Lalu,
apa yang dimaksud dengan cagar budaya? Pengetian cagar
budaya
menurut: UU No. 11
Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa
BENDA CAGAR
BUDAYA, BANGUNAN CAGAR BUDAYA,
STRUKTUR CAGAR BUDAYA,
SITUS CAGAR BUDAYA, dan
KAWASAN CAGAR BUDAYA di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
Cagar
budaya memiliki sifat: rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya
cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan lahan yang tidak
memperhatikan upaya penyelamatan dan pelindungannya. Oleh karenanya cagar
budaya kita harus dilestarikan.
Nah,
apa saja di Makassar yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya?
Semua warga kota mungkin sudah tahu benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba
Opu, ya. Keduanya termasuk cagar budaya di kota ini. Selain itu ada Museum Kota
Makassar, Gereja Katedral, dan beberapa kompleks makam tua.
Ada 6
situs lagi di kawasan pecinan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, yaitu
Klenteng Ibu Agung Bahari, Klenteng Xian Ma, Klenteng Kwang Kong, Rumah Leluhur
Lie, Rumah Leluhur Nio, dan Rumah Leluhur Thoeng.
Pak Laode M. Aksa, sebelah kiri (duduk di depan) |
Dalam
materi berjudul Antara Pelestarian dan Perlindungan, “Ceritera Baru dari yang
lama”, Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa, M. Hum – Kepala Balai Pelestarian Cagar
Budaya Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa penataan lingkungan bangunan
bersejarah yang baik adalah mengarah pada pembangunan yang rekreatif, penciptaan ruang, dan environment serta arah pengembangan ke depan yang merekomendasikan berbagai
sasaran desain penataan pembangunan sebagai daya tarik kawasan.
Pak
Aksa menceritakan upaya pelestarian Fort Rotterdam dan tempat-tempat lain, di
mana pencarian bahan bangunannya harus mencari ketersediaan stok lama. Namun
demikian biasa pula ditemui adanya kendala.
Permasalahan
pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan kuno bersejarah dengan
tuntutan kebutuhan zaman akan bangunan-lingkungan modern. Di sisi lain masih banyak ditemukan
adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak
bangunan sebagai situs cagar budaya. Belum lagi menghadapi kepentingan sepihak
pihak-pihak lain.
Celebes Monument |
Dikatakan
pula bahwa kota yang baik adalah kota yang memiliki kenangan tahapan
pembangunan, di mana kota bagaikan
mahkluk hidup yang tumbuh dan berkembang, kemudian mati apabila tidak
terpelihara. Hal ini menyiratkan bahwa suatu kota pasti memiliki kawasan
bersejarah.
Kawasan
bersejarah merupakan suatu kawasan yang didalamnya terdapat berbagai
peninggalan masa lampau dari terbentuknya suatu kota, baik berupa wujud fisik
historis maupun berupa nilai dan pola hidup masyarakatnya, serta
kepercayaannya.
Pada
presentasinya, Pak Aksa menyelipkan gambar Celebes Monument yang di
puncaknya ada bentuk obelisk dan membawa malaikat perdamaian. Patung hadiah
dari ratu Belanda itu dahulu menjadi penanda titik nol yang kemudian dipajang
di sekitar gedung RRI. Sekarang patung itu ada di Fort Rotterdam.
Pak
Dias Pradadimara – dosen Sejarah di Universitas Hasanuddin menjadi nara sumber berikutnya dengan topik Membentuk Kota Makassar: Perkembangan
Kota, Heritage, dan Cagar Budaya. Membuka presentasinya, Pak Dias menyampaikan bahwa
“Makassar” sebagai kota yang kita ketahui sekarang tidaklah alami terbentuknya.
Ada modal, kekuasaan, dan resistansi masyarakat terlibat di dalamnya.
Pak
Dias lebih melihat Makassar dalam sudut pandang heritage (warisan
(budaya) masa lalu, ada yang berbentuk benda dan ada yang tak benda). Dalam hal
ini bukan gedung per gedung, melainkan kawasan kota.
Lantas timbul pertanyaan, “Yang mana kota Makassar?”
Pak Dias (berdiri) |
Kata
Makassar mengacu kepada 3 hal: pertama: suku/orang/bahasa Makassar, kedua:
mengacu kepada kesultanan Gowa-Tallo, dan yang ketiga: ibukota. Untuk ibukota,
dahulu yang disebut dalam lontarak adalah Kalegowa sebagai pusat/ibukota
(terletak di daerah Tamalate, Sungguminasa).
Kota
Makassar tak disebutkan dalam catatan sejarah spesifik sebagai kota. Sebelum
abad 17, nama Jumpandang yang justru disebutkan sebagai nama tempat – ditemui
dalam sebuah catatan lontarak yang dibaca Pak Dias.
Dari
sebuah lukisan yang terkenal yang berasal dari abad ke-17, disebutkan kota
Somba Opu (“Stadt Sombaopu”), bukannya “Kota Makassar”. Kota Sombaopu
adalah kota yang dibangun sebagai tempat berdagang.
Teman-teman blogger. |
Di
akhir abad ke-16, kesultanan Gowa membangun belasan benteng, dari Kalegowa,
Anagowa, Panakukang, dan seterusnya sampai Jumpandang dan Ujung Tanah.
Pembangunan benteng yang bertujuan menahan serangan dari arah laut itu
menimbulkan konflik dengan kerajaan-kerajaan sekitar.
“Tenaga
kerja pembangunan benteng diambil dari daerah-daerah lain seperti Soppeng dan
seterusnya. Keluarga Arupalakka misalnya dibawa dari Soppeng dan dijadikan
tenaga kerja,” ujar Pak Dias.
Setelah
perang, seluruh benteng harus dibongkar. Termasuk benteng Jumpandang yang harus
diserahkan kepada VOC dan diperintahkan dibongkar pada tahun 1669. Benteng
Jumpandang ini menjadi markas VOC dan berganti nama menjadi Fort Rotterdam.
Catatan traveling Wallace, dari presentasi Pak Dias |
“Setelah
Fort Rotterdam penuh barulah bergeser ke Vlaardingen. Kira-kira dekat dengan
tempat kita ini (jalan Lombok, maksudnya). Inilah yang diisi oleh mereka yang
dianggap dekat dengan VOC,” imbuh Pak Dias.
Orang-orang
Melayu dan orang-orang Bugis, juga Wajo mendiami wilayah-wilayah tersendiri.
Saat itu orang Wajo tidak dianggap sebagai orang Bugis oleh VOC. Catatan pada abad
ke-17 dan abad ke-18 tentang Makassar:
- Heather Sutherland (2004: 28-29), adanya Kampung Melayu, Kampung Wajo sebagai Negorij, munculnya Nieuwe Negorij, dan pentingnya Muurstraat (jalan Timor).
- Batas kota sisi utara yakni Grootestraat (jalan Sumba), batas timur Burgerwachtstraat (jalan Jampea)
Pada abad ke-19,
ditemukan Catatan Alfred Wallace (seorang naturalis yang ke Makassar 1856).
Macassar was the first Dutch town I had visited, and I found it prettier and cleaner than any I had yet seen in the East. The Dutch have some admirable local regulations. All European houses must be kept well white washed, and every person must, at four in the afternoon, water the road in front of his house. The streets are kept clear of refuse, and covered drains carry away all impurities into large open sewers, into which the tide is admitted at high-water and allowed to flow out when it has ebbed, carrying all the sewage with it into the sea. The town consists chiefly of one long narrow street, along the sea side, devoted to business, and principally occupied by the Dutch and Chinese merchants' offices and warehouses, and the native shops or bazaars. This extends northwards for more than* -mile, gradually merging into native houses, often of a most miserable description, but made to have a neat appearance by being all built up exactly to the straight line of the street, and being generally backed by fruit trees. This street is usually thronged with a native population of -Bugis and Macassar men, who wear cotton trousers about twelve inches long, covering only from the hip to half-way down the thigh, and the universal Malay sarong, of gay checked colours, worn round the waist or across the shoulders in a variety of ways. Parallel to this street run two short ones, which form the old Dutch town, and are enclosed by gates. These consist of private houses, and at their southern end is • the fort, the church, and a road at right angles to the beach, containing the houses of the Governor and of the principal officials. Beyond the fort again, along the beach, is another long street of native huts and many country houses of the tradesmen and merchants. (Wallace 1872: 212).
Catatan berikutnya
mengenai batas kota Makassar adalah pada tahun 1888. Batas utara dan barat
adalah laut. Batas selatan adalah Losari – maksudnya adalah di taman dekat
Perpustakaan Kota Makassar (Jalan Sultan Hasanuddin).
Bersama Kang Asep Kambali, founder komunitas Historia Indonesia. Foto: Abby Onety. |
Pada awal abad ke-20, batas
kota meluas lagi. Batas selatan kota adalah (kampung) Mattoanging. Sebelah
timurnya adalah Maricaya-Maradekayya. Setelah menjadi kotapraja, batasnya
meluas lagi. Di sebelah selatan di Sungai Bontobaru (ada yang tahu di mana itu?).
Dari presentasi Pak Dias,
bisa kita pahami bahwa kota Makassar itu berkembang dari daerah Fort Rotterdam
hingga makin meluas seperti sekarang ini. Materi berikutnya adalah mengenai
asimilasi orang Tionghoa di Makassar, dilanjutkan dengan jalan-jalan di sekitar
kawasan pecinan yang berada dekat Hotel Dinasti, tempat Seminar Nasional
Merawat Cagar Budaya Kita berlangsung.
Makassar, 21 April 2019
Bersambung
Catatan: tulisan ini merupaka tulisan kedua
Baca juga:
- Merawat Ingatan Sejarah Kita (tulisan pertama)
- Menggali Sang Patriot, Bukan Sekadar Terpatri dalam Sejarah
Share :
Dari catatan Wallace, tergambar jelas kalo dulunya Makassar itu bagus banget ya. Indah dan bersih. Dan pantas aja dulu ada kebiasaan menyiram depan rumah setiap sore, ternyata hal itu sudah dilakukan sejak jaman dulu, hehe..
ReplyDelete