Ketika Oknum Guru Jadi Pelaku Bully

Ketika Oknum Guru Jadi Pelaku Bully – Berita mengenai oknum guru melakukan perundungan kepada siswa marak akhir-akhir ini karena siswa tersebut meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Guru yang dimaksud berkelit dong, tidak mengakui. Begitulah kalau kata-kata berupa hujatan begitu mudahnya meluncur dari sosok pendidik. Kata-kata memang ringan diucapkan, tak ada bobotnya sama sekali. Nyaris tak butuh effort pula saat mengeluarkannya, hanya perlu mengeluarkan suara.

Oknum Guru Pelaku Bully

Contoh Kasus Bully oleh Oknum Guru

 

Profesi guru sangat mulia sebenarnya. Orang yang menjalaninya bakal mendapatkan penghormatan tinggi seumur hidupnya dan terus dikenang sebagai orang istimewa oleh siswanya jika dia pantas dikenang dalam kebaikan. Jika tidak, maka dampaknya luar biasa. Seperti kasus meninggalnya seorang siswa SMA di Jawa Barat pertengahan bulan Juli ini.

Saya juga pernah membaca kasus siswa meninggal karena prank – saya tidak suka sekali dengan prank karena akibatnya bisa begini. Siswa SD tersebut berulang tahun. Seisi kelas termasuk wali kelas mengerjainya (prank).

Dibikinkanlah skenario. Si anak yang berulang tahun dituduh mencuri. Barang bukti direkayasa, dimasukkan di dalam tas si anak. Setelah nangis-nangis baru deh si anak akan dihibur dengan ucapan selamat ulang tahun oleh wali kelas dan teman-teman sekelasnya.

Tahu apa yang terjadi? Pastinya huru-hara emosi di dalam jiwa si anak. Lalu dia jatuh pingsan dan jatuh sakit, tidak bisa ke sekolah. Selang beberapa pekan kemudian, si anak meninggal dunia. Gemas sekali saya baca kisah ini, rasanya pengen nampol  si oknum guru!

 

Pengalaman Putriku Menghadapi Perundungan

 

Saya jadi teringat kasus bully oleh guru yang dialami putri saya. Dua kali dia mengalaminya. Pertama kali sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu putriku tidak ikut les tambahan yang diberikan oleh wali kelas.

Ternyata siswa yang tidak ikut les berdampak pengucilan oleh teman-temannya karena guru tersebut melarang keras anak yang ikut les untuk memberi tahu materi yang diajarkan di les kepada anak yang tak ikut les. Soalnya anak-anak yang ikut les berjaya saat ulangan sebab trik menjawab soal diberikan saat les.

Tak hanya sekali pesan itu disampaikan wali kelas sehingga Athifah pun dikucilkan. Pernah sekali waktu untuk urusan lain, Athifah diejek oleh teman-temannya di grup WA kelasnya sampai dia menelepon saya sembari menangis meraung-raung. Hanya sedikit siswa yang tak ikut les tambahan. Bagi putri saya, terasa sekali  teman-teman sekelasnya menjauhinya. Pengalaman ini membekas baginya.

Bukan hanya dia, bagi saya juga. Saya marah sekali pada wali kelasnya itu, sampai-sampai saya tak mau menemuinya karena khawatir bisa hilang kendali saat berhadapan dengannya. Rasanya sakit hati luar biasa.

Saat di sekolah dasar itu, bukan hanya itu peristiwa perundungan yang dialami putri saya, ada beberapa kali kejadian perundungan yang dialaminya sehingga suami saya yang setiap hari mengantar-jemputnya merasa perlu turun tangan membereskannya.

Putri saya mengalami perundungan lagi saat di bangku SMP oleh anak-anak sok berkuasa. Saat itu saya bersama suami sampai dua kali menghadap wali kelas dan guru BK (Bimbingan dan Konseling) untuk membereskannya karena upaya menguatkan putri kami dan memintanya untuk berupaya menghadapi sendiri terlebih dulu tak berhasil. Singkat cerita, putri kami bisa melalui masa-masa itu dan lulus SMP dengan predikat juara kelas.

Di SMA, ada saja upaya bully yang dilakukan oleh siswi-siswi yang merasa dirinya populer terhadap Athifah dan sahabat-sahabatnya. Salah satunya dilakukan oleh anak yang pernah merundungnya saat SD. Qadarullah mereka sekelas selama 3 tahun di SMA. Kali ini putriku sudah lebih bisa mengendalikan dirinya dan masalah yang dihadapinya.

Ceritanya, anak itu tidak mau melakukan apapun dalam tugas kelompok sementara Athifah sebagai ketua kelompoknya sudah melakukan beberapa pendekatan. Dia memberikan anak itu tugas yang mudah tetapi si anak tetap tak mau melakukan apa-apa, bahkan sekadar patungan 5000 rupiah.

Jadilah putriku mencoret namanya dari daftar anggota grup. Ketika guru  mata pelajaran menanyakan mengapa anak itu dikeluarkan dari daftar anggota, Athifah menjawab tegas: “karena dia tak mau melakukan apapun”.

Alhasil si anak murka. Dia mengata-ngatai Athifah dan sahabat-sahabatnya. Adegannya terjadi di dalam kelas, kurang lebih mirip dengan yang ada di sinetron-sinetron Indonesia. Terjadilah berbalas kata dengan sahabat Athifah sementara putriku diam saja.

“Saya mau bayar, siapa bilang saya tidak mau bayar!” keluar makian kasar dari mulut si anak. Dia melemparkan uang 5000 rupiah di hadapan Athifah. Athifah tetap diam, berdiri, lalu melengos, meninggalkan anak sok itu. Sejak itu, si anak tak lagi merundungnya terang-terangan hanya ekspresi wajahnya saja yang terkadang putriku lihat julid.

Banyak kali siswi-siswi sok populer merundung Athifah dan sahabat-sahabatnya sampai-sampai sahabatnya menangis. Alhamdulillah, putriku bergeming. Walaupun jengkel, dia santai saja, tidak lagi seemosional saat SD dan SMP.

Saya sampaikan kepadanya, in syaa Allah akan ada hikmahnya semua pengalaman tak mengenakkannya terkait perundungan. Setidaknya dia punya pengalaman menghadapi orang-orang dengan karakter aneh.

Salah satu keanehan mereka adalah senang mengejek hal-hal kecil yang wajar. Bisa tuh mereka julid lalu menertawakan kesukaan Athifah dan sahabat-sahabatnya terhadap kucing. Dijadikan bahan hinaan. Coba pikir, logikanya di mana ya, hal demikian dijadikan bahan hinaan?

Bukan hanya oleh siswi-siswi sok populer, salah satu oknum guru juga melakukan perundungan. Saya tahu hal tersebut tidak disadari oleh si oknum guru namun tetap saja tidak enak mendengarnya. Syukurnya putriku hanya melepaskan kejengkelannya saja ketika bercerita kepadaku, lalu setelah itu dia santai saja menghadapi ulah gurunya.

Jadi, guru paruh baya itu senang menunjuk Athifah untuk mengerjakan soal matematika di papan tulis HANYA karena Athifah ranking 1 di kelasnya. Dipikirnya, anak ranking 1 seharusnya bisa menjadi contoh bagi teman-temannya. Qadarullahnya, Athifah bukan anak yang menguasai matematika dengan sangat baik. Dia biasa saja di mata pelajaran hitungan. Tahu apa yang diucapkan oleh gurunya di depan kelas? Ini yang diucapkannya:

“Bodoh ko palek. Saya kira pintar ko ka ranking satu ko[2]!” ujar si oknum guru. Adakah teman sekelas yang menertawainya? Ada! Ada yang sampai mengirimkan pesan pribadi, menertawakan mimik wajah Athifah ketika si guru mengatakan itu!

Masya Allah, alhamdulillah, segala pujian hanya milik Allah – saya bersyukur, hal itu tidak mematahkan jiwa Athifah. Sementara saya merenungkan, jika hal itu terjadi pada saya, di usia yang sama dengan usia Athifah, saya mungkin bisa drop mental dan sakit parah karena sedih dengan ungkapan guru itu!


Ketika Guru Bully Murid

Tentunya, Allah yang menguatkan putriku dan untuk sampai di titik itu, jalan yang dilaluinya tidak mulus. Dia mengalami perundungan saat SD dan SMP. Dan selama 3 tahun di SMA mengalaminya juga. Mentalnya sudah dipukul berulang kali oleh orang-orang yang mulut dan jarinya terlalu lemas.

Di sisi Athifah, ada saya – ibunya – yang selalu merasa hati saya berdarah-darah perih setiap ada yang merundungnya. Ada doa-doaku yang terus dilantunkan kepada Sang Pemilik Jiwa. Juga ada motivasi yang terus saya verbalkan kepada Athifah. “In syaa Allah ada hikmahnya. In syaa Allah, Athifah punya pengalaman menghadapi orang begitu. In syaa Allah Athifah kuat!”

Harapan saya, putriku punya bekal untuk kelak dia menjalani kehidupan. Setiap fase kehidupannya sejak kanak-kanak mengajarkan banyak hal kepadanya, termasuk kesiapan menghadapi dunia nyata. Semua hal di dunia nyata ada lho di dalam dunia anak-anak kita.

Jika di dunia nyata orang dewasa menghadapi orang nyinyir, culas, manipulatif, tukang tipu, tukang bohong, maka di dunia kanak-kanak mereka, ada juga yang seperti itu. Tantangan tersendiri bagi orang tua dalam mendampingi mereka menghadapi setiap fase itu.

Bagi anak, masalah dan solusinya adalah salah satu cara belajar kehidupan. Dalam dunia nyata yang akan dijalaninya  nanti, butuh keterampilan dalam menghadapi kesulitan. Ada tuh yang namanya Adversity Quotient (AQ) atau Kecerdasan Adversitas, yaitu kemampuan seseorang untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan, tantangan, atau kemunduran dalam hidup. AQ mengukur seberapa baik seseorang merespons kesulitan dan mengubahnya menjadi peluang untuk tumbuh dan berkembang[1]. Jangankan anak-anak ya, kita saja butuh punya AQ. Setuju?

Makassar, 28 Juli 2025

 

Kita hanya bisa berupaya. Takdir kadang kali tak sesuai harapan. Teruntuk orang tua yang sedang berduka. Kuucapkan turut berdukacita dari lubuk hati yang palin dalam.


Catatan kaki:


[1] https://repositori.uma.ac.id/bitstream/123456789/1125/5/138600081_file5.pdf

[2] Ternyata kamu bodoh ya, saya kira kamu pintar karena ranking satu.



Share :

1 Komentar di "Ketika Oknum Guru Jadi Pelaku Bully"

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^