Seminar ini
diselenggarakan atas kerja sama Lembaga Administrasi Negara bekerja sama dengan Knowledge Sector
Initiative (KSI) dan Yayasan BaKTI, bertempat di Hotel Melia pada tanggal 5 Juli lalu.
“Kebijakan
publik itu proses yang bottom – up. Ini pekerjaan besar, tidak boleh
patah semangat, dan jangan cengeng. Jalannya research itu panjang dan
sering kali ada kontestasi dan siap untuk bertarung. Kita menghasilkan
produk yang berpihak pada masyarakat. Kualitas lembaga riset itu penting. Kita
mendorong riset dasar dan aplikatif. Selain itu, harus memahami ‘teks kebijakan’,
dukungan kebijakan, dan kemanfaatan,” Pak Robert juga menegaskan mengenai
agenda riset yang tidak bersesuaian dengan RPJM dan RPJMD. Hendaknya peneliti
juga membaca dokumen negara agar punya “pintu masuk” dalam merealisasikan yang
hendak dilakukan dengan pandangan pemerintah.
Bagaimana
menghasilkan Knowledge Based Policy Making – kebijakan otonomi daerah
yang unggul bergantung pada dua unsur pembentuknya, yaitu metodologi dan
kapasitas peneliti otonomi daerah. KPPOD lahir sebagai eksperimen
kolaborasi multipihak (dunia usaha, komunitas akademik, dan media massa) sbagai
tiga pilar masyarakat sipil era reformasi.
Yang tak
kalah pentingnya menurut Pak Robert adalah intermediary. Agenda
yang didorong tidak hanya memperkuat kapasitas analis kebijakan tapi juga
merupakan penguatan kapasitas Balitbangda (Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah). “Balitbang itu tidak sama dengan lembaga riset. Dia bukan produsen
pengetahuan. Yang produsen pengetahuan di lapangan itu seperti lembaga-lembaga
studi di kampus,” ucap Pak Robert.
Legitimasi
adalah berbasis bukti dan bukti diambil dari penggunanya sendiri. Intermediary
itu adalah media massa. “Di tingkat nasional, lembaga studinya mau sebagus
apapun, kalau tidak ‘bunyi’ di media, tidak diperhatikan. Terutama kalau itu riset-riset
yang berdampak pada kebijakan politik. Begitu pun DPRD, tidak mengundang kita
kalau belum ‘bunyi’ di media. Memang peran media massa itu sangat penting.
Mempengaruhi opini itu sama pentingnya dengan mempengaruhi kebijakan publik –
itu kalau di tingkat nasional. Itu faktanya,” papar Pak Robert. Menurutnya, hal
ini sebagaimana politisi yang banyak tidak memperhatikan soal validitas atau relevansi,
melainkan lebih mementingkan popularitas isu. Padahal sebenarnya, bagaimana
memaksimalkan kolaborasi dan agar manfaat bisa benar-benar dirasakan oleh yang
terdampak oleh kebijakan publik jauh lebih penting.
Sumber: fan page Facebook BaKTI |
Pemateri
terakhir dari seminar ini adalah Pak Profesor Abdul Majid Sallatu yang memperkenalkan JiKTI (Jaringan Peneliti KTI) kepada hadirin.
“Ketertinggalan
kita di Indonesia bukan karena sumber daya alam atau teknologi, melainkan
karena pengetahuan,” ucap Pak Majid membuka materinya. BaKTI menginisiasi “bursa
pertukaran pengetahuan” untuk hal ini.
“Mungkin ada yang tidak percaya, kalau dikumpulkan profesor – doktor di kawasan timur Indonesia itu jauh lebih bagus kualitasnya daripada perguruan tinggi terbaik di seluruh Indonesia. Hanya saja mereka jadi jago-jago kandang di tempatnya masing-masing,”ucap Pak Majid yang kemudian menjelaskan tentang BaKTI dan JiKTI.
JiKTI
adalah sub forum dari forum KTI yang difasilitasi oleh BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan
Timur Indonesia). BaKTI
mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang tersebar dan sekarang mulai mengelolanya.
Peneliti JiKTI ada di 12 provinsi KTI, terdiri atas jejaring lebih dari 1000
tetapi bukan merupakan lembaga peneliti.
Sub
forum yang lain selain JiKTI adalah Forum Kepala Bappeda KTI yang sudah
berlangsung selama 10 tahun. Ini menjadi tempat berkomunikasi anggota-anggota
JiKTI di masing-masing provinsi untuk mencoba merumuskan kebijakan yang bisa
membantu pemerintah daerah. Realisasi dari knowledge-based policy di
Indonesia Timur adalah melalui pertukaran pengetahuan di BaKTI. JiKTI adalah
jejaring kolaborasi penelitian. Selain berkomunikasi dengan Kepala Bappeda,
JiKTI juga mengangkat permasalahan di Indonesia Timur untuk dimasukkan ke RPJMN
atau yang lainnya. Termasuk dalam Forum Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Melalui
Forum JiKTI dan Kepala Bappeda, Forum KTI, banyak difasilitasi terbitnya buku
III RPJMN yang khusus berbicara tentang daerah. Indonesia Timur adalah satu-satunya
kawasan yang memiliki afiliasi seperti ini hingga ikut mengisi buku RPJMN.
“Pada saat Ibu Erna mengatakan belum cukup 200 analis kebijakan, saya mengatakan kami punya lebih dari 1000 anggota yang gampang sekali ditransformasikan menjadi analis kebijakan,” pungkas Pak Majid.
Peran anggota JiKTI, lebih jelasnya adalah:
- Promosi isu-isu penelitian
- Pelembagaan kolaborasi penelitian
- Rekomendasi kebijakan pembangunan
- Pendampingan dan advokasi kebijakan
- Penguatan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan
Sumber: presentasi Pak Majid yang dicantumkan di https://bit.ly/2Nu4BZ4 |
Pak
Majid kemudian menjelaskan langkah-langkah apa yang akan dilakukan JiKTI guna
mendukung kompetensi analis kebijakan di Indonesia timur. Selengkanya, materi
dari Pak Robert, Pak Majid, dan nara sumber-nara sumber lainnya dari Seminar
Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing) Tentang Pentingnya Kebijakan Publik
Berbasis Bukti yang Berpihak pada Masyarat Miskin bisa di-download di link:
https://bit.ly/2Nu4BZ4.
Makassar, 1 Agustus 2018
Tulisan
ke 4 dari 4 tulisan (selesai)
Baca
juga tulisan-tulisan sebelumnya:
- Mengapa Perlu Analisis Kebijakan Berbasis Bukti
- Mengapa Profesi Analis Kebijakan Penting
- Analisis Kebijakan Berbasis Bukti: Pengalaman Birokrat Gorontalo
[1]
KPPOD: Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus pemantauannya
pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi,
fiskal dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan
menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan
administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis
bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi/fiskal dan praktik penyelenggaraan
pemerintahan yang akuntabel, efektif dan demokratis di daerah (sumber: http://www.kppod.org/)
Share :
MKASIH BU INFORMASINYA ,, .. kebijkan berbsis bukti emg perlu..
ReplyDelete