Melawan Kecamuk Rasa: Wujudkan Lingkungan dan Budaya Aman, Nyaman, Menggembirakan - Saya menepati janji, datang ke sekolah si bungsu jelang waktu shalat Jumat tanggal 24 Oktober lalu. Beberapa hari sebelumnya, saya mengirim pesan WhatsApp kepada kepala sekolah. Kepada kepsek saya menyampaikan niat saya mendampingi jika ada murid yang ingin ikut Sayembara 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat Tema Bakti dalam Warna dan Kata: Karya Anak untuk Ibu dan Ayah. Sayembara yang skalanya nasional itu berlangsung bulan Oktober lalu.
Demikian
halnya, jika ada guru yang berminat mengikuti Sayembara Praktik baik
“Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat untuk Indonesia Emas 2045”di
waktu yang sama, saya pun bersedia mendampingi. Kedua sayembara tersebut
diselenggarakan oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), Kementerian
Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Salah
seorang guru mengabarkan bahwa beberapa siswa akan diikutkan lomba. Oleh karena
itu saya berjanji datang ke sekolah untuk membaca tulisan anak-anak dan sebisanya
membantu mereka mengikuti lomba.
Saat
saya tiba di sekolah, para guru dan murid lelaki berbondong-bondong pergi shalat
Jumat ke masjid dekat sekolah. Saya berpapasan dengan seorang anak lelaki,
adik kelas Afyad. Saya tersenyum tipis padanya. Dia terlihat kikuk melihat saya
dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Konflik Dua Remaja
Saya
kenal anak ini, sebut saja dia X. Dia dan putra saya sering berkonflik sejak
tahun lalu, bahkan sampai baku pukul – dua atau tiga kali. Permasalahan demi
permasalahan timbul, membuat saya beberapa kali datang ke sekolah untuk
menyelesaikannya. Saya sampai dibuat gemas tiada tara pada anak itu karena anak
saya sempat tak mau bersekolah selama berhari-hari.
Urusan
kedua anak ini cukup alot karena X seorang anak yang jail. Dia sangat
aktif bergerak dan berceloteh. Setiap hari, ada saja anak yang diganggunya.
Kepada putra saya, beberapa cara dia lakukan, salah satunya dengan berulang
kali menyanyikan lagu yang tak disukai putra saya.
Afyad
seorang penyintas speech delay. Untuk sejumlah hal, dia berbeda dengan
anak-anak sebayanya meski badannya besar. Dia punya persepsi sendiri terhadap
si X dengan segala kelakuannya. Akumulasi kejengkelannya pada X membuatnya
sering negative thinking si X mengganggunya padahal belum tentu begitu
maksudnya. Bisa saja X sedang mengganggu anak lain atau sedang gabut karena
memang dia tak bisa diam.
Saya
sudah pernah berbincang dari hati ke hati dengan X, juga beberapa kali
membujuknya dengan anekan cemilan dan minuman namun tidak berhasil. Ketenangan
antar keduanya hanya bertahan beberapa hari. X masih sering jail dan Afyad
masih menyimpan kejengkelan memuncak yang bisa sewaktu-waktu meledak dan
persepsi yang belum tentu benar.
Secara
emosional, Afyad terganggu. Saya perhatikan, dia pernah sampai ke titik marah,
takut, dan frustrasi sekaligus. Dia menolak mengikuti kegiatan-kegiatan penting
di sekolah sampai mogok sekolah dan tak mempan dibujuk rayu dengan uang jajan
dan sanksi tak boleh pakai wifi. Dia yang sangat suka uang dan internet menolak
diberi uang dan difasilitasi wifi.
Sebagai
ibu, saya tentu sempat terpengaruh dengan aneka kecamuk rasa yang membuat pagi
hari saya dimulai dengan kelelahan membujuk si bungsu bersekolah. Namun
demikian, saya menyadari tetap harus fight untuk mengembalikan si bungsu
ke sekolah dan bertindak bijak.
Bersyukur,
pihak sekolah, mulai dari kepala sekolah dan guru-guru berupaya sekuat tenaga
mengatasi konflik antara kedua remaja ini di sekolah. Komunikasi intens saya
lakukan dengan pihak sekolah. Secara perlahan upaya di rumah dan sekolah
membuahkan hasil, Afyad mau kembali bersekolah dan konflik bisa diminimalkan.
Saat ini saya tak pernah lagi mendengar Afyad menyebut nama X sebagai
pengganggu.
Saya
duga karena konflik tajamnya dengan Afyad itulah makanya X kikuk saat melihat
saya di sekolah. Begitu juga reaksinya ketika dia tak sengaja bertatapan dengan
suami saya yang setiap harinya mengantar-jemput putra kami – dia kikuk bersikap
pada suami saya.
Meskipun
ada masanya saya sangat gemas dengan konflik antara Afyad dengan X, saya tak
menganggap dia pelaku bully. Saya menganggapnya sebagai remaja yang sedang
butuh perhatian besar, sebagaimana hasil pengamatan saya dan observasi
guru-guru. Saya percaya, setiap anak bisa berubah menjadi lebih baik asal
penanganannya tepat. Maka saya sama sekali tak menyimpan amarah pada X.
Pengalaman
mengatasi perundungan yang dialami anak sulung dan anak kedua, juga pengalaman
dalam menghadiri sejumlah edukasi dan advokasi topik kekerasan anak membuat
saya memiliki perspektif yang cair pada X.
Bisa
dibilang anak saya Afyad korban saat dia yang diganggu atau mendapat kekerasan.
Namun demikian, pelaku anak bukanlah seorang kriminal, dia tetaplah anak yang
juga korban dari ketidakberesan yang terjadi di dalam circle terdekat
dari dirinya, yaitu keluarga. Di lain pihak, Afyad sempat menjadi pelaku karena
dikuasai persepsi yang tidak tepat.
Memasuki ruang guru untuk sesi mentoring penulisan baru saya ketahui bahwa ternyata X adalah salah satu siswa yang mengikuti Sayembara Bakti dalam Warna dan Kata. Bukan masalah, saya tetap memperlakukannya sama dengan dua anak lain yang ikut sayembara. Membaca sekilas tulisan ketiganya, saya merasa senang sebab guru pembimbing sudah menggali ide tulisan ketiga anak dan ketiganya menuliskannya dengan tutur yang menarik. Tinggal dirapikan sedikit.
Saya
harus menjadi contoh baik untuk X dan untuk Afyad. Dalam konteks Catur
Pusat Pendidikan, saya mencoba mengambil peran
sebagai ORANG TUA yang menjadi role model
dan mitra aktif satuan pendidikan (sekolah).
Peran Orang Tua Sebagai Bagian dari Catur Pusat Pendidikan
Saya
perlu mengambil peran walau sedikit dalam program Kemendikdasmen untuk
mewujudkan lingkungan belajar aman, nyaman, dan menggembirakan. Dalam
hal ini, saya sebagai orang tua mengupayakan berkomunikasi secara rutin dan berkolaborasi
dalam kegiatan dengan pihak sekolah.
Sebelumnya,
Kemendikdasmen telah merumuskan peran 4 pihak – Catur Pusat
Pendidikan dalam berbagai aspek pendidikan,
termasuk untuk mewujudkan lingkungan belajar aman, nyaman, dan
menggembirakan. Keempat pihak itu adalah satuan pendidikan, orang tua
(atau keluarga), masyarakat, dan media.
Bahkan
bukan sekadar MEWUJUDKAN LINGKUNGAN, ke depannya diharapkan menjadi BUDAYA
BELAJAR AMAN, NYAMAN, DAN MENGGEMBIRAKAN. Istilah “budaya belajar aman,
nyaman, dan menggembirakan” menjadi hal yang familier saat saya mengikuti
pelatihan Fasilitasi
dan Advokasi Kebijakan Penguatan Karakter untuk perwakilan
Catur Pusat Pendidikan dari 24 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan pada
September lalu.
Lingkungan dan Budaya Aman, Nyaman, dan
Konsep
Taman Siswa (Ki Hajar Dewantara) menekankan pentingnya menciptakan suasana
belajar yang menggembirakan, penuh kasih sayang, dan menghargai kodrat anak.
Melalui prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung
tuladha, implikasinya adalah pada peran guru yang tidak hanya sebagai
pengajar namun juga sebagai pembimbing yang mendorong kemandirian dan karakter
anak dalam suasana yang penuh keteladanan dan dukungan.
Penelitian
bidang Neurosains oleh Immordino-Yang & Damasio, 2007 menyebutkan bahwa murid
tidak dapat belajar secara optimal apabila berada dalam kondisi stres, tertekan,
atau cemas. Sebaliknya, emosi positif, seperti rasa aman, nyaman, dan suasana
belajar yang menyenangkan, akan mengaktifkan bagian otak yang berperan dalam
memori, perhatian, dan pengambilan keputusan sehingga proses belajar menjadi
lebih efektif.
Konsep
dan penelitian tersebut, termasuk sejumlah teori lain telah membuktikan bahwa
faktor-faktor psikologis, sosial, budaya, dan neurobiologis saling memengaruhi
proses belajar. Semua itu memperkuat pemahaman bahwa pendidikan yang berpihak
pada anak harus menciptakan lingkungan belajar yang mengutamakan rasa aman,
kesejahteraan emosional, dan ruang tumbuh bagi potensi setiap individu.
Lingkungan
belajar yang aman, nyaman, dan menggembirakan penting diupayakan bersama. Lingkungan
tersebut merupakan perwujudan lingkungan belajar yang sehat, aman, nyaman,
bebas dari segala bentuk kekerasan, inklusif, dan mendukung tumbuh kembang
murid secara utuh, dengan pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan,
serta pelibatan aktif Catur Pusat Pendidikan.
Untuk
itu, budaya belajar yang aman, nyaman, dan menggembirakan menjadi budaya ideal untuk
proses tumbuh kembang murid secara optimal. Budaya belajar aman, nyaman, dan menggembirakan
ini bertujuan untuk:
- Mewujudkan budaya belajar yang aman dari kekerasan, serta menghormati dan menghargai keragaman (diversity).
- Mewujudkan budaya belajar yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan spiritual.
- Mewujudkan budaya belajar yang inklusif, mendukung tumbuh kembang murid secara utuh dan optimal, mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan sosial, serta menguatkan karakter positif.
Adapun
lingkungan dan budaya belajar yang aman, nyaman, dan menggembirakan dapat dicapai
dengan penguatan pada lingkup, penguatan tata kelola, edukasi, serta sarana
dan prasarana, dengan pelibatan aktif Catur Pusat Pendidikan.
Khususnya
dalam poin EDUKASI – melalui proses edukatif yang menyeluruh dan berkelanjutan,
seluruh murid, guru, tenaga kependidikan, orang tua, masyarakat, dan media
dapat memahami perannya dalam membangun lingkungan dan budaya belajar yang aman, nyaman, dan menggembirakan.
Inilah peran kecil yang saya ambil saat mendampingi X dan kawan-kawannya.
Belajar Bersama dengan Aman, Nyaman, dan Menggembirakan
Selama
berada di ruang guru membantu 3 siswa menyelesaikan tulisan yang diikutkan
sayembara, saya memperlakukan mereka sama. Perhatian saya sama, pun nada suara
ketika berbicara dengan ketiga anak tersebut. Saya menunjukkan tak ada dendam
pada X meskipun sekian bulan lalu saya pernah sangat gemas padanya.
Saya
menghargai X sebagai anak yang cerdas dengan semangat belajar tinggi. Buktinya
dia sendiri yang antusias menawarkan diri untuk mengikuti lomba menulis. Saya
mengoreksi tulisan X, di antaranya tentang penempatan paragraf, penggunaan “di”
sebagai awalan untuk kata kerja pasif dan kata depan, dan memintanya koreksi
judul. Hal serupa pun saya lakukan kepada 2 anak lainnya.
“Siapa
yang ganggu? Si A? Kamu mau saya apakan? Saya pukul atau saya marahi saja?”
saat sedang menelisik tulisannya, X menawarkan diri untuk membantu putra saya
yang baru saja diganggu anak lain. Afyad yang duduk di sebelah kiri saya hanya
tersenyum, sementara si X yang duduk di sebelah kanan saya masih meyakinkan
akan membantu menyelesaikan konflik yang baru terjadi.
Sebelum
sesi mentoring penulisan tadi, Afyad dikatai bau oleh seorang anak hingga
membuatnya marah besar. Saya sampai khawatir sesi mentoring akan
terhambat karena sibuk menenangkannya selama bermenit-menit tadi, syukurnya
tidak berlangsung lama.
Saya
tersenyum tipis tetapi tak menggubris tawarannya. Anak ini pandai mengarahkan
situasi, menjadikan kejadian yang tak mengenakkan bagi putra saya barusan
sebagai ajang untuk membuktikan kemampuannya.
Saya
senang melihat semangat X mengikuti proses menulis dan berlomba. Saya ikut
gembira melihatnya berceloteh gembira tentang hadiah uang yang akan diterima
jika menang. Hari itu, kami belajar bersama. Anak-anak belajar, saya pun
belajar – saya belajar untuk bertindak bijak untuk wujudkan lingkungan belajar
yang aman, nyaman, dan menggembirakan.
Makassar, 13 November 2025
#FasilitatorSidinaCommunity
#IbuPenggerak
#SosialisasiFasilitatorSidina
#PendidikanBermutuUntukSemua
Referensi
tulisan:
Laman
Puspeka, Kemendikdasmen: cerdasberkarakter.kemendikdasmen.go.id.
Share :

.jpg)

0 Response to "Melawan Kecamuk Rasa: Wujudkan Lingkungan dan Budaya Aman, Nyaman, Menggembirakan"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^