Mau Makanan Surga - "Papa makan yang banyak ya supaya bisa duduk-duduk (di teras), lihat-lihat bunganya," kata saya.
Lelaki 81 tahun itu menggeleng.
"Papa makan yang banyak supaya kuat ke masjid," kata saya
lagi.
Menggeleng lagi.
"Papa banyak makan supaya bisa jadi imam shalat 5 waktu lagi di
masjid," ujar adik perempuan saya.
"Saya sudah tidak bisa jadi imam di dunia lagi. Saya mau jadi imam di surga," ujar ayahanda yang tubuhnya semakin kurus ini.
Saya dan adik memijat-mijat kaki dan tangannya. Mengajaknya
bercakap-cakap dalam pemikiran saya akan membawanya kepada realita dan
mengajaknya berkoneksi lagi dengan kami dengan lebih intens.
Virus
corona telah membuatnya kehilangan sebagian kesadaran terhadap sekeliling
namun jika diajak berbincang sesekali masih bisa nyambung. Sesekali
saja, seringnya malah tidak nyambung.
Tak lama kemudian ada video call dari ponakan Papa ke HP adik perempuan saya. Lantas dengan 5 layar, kami mengajaknya terhubung secara nyata dengan beberapa ponakan - anak dari kakak-kakaknya di Makassar, Soppeng dan Lasusua (Sultra).
Sesekali jemarinya menunjuk. Kami menjelaskan wajah siapa yang
tengah tampak di layar.
"Om, makan ki'. Bilang ki' mau makan apa, nanti
dimasakkan," ujar salah seorang sepupu.
Menggeleng.
"Mau ki' nasu manu' likku?"
Menggeleng.
"Mau ki' apa? Bilang maki'. Nanti
dimasakkan."
"Saya mau makanan surga," ujar Papa.
Jawaban-jawabannya membuat saya terpana. Sewaktu Mama meninggal dan
diajak adik laki-laki menyaksikan kepergian ibunda, Papa mengatakan,
"Nanti saja, sama-sama."
Hingga hanya sekira 2 jam usai video call itu, ayah kami
mengembuskan napas terakhirnya. Tenang. Tak ada kesakitan yang tampak dari raut
wajahnya.
Seperti Mama, Papa pergi dengan penyakit yang sama, dengan komorbid hernia yang baru kami tahu karena disembunyikannya dari kami hingga tak tahan menanggung sakit baru diceritakannya.
Sekali lagi, kami ikhlas, ridho. Tak ada sesal. saya
bersyukur ada untuk keduanya di saat-saat terakhir mereka. Ringan melepasnya
pergi meski kami tahu pasti akan merindunya, terlebih saya yang serumah dengan
Mama dan Papa. Seketika merasa sepi.
Kami bahagia, keduanya tenang, melihat pasangannya ada, di antara
anak-anak dan cucu-cucunya.
Papa berkali-kali pernah mengatakan, "Kalau saya kena covid, saya
tidak mau dibawa ke rumah sakit karena nanti anak-anak dan cucu-cucu tidak bisa
lihat."
Walau sempat dirawat di RS karena komorbidnya memberat dan saling
pengaruh dengan covid, Papa kami bawa pulang atas permintaan sendiri, mengingat
kondisi psikis Mama dan Papa yang sama-sama rindu. Mama rindu suaminya, Papa
rindu rumahnya.
Selama di rumah, Papa masih bisa ke kamar mandi sendiri, seolah
sibuk membersihkan dirinya. Tak ada keluhan sakit. Tak ada sesak napas.
Napasnya terlihat normal. Pagi hari sebelum berpulang saya masih menanyakan,
"Apa yang sakit Pa? Kepala? Perut? Tangan? Kaki?" Semuanya dijawab
dengan gelengan kepala.
Kemarin-kemarin pun kalau saya menanyakan hal yang sama, dijawabnya
dengan jawaban yang sama: gelengan kepala.
Selang 2 hari orang tua kami berpulang (tanggal 5 dan 7) setelah
hitungan ke-50 tahun pernikahan mereka.
Bendera putih yang disiapkan Papa beberapa bulan sebelumnya, ketika
masih bugar dipakai saat meninggalnya Mama dan Papa.
Bendera-bendera putih itu dibuatnya diam-diam. Setelah membuat
sekitar 5 tangkai, Papa berpesan kepada cucu sulungnya untuk memasang
bendera-bendera putih penanda kematian itu di titik-titik tertentu.
========
Allah Maha Berkehendak. Tanda-tanda itu sudah ada. Saya baru tahu
kalau Papa pernah menceritakan mimpinya kepada ponakannya, mengenai 2 makam dan
kafan yang dilihatnya. Satu kain kafan untuk laki-laki dan satunya untuk
perempuan.
Terjawab sudah, kain kafan itu untuk Mama dan dirinya. Dan tercapai
sudah keinginannya, berada di rumah sendiri.
=======
Sekali lagi terima kasih kepada Satgas Covid Kota Makassar yang
dengan santun menyelenggarakan pemakaman kemarin. Lancar pula. Terima kasih Pak
Danny Pomanto.
Terima kasih kepada semua pihak, baik karib dan kerabat yang sudah
membantu segala sesuatunya.
*Putra-putri alm Marakarma bin Paketjtja Ahmad dan almh Mientje
Usman binti Ismail Usman:
Mugniar & Solihin Tahir, Mirna Yuniastuti dan Moh. Rifai, Abdul
Muhyi & Rasydiana Suyuthi.
Makassar, 8 September 2021
Bersumber dari catatan saya di Facebook pada 8 September 2021
Baca tentang kepergian Mama
di:
Covid
Bukan Aib Meski Berujung Kematian
Share :
Terharu mendengar ceritanya, surga sudah menunggunya, semoga tenang di sana. Turut berduka cita, Mbak.
ReplyDeleteAamiin .. maaf baru membalas ya Mbak Nisa. Terima kasih ucapannya.
DeleteInnalillahi wa Inna Ilaihi Rajiuun maafkan aku baru tahu beritanya Kak Niar, September 2021 adikku juga berpulang di Bogor...peluuuk...Al fatihah untuk Papa dan Mama
ReplyDeleteInna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Turut berdukacita ya Mbak Dedew .. maaf baru tahu juga. Semoga adik Mbak Dedew berada dalam kondisi yang baik di alam barzakh ya Mbak. Terima kasih ucapannya.
Delete