Berikutnya,
Pak Tri memperlihatkan dua gambar yang berdampingan: gambar taman dengan aneka
ukuran tumbuhan dan bebungaan berwarna-warni. Yang satunya gambar rumput semata.
Yang mana yang lebih menarik? Pertanyaan ini serempak kami jawab dengan mengatakan
bahwa gambar tamanlah yang lebih menarik.
Sekarang, gambaran kondisi kelas peserta didik diperlihatkan oleh Pak Tri. Ada perempuan, ada lelaki. Ada yang gemuk dan ada yang kurus. Ada yang berkulit gelap dan ada yang terang. Mereka juga berasal dari berbagai suku. Pun memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Itu kondisi real-nya. Gambaran alam hijau, taman, dan kondisi realitas tersebut menunjukkan keberagaman. Pada kenyataannya kita memang hidup dalam keberagaman.
“Kehidupan
kita sehari-hari tidak sama semua.
Dalam masyarakat juga begitu. Beragam!” seru
Pak Tri.
Dia lalu
menegaskan bahwa dalam masyarakat ada perbedaan dalam keadaan sosial-ekonomi,
fisik, dan sebagainya. Tidak mungkin dalam hidup ini ada orang kaya atau orang
ganteng saja. Gambar pemandangan yang menunjukkan keberagaman adalah gambar
yang indah. “Maka keberagaman itu
seharusnya indah,” tukas Pak Tri.
Kembali dalam konteks sekolah, tidak mungkin memilih anak yang masuk sekolah dengan kondisi tertentu saja karena pada kenyataannya anak-anak kita beragam. “Kelas kita sebenarnya merupakan contoh kecil dari bentuk keberagaman di masyarakat,” Pak Tri menegaskan.
Pada
hakikatnya kita memang sudah terbiasa dengan keberagaman karena memang
kehidupan kita beragam. “Maka kenapa kalau ada anak kita yang berkebutuhan
khusus, kita tidak bisa menerima?” Padahal keberagaman bukanlah hal yang aneh.
Sejak dini usia, kita disuguhkan dengan keberagaman di mana-mana. Semesta ini
pun diciptakan beragam. Keberagaman merupakan hal yang normal dan wajar maka
hendaknya tidak ada diskriminasi pada anak-anak kita yang berkebutuhan khusus.
Pak
Tri menegaskan bahwa kemampuan yang berbeda-beda merupakan hal yang normal,
begitu pun anak yang memiliki hambatan intelektual atau anak-anak yang memiliki
keterbatasan fisik. Perbedaan itu bukanlah hal yang aneh. Nomal-normal saja. Anak-anak
itu termasuk bagian dari keberagaman.
Pak Tri lantas memaparkan pengertian anak berkebutuhan khusus (ABK), yaitu anak yang mengalami hambatan perkembangan, hambatan belajar dan memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan karena faktor internal (permanen) dan eksternal (temporer), dan kombinasi dari keduanya sehingga diperlukan adaptasi dalam pembelajaran (tujuan, bahan, metode/media, dan penilaian).
Ada
berbagai macam ABK, yaitu:
- Anak dengan hambatan penglihatan.
- Anak dengan hambatan pendengaran.
- Anak dengan hambatan intelektual.
- Anak dengan hambatan fisik dan motorik.
- Anak autistik.
- Anak dengan hambatan emosi dan perilaku.
- Anak dengan hambatan majemuk.
- Anak lambat belajar.
- Anak berkesulitan belajar.
- Anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa.
Anak-anak ini membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan yang berbeda-beda satu sama lain. Dibutuhkan adaptasi dalam pembelajarannya. Adaptasinya dalam bentuk adaptasi tujuan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, bisa bahan pembelajarannya, bisa juga metodenya, atau penilaiannya. Anak yang mengalami hambatan pendengaran misalnya, tesnya jangan listening. Contoh lainnya, anak yang difabel netra jangan dikasih tes peta buta.
Termasuk
juga anak yang kecerdasannya dan berbakatnya istimewa, lho. Anak seperti ini
butuh perlakuan khusus. Tidak bisa disamakan dengan anak lain karena dia
melampaui anak-anak lainnya. Dia akan bosan berada di dalam kelas reguler dan
bisa mengganggu kawan-kawannya karena cepat menguasai pelajaran. Anak yang
cerdas dan berbakat istimewa juga butuh layanan pendidikan khusus.
Terakhir,
Pak Tri memaparkan kesimpulan dari materi Konsep Pendidikan Inklusif ini, yaitu bahwa:
- Semua anak berbeda.
- Perbedaan bisa menjadi kekuatan.
- Semua anak dapat belajar.
- Belajar merupakan kerja sama antara guru, orang tua, dan masyarakat.
Saya dan Anda tentu tak ingin juga dibanding-bandingkan dengan orang lain lalu kekurangan kita ditonjolkan. Karena masing-masing kita memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan ataupun dipersamakan dengan orang lain. Begitu pun anak-anak kita. Di antara yang bersaudara kandung, bahkan kembar sekalipun, ada perbedaan. Apalagi antara anak berkebutuhan khusus dan anak lain.
Setiap
anak punya hak yang sama. Mereka butuh diakomodasi dan difasilitasi oleh orang-orang
dewasa, terutama yang punya otoritas dalam tataran kebijakan dan pelaksana
pendidikan. Semoga pendidikan yang inklusif bisa ditegakkan di negara ini.
Makassar, 7 September 2018
Baca juga tulisan lainnya tentang Pendidikan Inklusi:
- Menaruh Asa pada Pergub untuk Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
- Peran Guru Pendidikan Khusus Bagi Sekolah Inklusi
- Tanggung Jawab Kita dalam Mewujudkan Sekolah Inklusi
- Menanti Merdekanya Pendidikan yang Inklusif Bagi Semua Anak
- Membangkitkan Pendidikan yang Inklusif di Makassar
Share :
Saya setuju dengan konsep pendidikan inklusif
ReplyDeleteHidup dalam keberagaman, itulah INDONESIA
ReplyDeleteBerbeda-beda tetapi tetap satu :)
“Maka keberagaman itu seharusnya indah” saya setuju dengan kalimat ini
ReplyDeleteSemoga dengan adannya Konsep Pendidikan Inklusif ini tidak ada diskriminasi pada adik-adik kita yang berkebutuhan khusus ya :)
ReplyDeleteSaya setuju sekali dengan kesimpulan dari materi Konsep Pendidikan Inklusif yang mengikut sertakan masyarakat di dalamnya.
ReplyDeleteSaya sangat mengapresiasi Konsep Pendidikan Inklusif ini. Setiap anak punya hak yang sama bukan?? :)
ReplyDeleteSemoga kedepannya tiap sekolah negeri ada kelas khusus inklusi dan guru yang kompeten ya mbak. Karena mereka berhak mendapat pendidikan yang layak hingga Sma.
ReplyDeletesaya pernah ikut kela sinspirasi di sekolah inklusif, aduh suka banget lihatnya, yang normal banyak bantu dan gurunya sabar banget
ReplyDelete