Film Cyberbullying: Cerita tentang Luka di Balik Layar – Tidak sama persis tetapi agak relate, putri saya pernah mengalami diejek oleh sejumlah kawan sekelasnya di grup WhatsApp kelasnya saat duduk di bangku sekolah dasar dan SMA. Tidak sampai berulang kali seperti yang dialami Neira, remaja usia 14 tahun, tokoh utama film Cyberbullying.
Dalam
film Cyberbullying yang mulai tayang tanggal 23 Oktober lalu di bioskop-bioskop
di seluruh Indonesia ini, menceritakan kisah Neira, putri sulung dari pasangan
suami-istri mapan yang sama-sama sibuk.
Sinopsis Singkat Film Cyberbullying
Neira,
siswi SMP yang cerdas dan populer, tampak menjalani hidup yang “sempurna”. Dia
berprestasi di sekolah dan aktif di media sosial. Kenyamanan yang dirasakannya
berubah ketika sebuah video perselisihan dengan teman sekolah menyebar dan
menjadi viral
di dunia maya.
Keviralan
video itu menimbulkan hujatan, fitnah, dan tekanan berat yang membuat Neira sangat
terpuruk secara emosional. Dia mengalami mental break down, menutup diri
dari pergaulan, tak bersemangat sekolah, dan kehilangan semangat hidup.
Musyawarah
keluarga memutuskan untuk memindahkan Neira tinggal bersama sang kakek – Pak Haji
Mansyur dan Tante Rani, jauh dari keramaian kota. Di lingkungan baru itu Neira
perlahan menemukan harapan kembali.
Tiga
remaja tetangga menjadi sahabatnya, Neira terlibat dalam kegiatan gotong-royong
untuk membangun membangun kembali tempat kursus bahasa Inggris Tante Rani dan
berlatih spelling bee bersama para sahabatnya.
Saat
Neira mulai pulih dan menemukan kembali jati dirinya, bayang-bayang video lama
kembali mengadang[1].
Neira kembali down dan kehilangan semangat. Dia bahkan kehilangan
kepercayaan pada orang-orang yang menyayanginya dalam hal mencari kekuatan
untuk kembali berdiri tegak. Sanggupkah Neira menemukan cahayanya kembali?
Review Film Cyberbullying
Saya
mencatat sedikitnya ada 7 macam konflik dihadirkan dalam film Cyberbullying,
yaitu:
- Hubungan Neira dengan orang tua, terutama ibunya yang agak berjarak, dibuktikan dengan ketidakterusterangan Neira kepada ibunya mengenai masalah-masalah yang dia alami di sekolah. Idealnya, anak perempuan yang dekat dengan ibunya akan menceritakan segala keresahan dan masalahnya kepada ibunya.
- Duo remaja putri iri hati dan dengki kepada Neira ingin menjatuhkan reputasi Neira sebagai siswi berprestasi.
- Persaingan antara Neira dan Nathan, sebagai sesama jawara kejuaraan spelling bee.
- Konflik antara ibunda Neira dengan bibi Neira.
- Konflik antara Jiro adik Neira dan teman-temannya dengan preman sekolah.
- Konflik batin Neira dalam menghadapi cyberbullying yang mengerikan.
- Konflik antara Neira dengan seseorang yang membuat video lama Neira muncul kembali di antara para pelajar di sekolah barunya.
Ketujuh
konflik tersebut melalui penyelesaiannya masing-masing, diselingi dengan
hiburan berupa selipan humor-humor ringan di sepanjang film.
Film
Cyberbullying ini hadir di saat yang tepat. Data terbaru yang saya peroleh di
internet – survei U-Report/UNICEF (2019) menemukan sekira 45% anak-remaja
(14–24 tahun) pernah mengalami perundungan
daring (cyberbullying). Jenis yang sering dilaporkan adalah pelecehan melalui
aplikasi chat (45%) dan penyebaran foto/video pribadi (41%)[2].
Selain itu, kasus pelanggaran hak anak yang berkaitan dengan penyalahgunaan online
juga besar — KPAI mencatat ribuan kasus pelanggaran hak anak pada 2023
(ringkasan laporan tahunan)[3].
Film
ini menggugah kesadaran mengenai pentingnya mengenali kasus cyberbullying,
mencari solusi, dukungan support system pada korban, kepedulian
sekolah, dan sanksi untuk pelaku.
Mencari Solusi
Walau
bukan orang tua yang secepat mungkin menanggapi masalah anak, orang tua Neira
mencari solusi agar Neira bisa ceria kembali dengan membawanya pergi jauh dari
tempat tinggal mereka, yaitu di rumah Kakek Haji Mansyur. Di rumah kecil itu,
Rani (saudari ibunda Neira) berperan
penting dalam pemulihan psikis Neira.
Pentingnya Dukungan Support System
Sebagai
pasangan yang memiliki kesibukan dalam karier, kedua orang tua Neira tidak
mengabaikan permasalahan putrinya. Meskipun idealnya ibu tetap mendampingi
putrinya dalam menghadapi masalah tersulitnya, keputusan untuk menempatkan
Neira di rumah kakeknya pun merupakan keputusan yang baik. Di sanalah Neira
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kakek dan bibinya. Neira juga
mendapatkan sahabat-sahabat baru yang senantiasa mendukung. Tidak saya sangka, Jiro,
adik Neira memegang peran besar dalam mengembalikan cahaya dalam kehidupan
kakaknya melalui kecerdasannya dalam bidang teknologi.
Kepedulian Sekolah
Kepedulian
sekolah menjadi kunci pulihnya korban perundungan dari trauma dan perasaan
tidak enak lainnya yang muncul akibat cyberbullying. Pada sebuah studi
UNICEF di Kabupaten Sorong, Papua Barat, disebutkan 87% guru yang dimintai
pendapat merasa bahwa sekolah
telah menangani isu pelecehan dengan serius. Namun demikian hanya ada 9%
pelajar merasa bahwa guru telah menangani laporan pelecehan dengan serius.
Perbedaan persepsi yang cukup besar mengenai perundungan antara guru dan murid di
Papua Barat ini cukup mengkhawatirkan dan perlu menjadi perhatian termasuk di
wilayah-wilayah lain di Indonesia agar murid akan merasa nyaman melaporkan
adanya perundungan[4].
Dalam film Cyberbullying digambarkan kepedulian sekolah dalam menyikapi kasus
Neira. Kepala sekolah di sekolah lama Neira sampai mengunjungi kepala sekolah
di sekolah baru khusus untuk membicarakan kasus Neira dan memastikan kondisi
Neira baik-baik saja.
Sanksi untuk Pelaku
Pada
film Cyberbullying, diceritakan ada sanksi yang diberikan kepada 2 pelaku
perundungan namun tidak disebutkan secara eksplisit bentuk sanksinya bagaimana.
Sanksi kepada pelaku menjadi poin yang dilematis ketika pelakunya masih di
bawah umur karena pelaku bullying
di bawah umur tidak bisa diperlakukan sama dengan orang dewasa pelaku bully.
Dalam sistem hukum Indonesia, pelaku di bawah umur – yang usianya masih di
bawah 18 tahun tidak disebut sebagai “tersangka kriminal”, melainkan “Anak yang
Berkonflik dengan Hukum (ABH)”. Pendekatannya bukan menghukum, melainkan
mendidik dan memperbaiki perilaku agar anak memahami kesalahannya dan tidak
mengulanginya[5]. Artinya,
diversi (pengalihan penyelesaian perkara di luar pengadilan) menjadi prioritas.
Di sisi lain, ada korban yang traumanya bisa saja menghantui seumur hidup.
Mungkin saja sanksi kepada pelaku tidak “memuaskan” korban dan orang tuanya.
Pesan Penting
Film
Cyberbullying membawa pesan penting bagi kita, tentang bagaimana
mendukung pemulihan korban, mencari solusi atas masalah yang timbul, kepedulian
terhadap korban, dan PENTINGNYA UPGRADE
PENGETAHUAN mengingat gadget sekarang telah menjadi
barang pribadi utama setiap orang agar cepat mengenali dan mengatasi agar cepat mengenali dan mengatasi cyberbullying.
Ada
beberapa hal yang mengganjal, misalnya dialog tentang Cia yang disebutkan
sebagai siswi “kelas 2B” sementara istilah kelas 1-2-3 untuk SMP sudah lama
sekali tidak berlaku. Sekarang lazimnya digunakan istilah kelas 7-8-9. Di
bagian dialog ini saya merasa tidak relate tapi mungkin saja ya itu
kekhasan penamaan kelas di sekolah Neira?
Namun
demikian, hal yang mengganjal itu tidak menjadi halangan dalam menikmati
keseluruhan cerita. Saya terpesona di bagian Jiro bekerja sendiri di depan
layar komputer untuk menyelamatkan kakaknya.
Begitu
pun keseluruhan ide cerita dan skenario film yang seluruh proses shooting-nya
berlangsung di Makassar ini menarik bagi saya. Adanya aktor senior Roy Marten
menguatkan semua pemeran lain yang berasal dari Makassar. Selain menyukai
akting Roy Marten yang effortless, saya menyukai akting Neira, Jiro, dan
Rani.
Akhir
kata, sukses buat segenap pendukung film Cyberbullying. Semoga disukai oleh
masyarakat Indonesia dan para penontonnya bisa mengambil inspirasi dari film
ini.
Makassar, 27 Oktober 2025
Judul:
Cyberbullying (2025)
Tanggal
tayang: mulai 23 Oktober 2025 (serentak di bioskop-bioskop di seluruh
Indonesia).
Sutradara/Penulis:
Rusmin Nuryadin.
Produser:
Liani Kawati.
Co-Producer: Sunarti
Sain dan Novita Sutopo.
Pemain:
Amanda Putri Revina (Neira), Roy Marten (Kakek Mansyur), dan beberapa pemeran
pendukung, seperti Arlita Reggiana dan Mohammad Rannan.
Catatan kaki:
[1] Kata baku adalah “adang”, bukan
“hadang”, http://kbbi.web.id/adang
[2] https://www.unicef.org/indonesia/media/5606/file/Bullying.in.Indonesia.pdf
[3] https://en.antaranews.com/news/303705/3883-cases-of-child-rights-violations-in-2023-kpai
[4] https://www.unicef.org/indonesia/media/5691/file/FactSheetPerkawinanAnakdiIndonesia.pdf
[5] Pasal
3 UU No. 11 Tahun 2012: “Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif dan diversi.”
Share :



0 Response to "Film Cyberbullying: Cerita tentang Luka di Balik Layar"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^