Showing posts with label Memantaskan yang Pantas. Show all posts
Showing posts with label Memantaskan yang Pantas. Show all posts

Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran

Efek Tawuran

“Tawuran”.
Satu kata ini sudah lama tak ingin saya dengar lagi. Banyak efek negatif yang ditimbulkannya secara psikologis.

Mengapa?
Hm ... karena kata ini sudah nyaris identik dengan orang yang pernah kuliah dan berasal dari Makassar. Tambahan lagi pengaruh media yang suka gegap-gempita memberitakan tawuran dari Indonesia timur – Makassar khususnya. Maka mau tak mau, dampaknya terasa secara psikologis.

Suami saya misalnya, pernah “dikunjungi” seorang kawannya dari daerah lain di wall facebooknya ketika ada tawuran antar-mahasiswa beberapa tahun lalu. Sang kawan ini mencetuskan serangkaian kata-kata dan di ujung kata-kata itu ia melontarkan pertanyaan yang menikam, “Apa kalian tidak malu??”
Baca selengkapnya

Usiklah, Maka Kesadaranku Meluas

Apapun masalah yang timbul, kuncinya selalu berkaitan dengan luas-sempit-nya kesadaran (atau dalam-dangkal-nya kesadaran). Bila ditemukan masalah pada kesadaran tertentu, solusinya akan kita dapatkan bila kita tak berdiam diri pada tingkat kesadaran itu. “Masalah penting yang kita hadapi tidak dapat dipecahkan pada taraf berpikir yang sama dengan ketika kita masalah itu tercipta,” ujar Albert Einstein.
Sebaliknya, bila kita menemukan sesuatu pada tingkat kesadaran tertentu, tapi kemudian kesadaran menyempit, sesuatu itu pun akan berubah menjadi masalah yang mengganggu. Bila ruang dada atau pikiran terasa sempit, yakni kesadaran makna tidak cukup luas, masalah kecil pun terlihat begitu besar. Sebaliknya bila dada kita cukup luas, masalah besar pun akan ditampung dan ditangani dengan kepala dingin. Seperti ungkapan bung Hatta, “Bila dunia telah disempitkan orang lain, maka bangunlah alam semesta di dalam dada.”[i]
Membaca ini dalam buku Titik Ba, membuat saya tertawa dalam hati mengingat beberapa peristiwa lalu ....

“Gemuk ki’[ii] Saya lihat,” kata seorang  teman – sebut saja namanya Siska. Saya menanggapinya dengan senyum manis.
Baca selengkapnya

Perempuan-Perempuan Keren (?)

Saya pernah beberapa kali berada di antara kumpulan ibu-ibu. Seperti biasa, ibu-ibu selalu riuh. Sampai-sampai saat ada seseorang yang berada di depan mereka – entah itu sedang mendemokan sebuah produk atau sedang ceramah, mereka tetap saja riuh. Mungkin saja di mana-mana memang banyak yang seperti itu ya?

Suatu ketika – waktu masih kuliah, saya menghadiri sebuah acara. Saya kebagian tempat dekat ibu-ibu yang suami mereka sehari-harinya bergelut dengan sebuah profesi intelek. Saya sudah menduga bakal mendapat bocoran pembicaraan-pembicaraan yang intelek mengingat profesi suami mereka. Tetapi dugaan saya pupus, yang saya dapatkan hanyalah cerita seputar telenovela. Mereka nonton, tapi mereka saling cerita.

Sebuah komunitas yang banyak anggotanya dari golongan terpelajar “terpaksa” membohongi ibu-ibu anggotanya perihal sebuah agenda: rapat. Karena kata “rapat” konon menjadi momok ibu-ibu menghadirinya maka dibohongilah mereka dengan mengatakan hendak melakukan sebuah kegiatan yang lebih menarik bagi ibu-ibu ini ketimbang rapat: latihan kesenian. Dengan demikian mereka lebih ringan untuk datang ketimbang dikatakan rapat.

Penentuan kuota perempuan sebanyak 30% di legislatif sebenarnya baik untuk melecut potensi perempuan. Untuk memenuhi kuota itu pada pemilu lalu, banyak pihak yang kesannya “main sambar”, tanpa peduli kualitas calon legislatifnya. Sebenarnya ada yang lebih pokok lagi yang perlu dilecut di sini, yaitu: minat dan kemampuan.
Baca selengkapnya

Ujian Apakah Ini? Bagaimana Menjawabnya?


Saya sering mendengar orang-orang yang sakitnya berat tak diberitahu oleh keluarga dekatnya perihal penyakitnya. Alasannya: kasihan atau tak sampai hati, atau tak tega.

Mendengar ini membuat saya miris. Betapa tidak, seseorang yang sedang menjalani ujian sulit tapi tak diberitahu jenis/tingkat kesulitannya, bagaimana caranya ia mampu menjawab “soal” ujian itu? Kasihan, ia pasti kebingungan dengan keadaannya. Ia pasti menjawab soal ujiannya dengan seadanya.

Coba bayangkan: suatu hari Anda harus mengikuti sebuah ujian. Sudah tentu Anda tak tahu soalnya, itu hal biasa. Tetapi Anda tak tahu jenis/tingkat ujiannya sama sekali. Tak ada orang yang memberitahu. Semua orang menutup mulut saat Anda bertanya, “Ujian apa ini?” Mereka hanya berkata, “Tidak apa-apa. Kau pasti bisa!”

Dalam keadaan demikian, apa yang akan Anda pelajari agar dapat mengerjakan ujian dengan baik? Bagaimana Anda mempersiapkan diri? Anda tentu bingung setengah mati. Setiap detik Anda sibuk menebak-nebak: apakah ini ujian mengemudi? Kalau iya, apakah itu mengemudi motor, mobil, bentor, atau becak? Atau barangkali ini ujian pelajaran saat kuliah dulu? Kalau iya, mata kuliah apa? Apakah yang diujikan memang yang dipelajari dulu, atau jangan-jangan ujian jurusan atau bahkan fakuktas lain?
Baca selengkapnya

Kepada Para Pengirim "Komentar Tak Jelas"

(di antaranya http://abecellmataram.com, http://makananasamurat.com, http://penyakitlemahsyahwat.com/, http://obatgasa.org/, http://cialisindonesia.com/ dan lain-lain)

Terimakasih atas kunjungannya di blog saya. Tapi jangan lagi anda memasukkan komentar spam sebanyak itu. Sangat mengganggu saya. Cara seperti  sungguh tak membuat orang jadi tertarik membeli produk anda, tetapi malah jadi malas. 
Maaf kalau komentar saya keras. Karena saya merasa terganggu. Komentar-komentar anda bernada seragam dan tidak ada hubungannya dengan isi tulisan saya.
 Cara berkomentar yang banyak seperti itu, tidak etis. Tolong jangan dilakukan lagi. Bisa-bisa blog anda diblokir oleh para blogger kalau seperti itu caranya. Lebih baik anda berkomentar satu saja setiap kunjungan, itu lebih elegan. Terimakasih.

Baca selengkapnya