Cagar Budaya dalam Lingkaran Kepentingan dan Modernisasi Hingga Identitas Nasional

Cagar Budaya dan Sengkarut Kepentingan: Modernisasi Kota Makassar Pasca Kolonial merupakan topik terakhir yang dibahas dalam Seminar Nasional Merawat Cagar Budaya Kita Sebagai Pembentukan Karakter dan Identitas Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Lingkar pada 21 Oktober 2019 di Hotel Singgasana.

Ekspresi Dekolonialisasi dan Modernisasi


Dr. Ilham Daeng Makkelo, M.Hum (Dosen Universitas Hasanuddin Makassar) memulai presentasinya dengan menyatakan bahwa pernah ada masanya terjadi sebuah perayaan kebebasan yang merupakan ekspresi dekolonialisasi. Ini penting untuk melihat bagaimana kota kita berjalan pasca masa kolonial.

Foto: panitia (Lembaga Lingkar)

Pada masa itu ada penolakan pemikiran utopia perkotaan yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial  berhadapan dengan gagasan tentang pembebasan dari imperialisme dan pembentukan karakter nasional.

Terkait penggunaan ruang kota utamanya terkait dengan infrastruktur kota yang tidak memadai karena populasi terus bertambah dan pemukiman yang tidak terkendali sehingga mengakibatkan ketidakteraturan.

Dari sumber-sumber yang diperoleh oleh Dr. Ilham menyatakan ada kehancuran di kota Makassar, dalam kawasan perkampungan Tionghoa dan pelabuhan namun diakuinya, dirinya belum menelusuri sumber-sumber tersebut lebih lanjut.

Tahun 1950-an dimulainya masa menghapus jejak kolonial di Makassar. Ditandai dengan penggantian nama jalan berbahasa Belanda menjadi Bahasa Indonesia. Berlanjut dengan modernisasi dengan berbagai pembangunan kota.

Dr. Ilham Daeng Makkelo (kanan). Sumber foto: panitia
(Lembaga Lingkar).

Seperti pembangunan Pasar Sentral dengan menggusur Pekuburan Tionghoa, perluasan pelabuhan dan pembangunan Dermaga Hatta pada tahun 1954, pembangunan Hotel Negara (milik Provinsi Sulselra), Cathay (Jl. Sumba), Empress (Jl. Kajaolalido), Grand Hotel (Jl. Ahmad Yani), Wynand (Jalan Sultan Hasanuddin), Universitas Hasanuddin, dan lain sebagainya.

Ekspresi dekolonialisasi dan modernisasi yang terjadi merupakan bagian dari identitas yang baru terbentuk. Disamping sejumlah pembangunan yang terjadi, juga terjadi penyerobotan-penyerobotan di Kota Makassar.

Kekacauan Lalu Penyerobotan


Latar belakangnya adalah pelonjakan penduduk dari tahun 1930 ke tahun 1960 sebesar 6 kali karena terjadinya kekacauan di daerah pedalaman, banyak yang hijrah ke Makassar. By the way, ayah saya juga ke Makassar dari Soppeng di tahun-tahun itu, tepatnya sekira tahun 1950-an. Dulu beliau menceritakan betapa sulitnya transportasi Makassar – Soppeng pada masa itu.

Sementara ibu saya merantau dari Gorontalo ke Makassar pada tahun 1960 guna melanjutkan pendidikannya di Universitas Hasanuddin. Saya tahu banyak perantau dari Gorontalo yang ke Makassar untuk kuliah, ini menjadi salah satu alasan juga dalam peningkatan jumlah penduduk Makassar.

Nah, banyak dari para perantau ini menempati apa saja di kota. Sampai-sampai pekuburan Tionghoa (dulu di lokasi Pasar Sentral) juga menjadi tempat tinggal para pendatang. Otoritas pemerintah tidak kuat saat itu akibat keamanan yang belum stabil.

Di luar ruangan ada pameran lomba foto Cagar Budaya.

Banyak penyerobotan terjadi, baik itu penyerobotan tanah partikelir, tanah kavling, hingga tanah pekuburan. Yang melakukannya adalah kelompok-kelompok pejuang, petualang, etnis, dan pelajar yang merasa punya hak atas tanah-tanah yang diserobot.

Menurut Pak Ilham, hal-hal ini juga menjadi proses mengenai bagaimana kita memperlakukan cagar budaya kita. Dari data yang diperolehnya, pada tahun 1954 terjadi 104 penyerobotan rumah/bangunan.

Pada tahun 1955 terjadi 531 penyerobotan, dan seterusnya. Pada tahun 1961, pada 7 % tanah kotapraja yang diserobot telah berdiri 3.928 ”rumah liar” yang tak jelas kepemilikannya. Saya pernah mendengar tentang ini, mengenai orang-orang yang entah bagaimana caranya tiba-tiba menjadi tuan tanah. Baru sekarang saya tahu sejarahnya.

Liberalisasi Bermula di Ibukota


Selanjutnya pada masa Orde Baru, ada 3 hal besar yang digarisbawahi Pak Ilham, yaitu adanya pusaran kepentingan antara kekuasaan pemerintah pusat, ide kota baru (metropolitan), dan liberalisasi ekonomi.

Foto: panitia (Lembaga Lingkar)

Pada masa itu pemerintah berorientasi internasional dengan kiblat ke negara-negara barat, ada  bantuan ekonomi besar-besaran, rehabilitasi infrastruktur, dan mendorong investasi. Yang juga dibicarakan khusus adalah masa pemerintahan walikota Patompo (1969 – 1979).

Patompo mengunjungi banyak negara di dunia dan mendapatkan wawasan untuk menjadikan Makassar sebagai kota modern yang ramah dengan warisan masa lalu. Gagasannya tak pernah benar-benar terwujud.

“Ada bangunan yang jatuh-bangun seperti THR (Taman Hiburan Rakyat) yang sampai sekarang masih terbengkalai,” ucap Dr. Ilham. Seingat saya, THR ini letaknya di Jalan Kerung-Kerung. Semasa kecil dulu saya pernah satu kali ke sana, dibawa oleh orang tua saya.

Pada tahun 1971 terjadi perluasan kota secara besar-besaran hingga 7 kali lipat. Luas kota menjadi 115 ha. Walikota Patompo sebenarnya menetapkan zonasi, pembagian wilayah berdasarkan peruntukannya.

Ada 5 zona: kota lama, industri, pemukiman, pusat rekreasi, dan pusat kegiatan kota. Namun sayangnya perencanaan ini tak berjalan sebagaimana mestinya akibat liberalisasi ekonomi dan diskontinuitas perencanaan kota terjadi.


Para peserta merapat ke belakang.

Asa Melalui Tanya dan Medium yang Representatif


Di mana upaya pelestarian cagar budaya
disematkan? Apakah masih ada jalan
untuk memperjuangkan pelestarian cagar
budaya di antara sengkarut kepentingan?
Ini masih perlu dibicarakan lagi, jangan sampai
hanya jadi romantisme kita saja. Bagaimana
caranya membangun identitas nasional?
Hal itu penting tetapi masih perlu dibicarakan lagi.

Semua tanda tanya itu menjadi catatan akhir Pak Ilham. Ditambahkannya pula, “Kota yang menghargai cagar budayanya adalah kota yang mampu menata kebutuhan segenap elemen masyarakatnya baik dalam hal perumahan/ kampung, transportasi yang nyaman, dan ruang publik.”

Menurut Pak Ilham, kita butuh medium melalui sebuah museum yang representatif yang mampu memberi narasi apa saja tentang masa lalu kota ini. Ambil contoh museum Max Havelaar di Banten yang representatif menceritakan tentang Banten meskipun “bendanya tidak ada” melalui diorama yang “hidup”.

Tidak ada ruang yang cukup bagi segenap warga kota untuk membayangkan seperti apa tinggalan kota ini di masa lalu, seberapa besar kosmopolitan di dalamnya. Tanpa usaha semacam mengadakan medium yang pas maka janganlah heran jika tidak banyak yang gelisah akan warisan kota masa lalu yang tergusur.


Zonasi pada perluasan kota yang tak terlaksana. Peta tahun 1975.
Sumber: presentasi Dr. Ilham.

Adakah Ruang untuk Mengakarkan Sejarah Lokal?


Di bagian akhir presentasi Pak Ilham itu saya tercenung. Ingin bertanya kepada nara sumber tetapi waktu tak memungkinkan lagi. Jika boleh memberi usul, bolehkah saya berharap adanya pemberian mata pelajaran sejarah lokal bagi anak-anak kita, khususnya pada pendidikan dasar mereka?

Berkaca dari pengalaman saya – mantan siswi SMPN 6 yang baru mengenali sekolah saya itu sebagai bagunan tua yang patut dikenang dan dihargai keberadaan serta makna di baliknya, saya kira akan jauh lebih elok jika sejarah lokal ditanamkan kepada anak-anak kita. Dengan demikian identitas lokalnya akan terbentuk.



Juga menilik pengalaman putra-putri saya yang sangat minim mengenal sejarah Makassar dan Sulawesi Selatan ... ah, saya ingin sekali mereka mendapatkan materi mengenai sejarah daerah kami agar kecintaan mereka kepada daerah ini mengakar kuat.

Bukankah keberadaan identitas nasional
berakar dari identitas lokal yang kuat?
Bukankah identitas lokal akan
memancarkan karakter lokal yang
mampu bersinar hingga menasional?
Adakah agenda pelajaran sejarah lokal
ada dalam kamus Kemdikbud? Adakah
yang bisa menjawab pertanyaan saya?

Makassar, 4 November 2019

Mari akhiri catatan mengenai seminar nasional ini dengan tanya-tanya yang semoga akan terjawab segera.

Baca tulisan sebelumnya:

Baca juga tulisan lainnya terkait kegiatan Lembaga Lingkar yang berhubungan dengan pelestarian cagar budaya:




Share :

14 Komentar di "Cagar Budaya dalam Lingkaran Kepentingan dan Modernisasi Hingga Identitas Nasional"

  1. Sejak awal sd, di pelajaran ips kami diajari mengenal desa sendiri, kecamatan sendiri, kabupaten sendiri dst hingga mengenal negara2 di dunia saat kelas 6 sd. Dari situ aku mengenal kondisi geografis, sejarah dan budaya di sekitarku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jaman saya SD pelajaran IPS tentang kota saya ada, Mbak. Jadinya saya tahu kelurahan apa saja yang ada di kota saya.

      Sayangnya pergantian kurikulum menyebabkan orang Makassar lebih banyak belajar sejarah Jawa dan Nasional ketimbang dikenalkan daerah/sejarahnya sendiri. Sangat disayangkan.

      Delete
  2. Entah kalau di pelajaran wajib, yang paling dekat untuk di realisasikan paling di Ekstrakulikuler di sekolah, atau Unit kegiatan mahasiswa di tingkat universitas.

    ReplyDelete
  3. Menurut saya memang sangat penting adanya sejarah lokal, agar kita mengenal daerah sendiri sebelum mengenal lebih dalam daerah lain.

    ReplyDelete
  4. Aku setuju ka dgn adanya mata sejarah lokal. Kita ini di indonesia yg kearifan lokalnya banyak . Jangan sampe anaj cucu kita gatau budaya asli nenek kakek atau leluhurnya karena tergerus jaman

    ReplyDelete
  5. Dulu aku sangat benci pelajaran sejarah. Bikin ngantuk. Tapi sekarang-sekarang ini malah banyak mengajak anak-anak ke museum supaya mereka tahu sejarahnya bangsa ini dan ternyata mereka suka.

    Jadi, teori semata memang sama sekali nggak menarik. Datang ke cagar budaya, melihat langsung, bertanya-tanya langsung, memang akan membuat ketertarikan generasi kita terhadap sejarah terasa lebih nyata.

    ReplyDelete
  6. Belajar Cagar Budaya ini sekaligus menilik sejarah suatu daerah, selain ada ilmu, kita juga jadi tahu bagaimana sebuah tempat diberi nama dan apa sejarah yang melatarbelakanginya

    ReplyDelete
  7. Anak2 memang perlu tau sejarah daerahnya ya, Mba. Biar mereka bisa mempresentasikan ke orang luar, tenta g daerah yang dia tempati.

    Btw itu pembangunan pasar di atas kuburan tionghoa apa ga serem ya.. xixi..

    ReplyDelete
  8. Aku paling yang nggak apal pas SD diajarin IPS soal ini, wakakak
    Aku anak yang nggak pinter dulu bun, sampai sekarang pun terus belajar
    suka takjub dengan cagar budaya yang dimiliki Indonesia, di Pekalongan kan heritage banget kawasannya.

    ReplyDelete
  9. Setuju banget nih harus mengenal sejarah daerah sendiri jadi belajar mengenai sejarah daerah sendiri dulu baru daerah lain

    ReplyDelete
  10. Sejarah itu guru paling baik dalam pengalaman. Bener sekali kita harus melestarikan budaya harus dimulai sejak dulu-dulu. Khususnya diterapkan pada anak-anak jaman now.

    ReplyDelete
  11. Sangat disayangkan bila masih ada bangunan yang terbengkalai tanpa direnovasi atau dipugar kembali apalagi untuk bernilai sejarah di sana

    ReplyDelete
  12. rasanya masih sedikit kearifan lokal atau sejarah nasional yang dikenalkan pada kurikulum sekolah selain pelajaran sejarah. Akibatnya, pasti minim rasa cinta tanah air termasuk di dalamnya kebanggaan terhadap berbagai situs cagar budaya.

    ReplyDelete
  13. Setuju banget kak Niar.
    Aku juga bersekolah di sekolah yang merupakan bangunan cagar budaya Surabaya.
    Dan masih menggunakan ornamen zaman dulu seperti kursi dan meja belajarnya.
    Sungguh menyedihkan bila tidak dijaga dengan baik. Karena pilihan kayu saja sudah jauh berbeda dari meja-kursi zaman sekarang.

    Semoga pengetahuan mengenai cagar budaya ini sampai ke Pemerintahan Kota hingga anak-cucu. Agar semakin menghargai sejarah bangsanya sendiri.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^