Insight Tentang Moral dan Kebermanfaatan dari Legal Expo 2021 – Ahli hukum yang berdedikasi, berintegritas, berpegang pada nilai moral dan hati nurani adalah salah satu hal berharga yang dipunyai sekaligus didambakan negeri ini. Bukan rahasia lagi kisah orang-orang yang mengharapkan keadilan karena tak mendapatkannya dari meja hijau.
Kepada para perindu keadilan,
bagaimana kalau saya ceritakan mengenai sanksi pidana yang bisa dikreasikan
dalam bentuk lain selain denda atau penjara? Yakni kisah hakim yang menangani
kasus seorang anak di bawah umur yang mencuri sepeda tetangganya.
Putusan Hakim yang Antimainstream
Dalam persidangan, si anak
bercerita mengenai alasannya mencuri sepeda tetangganya. Anak ini sudah yatim
dan ibunya seorang buruh cuci. Setiap hari di sekolah, dia ditagih uang ujian
oleh gurunya. Karena terus-terusan ditagih sementara keadaan ibunya belum
memungkinkan untuk membayar uang ujian, dia pun mencuri sepeda tetangganya. Dia
pergunakan uang hasil penjualan sepeda untuk membayar ujian.
Akhirnya hakim memutuskan si anak dihukum
membersihkan halaman rumah orang yang dicuri sepedanya dan harus mencium tangan
bapak tetangga selama 6 bulan berturut-turut. Ibunya berjanji untuk mengembalikan
sepeda anak tetangganya. See, masih ada lho hakim demikian. Alih-alih
memenjarakan si anak, dia memutuskan hukuman yang berbeda yang lebih berefek
jera dan manusiawi bagi si anak.
Oya, kisah tersebut saya
dengarkan dari materi webinar bertajuk "Re-thinking About Legal
Service. Is The Lawyer Will Be End?" yang dibawakan oleh Dr. Eva Achjani Zulfa,
S.H., M.H. – Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI – Dosen
Tetap FHUI
pada Legal
Expo 2021[1] hari pertama, 11 November
2021 pukul 17.00 melalui platform Zoom
Cloud Meetings[2].
Dalam event yang diselenggarakan oleh IDLC[3] bekerja sama dengan alumni FHUI angkatan 1991 ini, Bu Eva menyampaikan bahwa hakim semacam ini 1000 – 1 (1 di antara 1000) yang mana setelah mendengar pendapat jaksa, pendamping, dan pihak lain, berani memutuskan hal yang anti mainstream itu. Hukum pidana sudah bergerak kata Bu Eva. Tidak lagi bahwa pengelolaan hukum pidana melulu hanya soal menang-kalah di pengadilan atau bahwa orang masuk penjara atau tidak.
Wacana Restorative Justice
Masih dari pemaparan Bu
Eva – hukum pidana (saat ini) sudah sampai kepada konsep pemikiran ketika
penyelesaian suatu perkara pidana yang dipertimbangkan adalah, negara dapat
apa? Masyarakat dapat apa? Korban dapat apa? Pelaku dapat apa? Bisa jadi dengan
penjara, pelaku tidak dapat apa-apa, hanya pindah tidur saja. Yang terjadi
kemudian adalah: beban negara semakin besar.
Banyak terjadi, korban
diabaikan dalam peradilan pidana. Diabaikan pendapat dan kehendaknya terhadap
kasus yang menimpanya. “Kita tidak menginginkan ini terjadi lagi,” kata Ibu Eva
yang juga menyinggung mengenai restorative justive, di mana peran korban juga
diperhatikan untuk turut serta menentukan proses perkaranya. Manusiawi
banget, ya.
Menuju Negara Berperadaban?
Berbicara tentang restorative
justice, sepertinya nyambung dengan materi dari webinar Hukum Etika dan Keadilan,
Contoh Kasus dalam Kehidupan Sehari-hari dengan narsum Bu Fenny Medika Tohir, S.H
yang saya
tonton via YouTube IDLC ID.
Dalam materi yang live-nya
berlangsung dalam waktu yang sama dengan materi Bu Eva ini, Bu Fenny membahas
tentang 5 istilah: ethics (etika), morality (moral), law (hukum),
civilization (peradaban), dan justice (keadilan).
Mari mulai dari “moral”. Dalam
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), disebutkan moral adalah (ajaran tentang) baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya;
akhlak; budi pekerti; susila.
Ibu Fenny membahas moral sebagai ukuran terhadap sesuatu yang ada di dalam masing-masing individu dalam menentukan salah atau benar. Moral harus ada basic-nya. Basic moral itu di negara bagian mana pun sama, misalnya pembunuhan di negara mana pun pasti salah.
“Yang namanya hukum … pemerintah mau mengatur hidup damai, tenteram, rakyatnya nyaman. ‘Law’ dibuat negara untuk menjamin warga negaranya hidup aman dengan prinsip etika yang dimiliki,” ujar Bu Fenny memaparkan kaitan pokok bahasannya dengan hukum.
Tengok KBBI lagi, ya. Di
dalam KBBI pengertian etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Menurut Bu Fenny, etika dan
moral masih sangat luas pemahamannya namun law mengaturnya tidak seluas
itu. Law tidak dapat mencakup semua moral dan etika yang ada. Makanya terkait
law banyak aturan yang bisa berubah setiap saat karena harus
mengakomodir etika, value, dan menjamin keadilan.
Peradaban mengacu kepada sesuatu
yang lebih tinggi ketimbang aturan. Civilization (peradaban) mengacu
kepada tingkat kepercayaan antar masyarakat yang baik. Etika adalah implementasi
yang mengatur bagaimana kita harus berbuat dengan didasarkan pada values yang
bisa berbeda pada tiap orang, tergantung pada karakter dan latar belakang.
Dalam konteks etika itu terkait keadilan.
Nah, 4 pertanyaan mendasar
mengenai peradaban ini patut menjadi bahan renungan:
- Apakah (yang dimaksud) peradaban itu ketika hukum dibuat untuk kepentingan sekelompok orang?
- Apakah (yang dimaksud) peradaban itu ada lembaga-lembaga peradilan tapi rakyat merasa tidak adil?
- Apakah (yang dimaksud peradaban) itu ketika keputusan pengadilan dibuat tetapi orang merasa tidak adil?
- Apakah (yang dimaksud) peradaban itu kalau antara keputusan final dan hukum itu tidak masuk akal?
Mengapa seserius ini membahas
mengenai peradaban? Saya kira agar kita berpikir apakah memang kita sudah
menjalankan sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bu Fenny kemudian
mengatakan bahwa peradaban itu trust-nya tinggi. Ada negara yang peradabannya
cukup tinggi sehingga terbangun kepercayaan antara pemerintah dan warganya – trust
capital. Contohnya di Jepang, mereka saling percaya sesama orang Jepang.
Moderator webinar ini
– Mbak Glenna mengutarakan pasca tsunami di Jepang, tak ada penjarahan. Tidak
seperti Indonesia, di mana ada bencana malah terjadi penjarahan padahal yang
dijarah dan menjarah sama-sama susah, sama-sama bangsa sendiri. Bu Fenny juga mencontohkan
Korea seperti di Jepang dalam hal peradaban ini.
Ketika semua baik-baik
saja maka moral baik-baik saja. Tantangannya adalah ketika situasi sedang
"tidak baik-baik saja", apakah semua orang mampu menjadi orang yang
beradab?
Belajar dari Kehidupan, Lebih dari Sekadar Ilmu Hukum
Mengingat dua materi dari
Bu Eva dan Bu Fenny, ingatan saya melayang pada acara Meet and Greet pada pagi hari dengan Rizal Ariansyah, S.H., M.H. sebagai nara sumber. Direktur Keuangan,
Manajemen Risiko dan Umum PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) ini menceritakan kisah
perjalanan hidupnya sejak mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia
hingga menjadi direktur BUMN saat ini.
Pak Rizal banyak
menekankan betapa pentingnya belajar dari kehidupan. Belajar jangan hanya di
bangku kuliah namun perlu juga belajar dari sumber lain, seperti dari organisasi.
Menurut Pak Rizal, kemampuan yang dimilikinya dari pengalaman berorganisasi
semasa kuliah membantu dirinya di masa depan, dalam menjalani karier.
Berempati penting sebelum mendapatkan pengakuan. Kreativitas dan inovasi menjadi hal penting dalam menjalani profesi. Masa krisis menjadi tempaan karena challenge-nya banyak, ketangguhan diuji dalam menghadapi tekanan dari luar dan internal.
Beliau berpesan kepada
anak muda untuk tidak cepat mengeluh dan menghadapi tekanan. “Melatih mental dan
ketangguhan penting. Orang pintar banyak namun kemampuan mental dan ketangguhan
dalam menghadapi tekanan tak banyak yg miliki. Belajarlah dari kehidupan,”
tukasnya. Pak Rizal juga menyampaikan bahwa lulusan Fakultas Hukum bisa
berkarier di bidang lain, di luar hukum.
"Bekerja itu untuk
berkontribusi, bukan untuk mencari gaji sebab gaji akan datang sendiri,"
ungkap Pak Rizal Ariansyah yang kemudian memperluas pengetahuannya, tak lagi
terbatas pada bidang hukum. Dari ilmu hukum, Pak Rizal merambah ilmu manajemen
risiko, keuangan, juga pernah dalam bidang SDM.
Semua inspirasi yang
dibagikan diistilahkan Pak Rizal sebagai kepingan puzzle kehidupan yang
telah disusunnya sejauh ini. Tiga keping puzzle yang merupakan kekuatan
terbesarnya dibagikannya terakhir, yaitu:
- Lakukan semaksimal mungkin apa yang bisa dilakukan untuk orang tua karena ridho orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi kehidupannya.
- Selalu libatkan Tuhan dalam semua aktivitas, dalam keseharian. "Bekerja untuk ibadah" adalah the highest level bagi Pak Rizal. Jangan jatuh cinta pada "kursi" sebab bisa tersandera. Ketika dilantik menjadi direksi, sudah harus menyadari amanah itu bisa diambil kapan saja.
- Latih diri menjadi orang yang bermanfaat di mana pun berada. Jadilah orang yang berkontribusi.
🔨🔨🔨
Jadwal webinar hari ke-2. Masih ada jadwal Meet & Greet dan jadwal hari ke-3 di legalexpo.idlc.id/ |
Masya Allah, benang merah yang inspiratif dari 3 materi dari 3 nara sumber yang dulu kuliah di FHUI angkatan 1991 pada hari pertama Legal Expo 2021 ini memberi insight berbeda tentang dunia ilmu hukum bagi saya sebagai orang awam. Insight yang positif tentang moral dan kebemanfaatan!
Misi para personil
angkatan 1991 FHUI dalam menyelenggarakan event yang akan masuk rekor
MURI ini sungguh mulia, yaitu berkontribusi sebesar-besarnya bagi masyarakat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semoga semua yang hadir bisa memperoleh
manfaat sebaik-baiknya dari event ini dan kelak menjadi washilah untuk
memberikan kontribusi yang terbaik bagi bangsa ini.
Makassar,
12 November 2021
Legal Expo berlangsung pada 11 - 13 November 2021, silakan simak rangkaian acaranya dan daftar di: https://legalexpo.idlc.id/
Baca juga:
- Menyelesaikan Kewajiban Orang Tua yang Telah Berpulang
- Tantangan dan Peluang Legal Technology dan Financial Technology dalam Era Industri 4.0
- Bedah Kasus Pernikahan Dini dan KDRT Salah Kaprah
- Sudut Pandang Hukum yang Bisa Digunakan dalam Menulis Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak
[1] Event ini merupakan salah satu
kegiatan dari Reuni Mutiara (30 tahun) Alumni FHUI Angkatan 1991 (IKA FHUI
1991). Ada 91 nara sumber dari angkatan 1991 FHUI pada 11 November-13 November
2021 dengan konsep acara webinar, podcast, dan meet & greet.
Keseruannya bisa ditonton ulang di channel YouTube IDLC @IDLC ID.
Sampai tulisan ini saya tayangkan sudah ada sejumlah tayangan ulang webinar dan
meet & greet.
[2] Saya menontonnya via YouTube karena di saat yang sama saya menyaksikan topik lain. Pengen nonton semua tapi sayangnya saya tidak punya kemampuan membelah diri. 😆
[3] IDLC: Irma Devita Learning Center adalah
lembaga nonprofit yang didirikan oleh Mbak Irma Devita, seorang notaris di
Jakarta yang juga lulusan FHUI. IDLC memiliki tujuan untuk memberikan berita
dan informasi hukum terkini, dan mengedukasi masyarakat tentang hukum serta bagaimana
penerapannya dengan cara yang mudah dipahami.
Share :
Aku terharu membaca Hakim yang menghukum anak mencuri sepeda dengan membersihkan halaman rumah orang yang dicuri sepedanya itu. Sungguh hukuman yang manusiawi sekaligus mendidik sang anak. Semoga negara kita punya trust tinggi juga ya. Dan hakim-hakim bertindak sesuai dengan peradaban yang berlaku tak hanya mengacu pada undang-undang yang tertulis dalam kitab hukum pidana
ReplyDeleteHukuman seperti itu semoga membuat si anak jadi lebih berhati-hati ya. Anak-anak kasihan dipenjara dan bisa-bisa malah makin kriminal.
DeleteHukuman sosial gini bahkan punya efek yang cukup bagus, ya kak. Soalnya pernah ngikutin kehidupan penyanyi LN yang dikenakan hukuman sosial nyapuin jalanan. Dan setelahnya dia ngga melakukan kejahatannya lagi. Setauku waktu itu berkaitan sama minuman keras.
ReplyDeleteKayaknya dengan efek jera seperti ini bisa cukup mendidik terutama buat anak-anak ya.
Banget, Ipeh. Setuju.
DeleteJadi makin paham dan ngerti tentang hukum. Walaupun penjabarannya panjang tapi mudah dipahami. Di Indonesia hukuman sosial beda banget ama diluar negeri masalah efeknya sih menurutku
ReplyDeleteDi Indonesia malah kurang ya hukuman sosial.
DeleteOrang-orang yang terjerat kasus asusila misalnya kok ya bisa2nya keluar dari penjara atau sewaktu diproses kasusnya malah seperti jadi bintang kalau dia laki2. Nah kalau dia perempuan ... sanksi sosialnya kena ke dia.
Sudah lama dengar istilah restorative justice. Saya hanya mengerti di permukaan saja. Buat saya yg awam hukum, menarik bahasan ttg hukum dengan peradaban. Melihat sekilas, negara2 yg tampak religius (agama apapun itu), tapi justru penegakan hukumnya masih compang-camping.
ReplyDeleteSama, Mbak, saya pun ngerti permukaannya .. kulit-kulitnya banget.
DeleteBaca 3 poin pentingnya, langsung jleeeb. Karena memang sejatinya hidup kita harus mengutamakan orangtua, bekerja demi mengharapkan ridho Tuhan, dan untuk kebaikan orang banyak. Itu aja....
ReplyDeleteBagus banget isi webinarnya ya mba. Aku jujurnya salah satu orang yg ga terlalu percaya kalo hukum bisa bener2 menghukum orang kaya -_- . Krn kenyataan dari dulu Ampe skr kok sepertinya orang2 kaya yg berkuasa ini bisa bebas dari hukum. Tapi tetep ga membuat aku lantas seenaknya berperilaku. Tetep lah harus berusaha melakukan yg baik2, patuh Ama aturan walopun orang lain mungkin ga. Toh balik lagi ke poin 2, semua yg kita lakuin hanya mengharapkan ridho Allah.
Idem dengan Mba Evi Arenga.
ReplyDeleteTerharu sama vonis Pak Hakim.
Memang begitulah seharusnya ya, hukum itu mengedukasi sekaligus memberi efek jera.
Jadi ingat acara Bang Napi.
Moral yang pernah aku dapatkan dari acara itu adalah kadangkala kriminalitas itu tercipta karena ada kesempatan.
... dan terkadang kita bisa secara tidak langsung menjadi bagian dari kesempatan itu, misalnya memakai perhiasan menyolok di lokasi yang bukan semestinya, misalnya ke pasar.
Pelajaran berharga buat si anak. Bijak sekali pak hakim, dan semoga yang melaporkan kasus ini juga paham dan bisa belajar bahwa keadilan itu bukan perkara menang-kalah, penjara-bebas...
ReplyDeleteTerharu baca kasus hakim dan anak yang mencuri sepeda betapa besar kasih sayang terhadap sesama manusia ya sekarang banyak hakim malah membebaskan koruptor piluuu
ReplyDeleteMenarik pembahasannya dan saya tertegun dengan kalimat, "Ketika semua baik-baik saja maka moral baik-baik saja." Apakah ketika situasi dalam keadaan tidak baik-baik saja, moral bisa tetap bertahan dalam keadaan baik-baik. Sebab pada umumnya, orang yang moralnya tidak baik biasanya karena adanya tekanan keadaan yg mendesak. Seperti contohnya anak yang mencuri sepeda itu.
ReplyDeleteMungkin moral anaknya baik, tetapi karena keadaannya tidak baik maka mral baiknyapun tergadaikan.
Saya setuju dengan pak Rizal, tentang pelajaran kehidupan. Makanya saya membebaskan anak-anak ikut organisasi, ikut kegiatan apa saja selama kegiatan itu baik demi agar mereka belajar menghadapi masalah dan tekanan hidup.
Rasanya membicarakan masalah hukum yang bukan ranah aku jadi terasa tidak tepat yaa, kak Niar.
ReplyDeleteTapi dari pandangan kemanusiaan dan kacamata seorang Ibu, aku bisa merasakan beban sang anak yan keadaannya kepepet.
Memang mungkin caranya salah, tapi ia sedang berusaha mencari jalan keluar untuk masalahnya. Dan untuk hukuman yan diberikan setimpal atau tidak, semoga bisa ada pihak-pihak yang membimbing anak dan keluarga dengan kesulitan dari sisi ekonomi seperti itu, sehingga menjadi jalan keluar menurunnya angka kriminal di Indonesia.