
  15. Harapanku juga sekolah inklusi ini bisa memberikan penolong dan membantu anak-anak yang mengalami perkembangan agak delay. Jadi PR banget buat lembaga pendidikan agan melakukan pemerataan nih.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^