Nasi Kuning Terakhir Ibunda dan Harta yang Paling Berharga

Nasi Kuning Terakhir Mama dan Harta yang Paling Berharga - “Mama mau makan nasi kuning?” tanya saya. Perempuan 78 tahun yang pernah membawa saya dalam rahimnya ini menatap dengan sorot mata lemah. Beberapa saat kemudian, Mama berada di ruang makan menyantap nasi kuning Gorontalo buatan Kak Noi bersama Uyi, adik laki-laki saya.

 

Nasi Kuning Terakhir

 

Kami meminta Kak Noi memasakkan nasi kuning Gorontalo untuk disantap bersama pada milad ke-50 pernikahan orang tua kami, tanggal 4 September 2021. Kami meminta Kak Noi memasak dalam jumlah banyak untuk membagikannya kepada para tenaga kesehatan di rumah sakit tempat ayah kami dirawat.

Saya mengabadikan Mama saat tengah menyantap nasi kuning dan ketika minum air dalam bentuk video. Videonya saya kirimkan kepada Mirna – adik perempuan saya yang sedang dalam perjalanan dari Sorowako menuju Makassar. Ketika dikabari tentang kondisi Mama yang semakin lemah, Mirna sekeluarga gegas menuju Makassar yang berjarak sekitar 12 jam perjalanan bermobil.

Nasi Kuning Terakhir Mama
Nasi kuning terakhir Mama. Tanggal 7 baru saya sadari masih
ada di atas meja makan. Saat itu Papa sudah dimakamkan.

Entah bagaimana saya jika tak ada adik lelaki ini. Sendirian menghadapi dua orang tua yang sakit sama sekali tak mudah sementara saya pun sedang dalam masa pemulihan karena baru sembuh. Ibu saya sebenarnya kondisinya relatif baik-baik saja ketika hasil tes usap antigen dan PCR-nya menyatakan dirinya positif covid namun beliau terlalu memikirkan ayah yang dirawat di rumah sakit.

Tanggal 29 Agustus, ayah kami dirawat di rumah sakit karena kondisi hernianya semakin berat. Sementara keadaan itu tak bisa ditangani sebelum covidnya tertangani. Di rumah, Papa sudah sulit memakan dan meminum apapun. Sedikit-sedikit ingin muntah. Atas persetujuannya juga, Papa dirawat dalam area isolasi covid-19 di sebuah rumah sakit swasta di Makassar.

 

Harta yang Paling Berharga Adalah Keluarga

 

Kedua orang tua ditemani Uyi selama penanganan kesehatan. Yang selama ini, adik yang sudah merantau sejak tamat SMA tahun 1994, kini bisa mendampingi kedua orang tua kami. Qadarullah, Uyi berada di Makassar selama 4 pekan sejak Mama dan Papa sakit hingga berpulang.

Allah sungguh Maha Baik, menakdirkan orang tua kami melihatnya dalam waktu lama di saat-saat terakhirnya. Sejak Uyi bekerja di Bontang (Kalimantan Timur) lalu pindah ke Jakarta, tak pernah Uyi sampai selama itu di Makassar. Biasanya sekitar sepekan saja. Kali ini, Uyi bahkan ikut mengurus kedua orang tua kami.

Ndak tahu mi saya bagaimana kalau ndak ada ko,” ujar saya kepada Uyi suatu ketika.

Di saat-saat terakhirnya, Mama harus dituntun bahkan dipapah saat berjalan. Sewaktu Papa dijemput pulang dari rumah sakit, saya menuntun Mama menunggui Papa di ruang tengah. Mama menolak sewaktu saya memintanya menunggu di kamar tidur saja. “Mau tunggu Papa,” ujarnya.

Mama duduk di kursi yang biasa didudukinya di ruang tengah. Wajahnya dihadapkan ke arah jendela ruang tamu. Saat Papa tiba dan duduk di ruang tamu – beristirahat sejenak, Mama mendatanginya dengan tertatih-tatih semari saya tuntun. Didekatinya Papa lalu disalaminya.

Usai minum air, Papa masuk ke dalam kamar. Mama ke ruang makan dan makan nasi kuning terakhirnya bersama Uyi. Setelah makan beberapa sendok, Uyi menuntunnya ke kamar. Saya memvideokannya dan mengirimkannya kepada Mirna, memperlihatkan kondisi ibu kami.

Tak saya sangka itulah saat-saat terakhir beliau bisa berjalan karena sesampainya di kamar yang terhubung dengan kamar tidurnya … Mama tak kuat lagi berjalan. Kakinya tak kuat menahan tubuhnya hingga perlahan tubuhnya lunglai dan terduduk di lantai. Uyi kesulitan mengangkat tubuh Mama.

Suami saya membantu Uyi mengangkat Mama, mendudukkannya di sebuah kursi. Segera dipasangkan tabung oksigen selama beberapa menit. Setelah itu, Uyi dan suami membopong Mama ke tempat tidurnya, berbaring di sisi Papa.

Sungguh, hanya Allah yang layak dipuji. Skenarionya begitu indah meski pada saat-saat ujian yang datang itu tak pernah terbayangkan. Apa jadinya jika hal-hal itu terjadi ketika saya hanya sendiri bersama Mama? Saya pasti tak kuat membawa Mama ke tempat tidurnya.

Apa jadinya jika suami saya tak ada di rumah? Uyi pun kesulitan mengangkat ibu kami seorang diri. Anak sulung pun belum bisa diandalkan dalam urusan mengangkat tubuh manusia.

Karangan bunga kematian

Saat menyuapi dan memperbaiki posisi tidur Mama, saya tak bisa sendirian. Saya sangat merasa terbantu saat menyuapkan makanan, ada Uyi yang menopang tubuh Mama karena Mama tak bisa menahan tubuhnya sendiri.

Sewaktu Mama tak bisa menggerakkan tubuhnya, saya butuh bantuan Uyi yang badannya jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada saya untuk membantu menggerakkan tubuh Mama.

Ketika terbetik ide menuliskan hal ini, dalam benak saya terngiang-ngiang sound track sinetron/film Keluarga Cemara:

Harta yang paling berharga adalah keluarga  -  Istana yang paling indah adalah keluarga  - Puisi yang paling bermakna adalah keluarga  -  Mutiara tiada tara adalah keluarga

Ya, keluarga adalah support system andalan saya! Harta tak terhingga saya. Tanpa mereka, saya – satu-satunya anak yang tinggal bersama orang tua, tak bisa apa-apa.

Semua keputusan selama ibu dan ayah kami sakit hingga berpulang, dibuat atas kesepakatan bertiga. Meskipun adik laki-laki yang mengantar, menemani, dan menjemput ke/dari rumah sakit, dia tak pernah memutuskannya sendiri. Pasti meminta pertimbangan kedua kakak perempuannya.

ColPro
ColPro (susu) terakhir yang disiapkan untuk Papa,
tak diminumnya.

Qadarullah
Mirna tiba di Makassar ketika ibu saya sudah dijemput malaikat maut namun belum terlaksana proses penyelenggaraan jenazahnya. Dia masih berkesempatan memandikan ibu kami dengan mengenakan hazmat di tempat pemulasaran jenazah di RSU Daya. Alhamdulillah dia paham tatacara memandikan jenazah sesuai syariat Islam.

Bisa apa saya jika tak ada dia sementara saya harus menemani Papa di rumah ketika jenazah Mama dibawa pergi? Selama mengurus Mama dan Papa hingga keduanya berpulang, Mirna dan Uyi membantu dalam banyak hal, masya Allah …

Pak suami banyak membantu urusan ke luar rumah guna perawatan Papa dan Mama. Anak-anak saya pun membantu banyak. Affiq menemani ayahnya ketika mencari regulator untuk tabung oksigen. Athifah setiap hari bertindak selaku perawat yang mengukur saturasi oksigen dan suhu Oma dan Ato’nya, juga mengajak keduanya makan. Sementara si bungsu kadang-kadang menghibur saya ketika tahu ibunya sedang kelelahan.

Bisa apa saya tanpa mereka semua?

Pasca berpulangnya Mama dan Papa, tanggal 5 dan 7 September lalu, rumah kami langsung sepi. Tak ada sanak saudara yang kami perkenankan bertandang dulu sebelum rumah disemprot disinfektan berkali-kali.

Seorang kawan yang baik hati meminjamkan alat penyemprotnya dan cairannya secara gratis. Setelah pak suami dan si sulung menyemprotkan cairan disinfektan dari petugas PMI, pak suami menggunakan alat yang dipinjamkan kawan itu untuk menyemprot semua kamar, termasuk isi dari lemari yang dibiarkan terbuka.

Alat disinfektan
Alat untuk disinfeksi ruangan yang dipinjamkan kawan.
Terima kasih, Bro Iqbal. Sangat membantu. 

Sepi memang namun kondisi seperti ini tak membuat saya galau. Biasa saja karena saya sudah menerima semua ketentuan Allah dengan lapang dada. Tak ada kesedihan berlebihan. Adik-adik masih sempat membantu saya membersihkan dan merapikan rumah. Kami juga merembukkan hal-hal yang harus dibahas secara syar’i sebelum mereka meninggalkan Makassar.

Qadarullah, Uyi harus berangkat ke Jakarta tanggal 11 September sementara Mirna sekeluarga pulang ke Sorowako tanggal 13 September. Ingin menahan mereka tapi apa boleh buat. Pekerjaan kantor mereka sudah menumpuk dan harus segera dibereskan.

Sepi?

Iya. Tapi bukan menjadi alasan untuk larut dalam kesedihan. Saya memang tak hendak bersedih kok jadi tak perlu menasihati saya untuk bersabar dan ikhlas  karena in syaa Allah saya menjalani proses sabar dan ikhlas.

Kalaupun saat menuliskan ini mata saya berkaca-kaca, itu karena saya begitu terharu merenungkan bisa apa saya tanpa mereka? Bisa apa saya tanpa Allah?

Lalu terngiang-ngiang kembali lagu ini:

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

Makassar, 23 September 2021

Terima kasih tak terhingga kepada semua pihak yang memberi dukungan selama 

kedua orang tua kami sakit  hinggaproses penguburan selesai

dan ketika kami melakukan disinfection di dalam rumah.

Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan berkah yang berlipat. 


Baca juga:




Share :

8 Komentar di "Nasi Kuning Terakhir Ibunda dan Harta yang Paling Berharga"

  1. Kak Mugni.. saya jadi teringat lebih dari 5 tahun lalu saat merawat almarhum ayah yang sakit. Ayah kami sudah sering kehilangan kesadaran dan sering halusinasi. Tapi kondisi badannya sangat fit ketika sadar. Kami bertiga bahkan tak sanggup menjaga bila tak bergantian.
    Dan awal tahun lalu saat merawat ibu yang sakit saya sempat merasakan gimana tiba2 ibu melorot karena lunglai saat sedang saya papah ke kamar mandi. Rasanya? Ya Allah satu ibu bisa mengurus 5 anak. Tapi saya belum tentu bisa merawat seorang ibu. Alhamdulillah ibu sampai sekarang sehat terus.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya Allah ... Mbak Icha. Mewek baca komennya. Iya ya ... seorang ibu bisa merawat berapapun anaknya, bahkan sampai usianya dewasa ada yang masih "dikeloni". Tapi satu anak belum tentu sanggup merawat seorang ibu :'(

      Delete
  2. Hal hal yang terkesan biasa, menjelma menjadi luar biasa. Ketika yang ada dibalik hal biasa tersebut, orang yang kita sayangi. Nasib kuning, menjadi dalam maknanya. Mengingat ada kisah dibaliknya.

    ReplyDelete
  3. Kok aku sedih ya.. semoga semua amal ibadah almarhum ya Kak. Dari cerita ini kita juga bisa berbagi dan menginspirasi betapa kita harus membalas budi baik orangtua hingga akhir hayatnya menjaga mereka, membalas yg mereka lakukan sejak kita kecil hingga dewasa.

    ReplyDelete
  4. Peluuuuk mbaa... Alfatihah utk almh ibu dan alm ayah ya mba.. Setuju sekali, keluarga adalah harta kita yg paliiiing berharga. Syukur alhamdulillah.. Terima kasih sdh berbagi kisah inspiratif ini.

    ReplyDelete
  5. Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kak Niar.
    Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.

    Yakin, kak Niar dan keluarga bisa saling menguatkan dan saling mendukung satu sama lain.
    Pasti berat ditinggalkan oleh kedua orangtua sekaligus.

    Doa yang terbaik untuk kak Niar dan keluarga.
    ((peluk jauh dari kami, kak Niar))

    ReplyDelete
  6. Belum tentu aku sekuat kamu bun, ya Allah semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran yang luas aamiin. Alfatihah.

    ReplyDelete
  7. Nangis bacanya mbak..

    sepi, itu juga yg aku rasakan saat ibu berpulang. Kangen.. Dan berat banget. Bersyukur ya mbak, mbak bisa berada di dekat ibu saat ibu sakit. Sementara aku ada penyesalan besar dimana ibu harus koma di rs hanya bersama bapak.


    Peluk mbak dari jauh. Semoga kita dikuatkan.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^