Oleh-Oleh dari Gorontalo

           Berasal dari orangtua beda suku, membuat saya merasakan memiliki keterikatan terhadap kedua suku tersebut. Jika ditanya asal saya, saya menjawab, “Bapak saya orang Bugis, ibu saya orang Gorontalo.” Lebih lengkap lagi dengan menyebut, “Opa saya bermarga Usman, dan oma saya bermarga Nento.” Sering kali dilengkapi dengan tambahan, “Saya lahir dan besar di Makassar.”
Barangkali Anda mengira saya menguasai tiga bahasa: Makassar, Bugis, dan Gorontalo? Ow .. tidak mungkin. Saya hanya fasih dialek Makassar dalam berbahasa Indonesia, dan saya sedikit mengerti bahasa Gorontalo dan bahasa Bugis. Secara pasif, saya mengerti bahasa Gorontalo ketika mendengar pembicaraan dalam bahasa itu karena ibu dan almarhumah tante saya, dulu selalu menggunakan bahasa Gorontalo di rumah.

Ibu saya hingga kini mengira saya tidak tahu bahasa Gorontalo. Sering beliau membicarakan hal dianggap rahasia dengan kerabat di ujung telepon menggunakan bahasa itu, supaya orang rumah tidak mengerti. Padahal saya yang berseliweran di sekitar beliau mengerti. Hanya sedang pura-pura bego he he he. Eh, tapi saya tidak menguping lho ya. Letak pesawat telepon di rumah kami adalah di bagian tengah rumah. Siapa pun bisa mendengar pembicaraan ibu saya dengan seseorang di telepon karena ibu tak pernah berbicara dengan suara pelan di telepon, volume suaranya mode ‘pertengahan’.
Dulu saya masih jauh lebih paham bahasa Gorontalo daripada bahasa Bugis. Karena saya mendengar setiap hari ibu menggunakannya dengan almarhumah tante yang tinggal di rumah kami. Sedangkan ayah saya jarang menggunakan bahasa Bugis. Dengan keponakan-keponakan beliau saja, beliau menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan mereka. Setelah menikah dengan suami yang orang Bugis, saya kini lebih mengenal bahasa Bugis (secara pasif) karena banyak bertanya kepada suami yang pemakai aktif bahasa ini. Mertua, ipar-ipar saya, dan suami saya saling berkomunikasi dalam bahasa Bugis. Jadi saya harus lebih bisa mengerti bahasa ini supaya tidak gampang ‘dijual’ ... he he he.
Ila bulo, oleh-oleh dari Gorontalo
Satu hal yang menyenangkan untuk dikenang, mendapatkan oleh-oleh yang berbeda datang dari dua daerah berbeda. Saat-saat setelah lebaran seperti sekarang ini adalah saat ‘peredaran oleh-oleh’. Kemarin kami mendapat oleh-oleh dari kerabat ibu saya yang baru mudik ke Gorontalo: ila bulo. Terbuat dari tepung sagu yang membungkus potongan-potongan hati ayam atau bagian dari daging sapi, kadang-kadang pula bersama telur rebus, dibungkus daun pisang, dan dimasak dengan cara dikukus atau dibakar (maafkan jika saya salah mendeskripsikannya karena walau sudah biasa makan, saya belum pernah mencoba memasak ila bulo dan juga belum pernah bertanya-tanya bahan-bahan penyusunnya). Di rumah, hanya saya dan ibu yang suka makanan ini. Suami dan ayah saya tidak. Bagi orang-orang yang belum pernah mengenal ila bulo, mereka merasa aneh dengan warnanya yang abu-abu dan tidak terlihat menarik. Padahal rasanya hmmm ... mak nyus. Apalagi oleh-oleh (baca: gratis), rasanya jauh lebih sedap. J
Yang tak kalah lezatnya dari sana adalah kue pia khas Gorontalo. Mulai dari rasa original (kacang hijau), keju, coklat, hingga rasa jagung dalam berbagai merek. Oya, ada juga nike, ikan laut berukuran sangat mini dan ikan rowa asap ... keduanya kalau digoreng lalu ditumis pakai lombok ...hmmm yummy ...
Wah ... mudah-mudahan setelah membaca ini ada yang mau berbaik hati mengirimkannya. Kami baru mendapatkan ila bulo, yang lainnya belum he he he.
Makassar, 6 September 2011


Catatan:
Ada resep cara membuat ila bulo di link  http://hulondhalo.com/ilabulo-gorontalo/


Share :

2 Komentar di "Oleh-Oleh dari Gorontalo"

  1. Terimakasih VISIT GORONTALO ..
    Dengan senang hati ... sebuah penghargaan bagi saya :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^