Baca juga tulisan sebelumnya Mengapa
Perlu Analisis Kebijakan Berbasis Bukti
Nara
sumber kedua pada seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara bekerja sama dengan Knowledge Sector Initiative (KSI), dan Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) ini, Erna Irawati, S.Sos, M.Pol Adm – Kepala Pusat Pembinaan
Analisis Kebijakan
memaparkan mengenai peran Pusat Pembinaan Analis Kebijakan.
Kenapa
membutuhkan birokrasi yang memerankan jabatan fungsional analisis kebijakan? Ibu Erna melontarkan pertanyaan yang kemudian memberikan
jawabannya: “Ketika decision maker mengambil kebijakan, dia membutuhkan
informasi yang relevan, bukti yang valid. Kalau berbasis bukti, pendekatan
tidak untung-untungan karena analisis dibuat berdasarkan data yang bersifat
ilmiah, kebenarannya bisa dipastikan. Meskipun ketika diaplikasikan
kebenarannya bisa saja memiliki konteks yang berbeda ketika analisis ini
dilakukan.”
“Namun jika analisis kebijakan yang dilakukan tidak berbasis kepada bukti, saya yakin yang populer itu biasanya apa, ya ... dugaan, tanya ke dukun. Ada untungnya … kalau untung ya untung banget. Nggak perlu mikir, nggak perlu waktu panjang, tepat waktunya. Tapi di pihak lain adalah ketika gagal akan mendapatkan berbagai pertanyaan yang kita sendiri sering sekali tidak bisa menjelaskan ‘kenapa saya mengambil keputusan seperti itu’,” lanjut Ibu Erna, menjelaskan mengenai perbedaan bagus atau tidaknya jika analisis kebijakan dilakukan berbasis bukti atau tidak.
Tergantung
konteksnya tetapi berbagai studi menunjukkan kalau kita melakukan analisis
kebijakan berbasis bukti, paling tidak prediksi-prediksi di masa depan sudah
bisa kita baca dengan membaca data yang ada sehingga implementasinya biasanya
lebih akurat. Kalau yang tidak berbasis bukti, ya untung-untungan hasilnya.
Sumber: PoliWiki - Crowdsourcing policy analysis |
Di
satu sisi, membutuhkan informasi yang valid. Di sisi lain, birokrasi memegang
posisi penting karena dia berada di lingkungan pengambil kebijakan. Kalau kita
bicara mengenai NGO, mengenai perguruan tinggi – mereka berada di luar
lingkungan pengambil keputusan. Posisi decision maker itu strategis sehingga
dalam hal ini jika birokrasi bisa memainkan perannya sebagai analisis kebijakan,
dia sangat strategis untuk membantu pengambil keputusan ini untuk bisa mengambil
keputusan berbasis bukti. Inilah pentingnya jabatan ANALISIS KEBIJAKAN di
sektor publik yang mulai direkrut pada tahun 2015.
Oya,
profesi analis kebijakan ini tidak hanya berasal dari Aparat Sipil Negara
(ASN), ternyata. Mereka yang berada di luar itu, seperti yang berasal dari
lembaga penelitian, universitas, think tank, staf ahli, kepolisian, dan
lain-lain bisa bergabung asalkan syarat kompetensinya terpenuhi. Produksi
pengetahuan sangat banyak tetap apakah produksi pengetahuan ini dapat
dimanfaatkan untuk informasi kebijakan? Ini
masih menjadi pertanyaan. Knowledge dari penelitian yang dilakukan pihak
luar, seperti kampus dan NGO sebenarnya juga dibutuhkan dalam pengambilan
kebijakan namun sayangnya belum bisa berkontribusi banyak.
Di
sisi lain, bagian Litbang (Penelitian dan Pengembangan) yang berada di dalam
lembaga pemerintahan juga masih belum berkontribusi banyak. Penelitian yang
baru-baru ini dilakukan menunjukkan baru sekira di bawah 5 Litbang yang
berkontribusi kepada lembaganya namun belum secara nasional. Peran Litbang yang
lain masih dipertanyakan, inilah gap yang terjadi selama ini.
Pola hubungan
antara penelitian dan analis kebijakan – research and policy – ada
beberapa. Research memproduksi knowledge, policy seharusnya
memanfaatkan knowledge ini menjadi informasi kebijakan. Ada yang saling
berhubungan dan ada yang saling bertentangan, research jalan sendiri,
pengambilan keputusan juga berjalan sendiri, amat disayangkan.
Lebih
jauh, Bu Erna memaparkan data mengenai jumlah peneliti 9000 lebih di Indonesia,
perekayasa 2000, sementara analisis kebijakan baru 161 orang dan belum ada di
Sulawesi Selatan. Untuk seleksi analis kebijakan, dibuka kesempatan untuk ASN
yang tertarik, tanggal 30 – 31 Juli 2018 ini ada uji kompetensi. Nanti akan ada
lagi di bulan September .
LAN –
dalam hal ini Pusat Pembinaan Analis Kebijakan berusaha menciptakan network
baik yang memproduksi knowledge maupun kebijakan sehingga bisa
menciptakan lingkungan kebijakan pulik yang lebih bagus. Pusat Pembinaan Analis
Kebijakan mengambil peran dalam menjembatani antara sektor publik, swasta,
perguruan tinggi, dan NGO untuk mendorong terbentuknya kebijakan publik
berbasis bukti.
Nah,
selain yang dijelaskan oleh Bu Erna, ada juga yang namanya Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia
(AAKI). Materi
mengenai peran dari asosiasi ini dibawakan oleh Hilarian Ari Wijayatmoko. AAKI didirikan untuk merespon
Keputusan Menteri PAN RB Nomor 45/2013 dan di-launching kepada Kepala LAN Dr.
Adi Suryanto, Msi. pada 9 September 2016, sebagai berikut:
- Menciptakan aktor analis kebijakan di sektor publik untuk menganalisa kebijakan berbasis bukti.
- Menciptakan lingkungan kebijakan yang berbasis bukti.
AAKI
merupakan organisasi profesi yang menjadi wadah para analis kebijakan di
Indonesia untuk “bekerjasama” dan untuk mengembang “kapasitas” serta “peran”
yang lebih berguna dan berkualitas. AAKI juga menjadi hub kebijakan di
Indonesia yang terhubung dengan LAN (Lembaga Administrasi Negara) sebagai
instansi pembinanya, universitas, Litbang, Pemda, think tank, staf ahli,
LSM/peneliti, dan sebagainya yang mendukung terciptanya kebijakan berbasis
bukti.
Tentunya
Sulawesi Selatan membutuhkan peran serta para analis kebijakan mengingat pertumbuhan
ekonomi daerah ini tinggi sementara angka ratio gini yang menunjukkan
kesenjangan juga tinggi. Untuk itu diperlukan inovasi kebijakan dalam
mengurangi kesenjangan ekonomi masyarakat di Sulawesi Selatan. Anda mau
bergabung dalam asosiasi ini? Silakan masuk ke website-nya, lalu ke alamat ini:
http://aaki.or.id/keanggotaan.
Makassar, 23 Juli 2018
Bersambung
Baca juga tulisan sebelumnya: Mengapa
Perlu Analisis Kebijakan Berbasis Bukti
Share :
Bicara analisis tentu saja terkait data yang terkait dan sebagainya, hitungannya tidak mudah dan juga tidak murah karena hasil outputnya bisa digunakan untuk mengambil langkah kebijakan selanjutnya.
ReplyDeleteMungkin di situ perlunya kerja sama dengan pihak lain seperti kampus yang sudah punya data, ya Bang.
Delete