Catatan Hari Guru: yang Dicinta yang Dibenci

Catatan Hari Guru: yang Dicinta yang Dibenci Beberapa kali saya mendengar kisah orang jadi membenci pelajaran tertentu hanya karena gurunya. Karena gurunya mengajar dengan cara tidak menyenangkan atau melukai harga diri siswanya. Sebagian lagi seperti saya, tidak peduli siapa dan bagaimana gurunya, ketertarikan terhadap pelajaran itu perkara lain.

Mau menarik bagaimana pun gurunya, kalau saya harus menghafal maka saya tetap tidak menyukai mata pelajarannya. Mau galak bagaimana pun gurunya, saya tetap menyukai pelajaran yang di dalamnya saya bisa bermain dengan angka. Di masa-masa sekolah dulu saya sangat menyukai matematika, siapapun dan bagaimana pun gurunya.


Nah untuk tipikal sebagian siswa yang ketertarikannya tergantung kepada bagaimana gurunya – hal ini tak bisa diabaikan. Sayangnya tak semua guru memahaminya. Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan acara televisi yang menayangkan aktivitas para guru kreatif dalam metode mengajarnya.

Salah satunya – seorang guru bahasa Inggris menggunakan role playing dengan membuat kisah pembunuhan dan menghadirkan “korban” di sekolah. Sang guru bertindak sebagai kepala detektif yang mengarahkan para muridnya yang bermain sebagai detektif. Salah satu tugasnya adalah mengarahkan murid-muridnya untuk selalu menggunakan bahasa Inggris.

Seorang guru Matematika menggunakan musik hip hop dalam mengajarkan siswa-siswinya pelajaran Matematika sebagai metode yang bisa diakrabi siswa-siswinya. Jujur saja, di jaman now, sulit menemukan guru-guru kreatif seperti mereka padahal zaman sudah menuntut guru menggunakan metode kreatif dalam mengajar.

Guru Matematika yang mengajar dengan musik

Tapi saya mengenal beberapa orang. Salah satu namanya Abby Onety. Teman bloger yang guru Biologi SMA ini total mendampingi siswa-siswi yang diutus berlomba untuk mewakili sekolah tempatnya mengabdi. Dia dekat dengan para murid dan pandai mengambil hati mereka.

Salah satu teman guru yang saya kenal dari dunia menulis adalah Kak Dawiah. Guru SMP yang pernah jadi kepala sekolah ini aktif menulis dan masih berusaha mengembangkan dirinya. Tak jarang guru yang masih merasa perlu belajar seperti dirinya.

Salah satu fotonya di media sosial membuat saya terpana. Di dalam foto itu, Kak Dawiah berada di antara para mantan siswa yang seusia dengan saya. Kata Kak Dawiah, dirinya adalah satu-satunya diundang ke acara reuni para mantan siswanya itu.

Pictionary Race, salah satu metode mengajarkan vocabulary.

Salah seorang guru anak saya – Ibu Ima namanya, pernah meminta saya membantunya melatih siswi yang diutus sekolah untuk mengikuti lomba bercerita. Saya salut dengan cara beliau. Meskipun dana sangat terbatas dari sekolah, Ibu Ima yang masih berstatus honorer rela mengeluarkan uang pribadinya agar siswinya bisa mengikuti lomba.

Satu lagi guru yang saya kenal, namanya Yusmira Yunus. Saya pernah menuliskan tentangnya dalam tulisan Gaet Perhatian Siswa dengan Metode yang Menyenangkan, Ya atau Tidak ?. Waktu itu saya mengikuti materinya pada Festival Hardiknas 2018.

Ibu Yus ini sering menggunakan bermacam-macam metode ketika mengajar. Salah satunya adalah membolehkan anak menggambar komik dalam menjabarkan sebuah topik. Menurutnya, anak yang memiliki keunggulan dalam bidang grafis bisa terlihat dan mendapatkan “panggung” dengan metode tersebut.

Sungguh menjadi tantangan, tidak saja bagi guru. Utamanya bagi orang tua. Karena peran utama ada pada orang tua. Pendidikan seharusnya bisa membantu anak-anak kita menemukan potensi dirinya dan menguatkannya.

Ibu Yusmira Yunus

Sosok guru sangat membantu anak dalam belajar di sekolah. Terlebih lagi metode yang digunakannya. Anak yang menyenangi guru dan caranya mengajarnya akan lebih mudah menerima pelajaran yang diberikan. Coba ingat-ingat pengalaman bersekolah dulu. Saya kira Anda akan mengiyakan pernyataan ini.

Di Hari Guru, tanggal 25 November kemarin, saya teringat pengalaman tak menyenangkan dengan seorang guru di masa sekolah. Dia mengangkat hasil kerja begadang saya di hadapan banyak orang dan berkata, “Tidak mungkin dia bikin sendiri ini. Pasti ada yang bikinkan!” Tatapan tajamnya diedarkan ke seluruh ruangan, merobek harga diri saya.

Padahal sungguh saya mengerjakan tugas itu seorang diri. Saya menjadi anggota di Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan meminjam buku dari sana. Saya juga meminjam buku milik paman yang bekerja sebagai dosen. Saya menyusun konsep yang ingin saya kemukakan dan mengetik dengan jemari saya sendiri selama beberapa hari.

Belajar di alam.

Jelas saja saya sakit hati menerima perlakuannya. Namun saya bersyukur, tak sampai membuat saya membenci pelajaran yang diampunya. Saya tak bisa membayangkan kalau saya sampai membenci mata pelajaran itu.

Tapi tak semua orang seperti saya. Ada yang sampai membenci pelajaran tertentu gara-gara gurunya. Belum apa-apa, sang guru sudah mematikan potensi yang ada. Sayang sekali, kan.

Buat para guru, semoga momentum ini menjadi saat untuk membenahi diri. Mari bersama-sama dengan para orang tua menjadi penerang jalan bagi anak-anak kita yang akan mengingatmu sampai kapan pun – entah itu karena mencinta atau membenci. Tetaplah tegak dan tegar dalam profesi mulia ini walaupun kerap menuai kritik akibat ulah segelintir oknum yang tak bertanggung jawab.

Makassar, 26 November 2019





Share :

8 Komentar di "Catatan Hari Guru: yang Dicinta yang Dibenci"

  1. Benar sekali Mbak, sosok guru memang sanagat berjasa dalam mendidik anak di sekolah.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah berbagi informasi yang sangat bermanfaat ini Mbak.

    ReplyDelete
  3. Iya Mbak, benar sekali sekarang memang banyak anak yang tidak mau mengikuti pelajaran hanya karena tidak suka dengan gurunya.

    ReplyDelete
  4. Guru memang sosok yang sangat berjasa ya Mbak dalam mendidik anak kita.

    ReplyDelete
  5. Iya Mbak, zaman sekarang anak akan cenderung menyukai pelajaran yang diselingi dengan game atau permainan yang seru.

    ReplyDelete
  6. senang dan bangga ya, jika ada guru yg kreatif dlm mengajar. Tapi ada juga guru yg suka menyudutkan anak muridnya, guru yg begini miris melihatnya. Tapi semoga para guru di Indonesia akan lebih baik dlm mendidik anak2 muridnya.

    ReplyDelete
  7. Kalau disekolah resmi atau formal kan ada target target kurikulum yang harus dicapai. Point' pointnya harus ketarget. Makanya sistem belajarnya tidak fleksibel maupun bisa diundur undur.
    Semester ini harus bisa ini dan itu, makanya guru jadi terbelenggu oleh sistem tersebut.

    ReplyDelete
  8. Guru punya peran penting ya, Kak, dalam kehidupan kita. Aku pun kalau pelajaran menghapal kurang suka, sementara pelajaran berhitung kurang mampu. Aku cuma suka bahasa dan sejarah. Meski tak menyukai pelajaran, tetap saja perlu mempelajarinya dan hasilnya terasa saat ini. Kalau guru yang tak disukai dulu cukup banyak, secara akunya kan juga punya tipikal keras kepala. Sering disetrap juga waktu sekolah, hahaha. Untungnya tak suka tak sampai benci. Lepas dari masa sekolah, masih kadang kalau liburan gitu mengunjungi sekolah demi bertemu para guru. Sayangnya sebagian dari mereka telah banyak yang pensiun, atau malah sudah tak ada. Hiks.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^