5 Hal Tidak Enak Selama Jadi Blogger

Tadinya mau menggunakan judul “Dukanya Jadi Blogger” supaya klik bait tapi koq rasanya lebay, akhirnya ganti judul 5 Hal Tidak Enak Selama Jadi Blogger. Sekadar untuk menggoreskan sejarah di blog ini bahwa sejak memulai ngeblog tahun 2006, saya tidak melulu mendapatkan kesenangan melalui aktivitas ini, melainkan ada juga kerikil-kerikil kecil mengadang.[1]

Saya sering mengatakan bahwa manfaat yang saya dapatkan melalui aktivitas blogging banyak. Saya pernah merincinya, lebih dari 20 manfaat yang saya peroleh selama ngeblog. Namun demikian tak berarti sama sekali tak ada hal tak mengenakkan yang saya dapatkan. Ada beberapa hal mengenakkan yang dialami tetapi takkan pernah menyurutkan semangat saya untuk terus menulis, yaitu:

Hal Tidak Enak Selama jadi Blogger
 

1. Disangsikan.

 

“Memangnya ko dapat berapa dari menulis?” ibu saya pernah malayangkan pertanyaan menggugat ini beberapa kali sekitar 10 tahun lalu. Waktu itu saya belum bisa menunjukkan apa-apa, saya menulis karena senang menulis dan merasakan bisa refreshing melalui kegiatan menulis dan ngeblog. Ibu sepertinya kecewa dengan aktivitas saya yang tidak seperti sarjana teknik yang beliau ketahui.

Akhirnya ibu saya tidak lagi mengatakan hal demikian setelah saya bisa menunjukkan kemenangan pada beberapa lomba, dimuatnya tulisan saya di surat kabar, tulisan saya dibukukan, dan saya diundang untuk menjadi narasumber di stasiun televisi lokal bahkan pernah ditayangkan secara nasional, dan diundang di stasiun-stasiun radio lokal. Ibunda bahkan sesekali membanggakan saya di depan keluarganya sebagai orang yang memenangkan lomba dan tulisannya dimuat di sebuah harian besar di kota kami.

 

2. Dianggap remeh

 

Sewaktu saya memutuskan untuk serius belajar menulis dan berkarya pada awal tahun 2011, saya sudah menentukan menjadikan blog sebagai basis tempat saya berkarya. Dahulu ada orang-orang yang menganggap remeh blogger, tidak dianggap sebagai penulis.

Anggapan yang tidak sepenuhnya salah walaupun tidak sepenuhnya benar juga, sih karena sesungguhnya dalam menulis itu kita harus mengikuti pakem penulisan yang baik dan benar dalam bahasa Indonesia, bukan asal tabrak sementara sebagian blogger tidak mementingkan kaidah, yang penting bisa mencurahkan isi hatinya saja.

Menulis Itu Proses

 

3. Dianggap mengemis gratisan

 

Suatu ketika saya ditugaskan untuk meliput UMKM. Seseorang menyarankan saya meliput sebuah usaha makanan. Tentunya saya harus mengontak pemiliknya, dong. Saya hubungi via WhatsApp, tanggapannya singkat-singkat padahal saya ingin menulis tentang usahanya dengan sebaik-baiknya.

Karena perlu mengeksplorasi bisnis tersebut terkait sebuah brand yang jasanya bisa dipergunakan UMKM tersebut, saya pun mencoba mengeksplorasinya. Sungguh jawabannya tidak enak. Terkesan ketus. Ya Tuhan, padahal saya hanya mendapatkan satu box gratisan saja darinya yang sebenarnya tidak sebanding dengan upaya saya menuliskannya. Saya pun tidak minta tambahan produk.

Singkat cerita jadilah tulisan saya sepanjang lebih 1000 kata. Setelah membaca tulisan saya, barulah pemilik usaha merasakan ketulusan saya menulis tentang bisnisnya dan meminta maaf. Meminta maaf dan memberi maaf memang menjadi keharusan untuk menjaga hubungan baik ya tetapi rasa tidak enaknya belum terlupakan.

 

4. Direspon dengan cara tidak wajar oleh pemilik bisnis.

 

Sebagaimana teman-teman blogger, saya sesekali ingin mempromosikan UMKM lokal tanpa dibayar. Asalkan diberi produk saja sudah bersyukur karena bisa menjadi bahan untuk bereksplorasi dalam tulisan. Sayangnya, tidak semua UMKM menanggapinya dengan wajar, asal-asalan dalam memberikan produknya.

Bukannya matre tapi bagaimana bisa dituliskan dengan sebaik-baiknya kalau yang diberikan hanya “paket super irit” dari produknya? Sekali lagi, upaya dalam menulis itu tidak sederhana, ada proses di baliknya.

Apalagi jika blog yang dimiliki sudah berusia tahunan dan sudah memiliki segmen pembaca sendiri dan sudah banyak postingannya yang terindeks Google. Mohon maaf, hingga saat ini masih banyak brand yang mau membayar jasa seorang blogger seperti saya.

Sekali lagi, bukannya materialistis tetapi jangan pula tak seimbang. Bloger melakukan upaya optimal tetapi pemilik bisnis hanya sekadarnya ya bagaimana bisa dituliskan dengan optimal? Jangan kaget kalau tulisan yang dibuat juga terkesan asal-asalan. Sebaiknya sebuah kerja sama itu sama-sama memberikan manfaat, simbiosis mutualisme!

 

5. Dicueki

 

Saya beberapa kali mengalami, menghubungi calon narasumber untuk meminta kesediaannya via WhatsApp namun apa daya, tanggapannya menyedihkan atau tidak menanggapi sama sekali padahal saya tidak meminta bayaran sama sekali hanya meminta kesediaannya untuk menjadi narasumber. Tidak pula diberi jawaban menolak padahal apa susahnya ya bilang “tidak bersedia”.

Menyenangkan sekali ketika calon narasumber menyatakan kesediaannya dan tanpa prasangka, seperti ketika saya menulis tentang Ledakan Kolaborasi Ala Fadel Group. Pemilik bisnis memberikan semua informasi yang saya butuhkan sehingga saya bisa mengolah tulisan dengan maksimal hingga alhamdulillah mengantarkan saya ke Jakarta secara gratis sebagai salah satu pemenang yang berhak menghadiri  #IndiHomeBloggerInauguration.

Secara tak terduga pula, tulisan tersebut meraup lebih dari 1000 pembaca sehingga bisnis tersebut semakin dikenal luas. Masya Allah senangnya jika bisa sama-sama memberikan manfaat seperti ini.

Nah, seperti inilah hal-hal tak mengenakkan yang saya alami. Hanya sedikit, dibandingkan hal-hal menyenangkan yang saya jalani. Lama-kelamaan, hal-hal tak mengenakkan menjadi kerikil kecil yang harus saya lalui karena menempa saya untuk terus maju. Ada yang pernah mengalami hal yang sama?

Makassar, 16 April 2023



[1] https://kbbi.web.id/adang --> ADANG adalah kata yang baku, bukannya HADANG. Makanya saya menggunakan kata MENGADANG, bukan MENGHADANG. Bisa dicek di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

 



Share :

9 Komentar di "5 Hal Tidak Enak Selama Jadi Blogger"

  1. Baru tahu ternyata Kakak usia ngeblognya lebih lama dari saya. Salam sungkem... :-)

    ReplyDelete
  2. semua hal itu saya merasakan
    hal yang paling sedih, saat pembagian sembako yang ramai ramainya itu lo
    saya dianggap mengemis, karena tak dapat menerima bansos
    sebenarnya saya hanya ingin menggali informasi saja buat jadi bahan cerita atau berita.
    Saya tak menerima bansos tak jadi masalah dan tak mengharapkan bansos, karena saya masih mampu bekerja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah ya Mas ... banyak yang gak ngerti sih. Kalau mengerti, biasanya welcome.

      Delete
  3. Gitu ya penilaian orang terhadap penulis artikel, belum lagi dianggap negatif karena pengangguran di rumah aja tapi bisa memenuhi kebutuhan. Tidak ada yang tahu aja kesulitannya nulis dan cari uang dari keahlian menulis. Sedih sih kalau sering dianggap remah bahkan dicueki. Terima kasih sharing-nya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak ... kita kan ada proses kreatif yang tak bisa dibayangkan orang yang bukan penulis/blogger ya.

      Delete
  4. Mulai 2006 berarti masih ramai-ramainya orang baca blog lewat dekstop ya mbak :)

    ReplyDelete
  5. Saya belum berani mba kalo review produk umkm dari orang yg tidak saya kenal, takut ada penolakan kayak gitu. Jadinya masih review produknya temen aja hehe. Karena pernah dulu mau review alat pembayaran dari merek minuman boba yang ngetop, saya malah diusir sama karyawannya, dikira mau produk gratis, sampe sekarang masih sakit hati huhu :")

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^