MIWF 2013: Ketika Hati Nurani Berbenturan dengan Kepentingan - Makassar
International Writers Festival (MIWF) 2013 berlangsung sejak tanggal 25 Juni di Fort Rotterdam tetapi saya baru bisa menghadirinya pada hari Kamis tanggal 27 Juni. Ada 40
acara yang bisa diikuti siapa pun, gratis, selama MIWF.
Tanggal 27
itu, saya tertarik mengikuti Quality Journalism Versus Infotainment.
Nara sumbernya adalah Maman Suherman[1],
host acara Matahati di AnTV yang
telah menerbitkan 3 buah buku solo (Matahati, Bokis: Kisah Gelap Dunia Seleb, dan
Bokis 2: Potret Para Pesohor Mulai dari yang Getir Sampai yang Kotor)[2].
Sayangnya saya datang terlambat, tak tahu apa saja yang sudah saya lewatkan.
Saya harap,
keterlambatan saya tak mengurangi pesan yang seharusnya saya tangkap dari apa
yang hendak disampaikan lelaki kelahiran Makassar 47 tahun silam ini.
Pengalaman
yang dituturkannya saat bertemu seorang asing menggelitik saya. Orang asing itu
mengatakan, betapa hebatnya orang Indonesia dalam mengambil liputan
investigasi. Kata orang asing itu, “Pakai hidden
camera, koq bisa gambarnya
fokus?”
Iya ya, kenapa bisa?
Bisa saja.
Inilah bukti bahwa kita sering dibius dengan tayangan-tayangan yang seolah
investigasi tetapi prosesnya ala infotainmen. Ada rekayasa di dalamnya! Jangankan
infotainmen dan reality show, berita
pun ada yang direkayasa.
Gedung di Fort Rotterdam, tempat acara ini diselenggarakan |
Padahal
jurnalisme yang benar disajikan untuk
kepentingan publik sementara infotainmet selalu mengutak-atik ruang pribadi
seseorang. Menurut mentor Stand Up Comedy di Kompas TV dan kreator
semi-dokumenter “Sebuah Nama Sebuah Cerita” ini, tugas jurnalistik itu ada dua, yaitu enlightment (pencerahan)
dan enrichment
(pengayaan).
Untuk
kepentingan beritanya, masih banyak orang yang mengaku jurnalis menghalalkan
segala cara. Tak mengindahkan mana informasi yang harus mereka tahan untuk
disampaikan di kemudian hari, pada waktu yang tepat. Juga tak mengindahkan mana
informasi yang off the record, yang
sama sekali tak boleh ditulis.
Ada wartawan
yang tak sanggup membedakan kapan mereka menjadi teman dan kapan sedang melaksanakan
tugas kewartawanannya. Bersama-sama seorang artis, minum-minum sampai mabuk
lalu besoknya menurunkan berita tentang seorang artis yang suka mabuk. Ia tak
menuliskan bahwa dirinya juga ikut mabuk bersama artis tersebut. Ia pun tak
memberitahu maksudnya kepada artis itu untuk meliputnya. Padahal untuk menulis
berita tentang seseorang, etikanya ia harus mengatakan dengan jelas maksudnya
kepada nara sumber. Sungguh tak etis.
Masih ada
wartawan yang tak mengindahkan berita yang “not for attribution”, yaitu berita
yang tidak boleh menyebutkan nara sumbernya. Meski ancamannya dipenjara,
jurnalis sama sekali tak boleh menyebutkan nara sumber dalam hal ini.
Maman yang
merupakan salah seorang penggagas Panasonic Gobel Awards ini pernah bertanya
kepada Abraham Samad – ketua KPK tentang isu perempuan-perempuan di sekitar
Ahmad Fathanah. Abraham Samad menyatakan, “KPK
tidak pernah mengangkat isu perempuan-perempuan di sekitar Ahmad Fathanah!”
Jadi, pekerjaan siapa itu?
Pekerjaan
siapa lagi kalau bukan media yang ingin meningkatkan rating atau oplahnya?
Quality Journalism Versus Infotainment |
Bagaimana
perasaan Anda, mengorek-ngorek istri pertama Ahmad Fathanah padahal ia sudah
punya keluarga baru, punya kehidupan sendiri? Anda tidak membayangkan bagaimana
perasaannya dan keluarganya ketika ia disebut-sebut dalam kasus ini?
Begitu disampaikan
Maman. Saya menangkap ketulusan dalam kata-katanya. Apa para wartawan yang
terus memburu berita tentang para perempuan di sekitar Ahmad Fathanah dan para
penikmat infotainmen peduli dengan hal ini?
Jurnalis
sering kali bekerja bak pewarta infotainmen, mengejar isu yang bisa dijadikan berita
untuk menaikkan oplah. Sementara ada fakta dan data aktual yang tidak
disuarakan. Seperti data yang ada di komnas Perempuan bahwa setiap harinya ada
20 kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, 12 di antaranya adalah perkosaan.
Korbannya adalah bayi berusia 8 bulan hingga nenek berusia 70 tahun.
DEMI RATING,
banyak hal tak elok yang dilakukan stasiun-stasiun TV. Lihat saja betapa banyak
tayangan sinetron yang menampilkan adegan orang mati “bangkit kembali” lalu
dibuatlah tokohnya amnesia. Konon saat tokohnya mati, rating stasiun TV itu naik.
Ada artis yang
pernah ditanya oleh Maman mengenai kebiasaannya mencela dan mengejek saat
tampil. Jawab artis itu, “Stasiun tivi yang meminta Saya begitu, katanya kalau
Saya melakukannya, rating-nya naik.” Oh my God, rating telah berhasil menyetir tayangan televisi kita. Ia mengatur
apa yang harus ditonton publik dari Sabang sampai Merauke!
Untuk sensasi
yang sedang hot, berita ataupun
infotainmen yang ditayangkan cepat sekali munculnya. Nilai akurasi penyampaian
seperti ini masih tanda tanya. Bahkan ada liputan infotainmen yang gambarnya itu-itu
saja tetapi ditayangkan di beberapa program televisi di waktu-waktu yang
berbeda. Padahal wartawan yang
mengutamakan hati nurani pastinya akan mementingkan akurasi dibanding kecepatan.
Lelaki plontos
yang telah menghasilkan lebih dari 50 judul program
TV dengan lebih dari 1.000 episode ini memaparkan fakta-fakta seputar dunia hiburan yang ia ulas di
bukunya (Bokis 1 dan Bokis 2):
Kisah
perempuan-perempuan yang menjual diri mereka demi bisa menjadi artis terkenal
sudah menjadi selentingan-selentingan biasa. Rupanya bukan sekadar selentingan,
hal ini merupakan fakta yang diungkap Maman yang sedang menyiapkan sebuah novel
ini, di buku Bokis 1 dan Bokis 2. Fakta yang membuat hadirin terkesiap:
Ibu “menjual
anak” memang ada di Jakarta, agar anaknya cepat mengorbit di dunia artis. Maman
pernah kedatangan tamu, dua orang perempuan – ibu dan anak perempuannya. Si
anak – berusia 15 tahun, sengaja membiarkan 3 buah kancing baju atasnya terbuka.
Si ibu sengaja meninggalkan Maman dengan anak perempuannya dengan pesan,
“Terserah mau diapakan.” Maman berhasil menepis godaan syahwat yang tersaji
manis di depan matanya. Ia memanfaatkan momen itu untuk mewawancarai perempuan
muda bahenol itu.
“Saya orang ke
berapa?” tanya Maman.
“Bapak orang
keenam,” jawab perempuan muda itu.
“Terus,
bagaimana dengan yang lima itu?” tanya Maman lagi.
“Kelima-limanya
sudah meniduri Saya,” jawab perempuan muda itu, tanpa rasa berdosa.
“Jangankan
itu, yang ibunya menawarkan diri, bisa ditiduri selain anaknya juga ada,” ujar
Maman membuat semua yang hadir makin terkesiap.
Gosip artis
terkenal pacaran dengan seorang gadis sudah biasa. Yang baru saya dengar
adalah, ternyata ada artis terkenal yang menggunakan gosip itu sebagai
komoditi. Cukup menyanggupi hendak membayar berapa kali press release tentang “hubungan pacaran yang direkayasa” dengannya,
ia akan membantu impian seorang gadis untuk populer terwujud. Satu kali press release harganya mencapai puluhan
juta rupiah. Dan ketika gadis itu namanya naik daun maka mereka akan mengatakan
kepada pers bahwa hubungan mereka telah putus.
“Artis-artis
KW” ternyata ada. Mereka adalah perempuan-perempuan yang wajahnya telah
dioperasi plastik menjadi mirip dengan wajah artis-artis terkenal. Tetapi
profesi mereka berbeda. Mereka mau dibayar mahal untuk memuaskan nafsu bejat
laki-laki berduit yang mudah ditipu.
Lembaga Sensor
Film (LSF) yang berkedudukan di Jakarta tentunya tak bisa menyensor tayangan 300
– 400 stasiun televisi lokal yang tersebar saat ini. Selain itu, LSF mestinya
kewalahan dengan ribuan episode sinetron yang beredar di stasiun-stasiun televisi.
Sinetron-sinetron kejar tayang dikerjakan secara estafet. Untuk episode yang
hendak tayang esok hari misalnya, tak jarang skenarionya baru ditulis hari ini.
Mana mungkin sinetron begini sudah disensor? Biasanya nomor pendaftaran di LSF,
itu yang dicantumkan di sinetron dan diakui sebagai sebagai syarat “lolos
sensor”.
Maman
merupakan salah satu orang yang tak setuju dengan lembaga ini. Menurutnya
seharusnya LSF bertindak sebagai “lembaga pemeringkat” tayangan, semisal: ditujukan
untuk siapa sebuah tayangan, apakah untuk anak-anak atau orang dewasa.
Salah satu sudut di Fort Rotterdam |
Hati nurani adalah dua kata yang harus dipentingkan untuk tetap menjadi manusia di
tengah industri hiburan. Saya salut pada Maman. Meski ia mengaku “bukan
laki-laki suci” yang tentunya “punya nafsu” namun ia tak memperturutkan hawa
nafsunya. Hati nurani, adalah kompasnya dalam menjalani hidup. Terutama ketika
menampik penugasan oleh atasan yang dianggapnya melanggar kode etik maupun
ketika dihampiri godaan syahwat.
Tak perlu
menjadi seseorang yang suci untuk mempertahankan kemanusiaan seseorang. Cukup
menjadi apa adanya, dengan mengutamakan hati
nurani. Walau ancaman dari orang-orang yang tak suka dengannya beberapa
kali diterimanya, Maman tak peduli.
Hal yang sama
disampaikan Maman kepada salah seorang jurnalis yang menanyakan kepadanya, bila
mana penugasan yang dianggapnya melanggar batas etika berbenturan dengan
kepentingan ekonomi. Maman menjawab singkat, “Bagaimana hati nurani Anda
menjawabnya.”
Makassar, 3
Juli 2013
MIWF 2013: Melihat Peluang di "Oppurtunity & Networkong"
[1]
Maman Suherman adalah alumni
Jurusan Kriminologi FISIP-UI. Meniti karier sebagai jurnalis hingga menjadi
redaktur pelaksana/pemimpin redaksi di Kelompok Kompas-Gramedia (1988- 2003), ia menjadi kreator/penulis skrip/produser
hingga managing director di Rumah
Produksi Avicom (2003-2011). Ia bertindak sebagai editor buku
Asal-Usul Wimar Witoelar: Menuju Partai Orang Biasa pada 1990-an. (sumber: http://www.penerbitkpg.com).
[2] Sinopsis salah satu bukunya bisa dibaca di: http://www.goodreads.com/book/show/16050654-bokis
Share :
salam kenal, ditunggu kunjungan baliknya
ReplyDeleteSalam kenal mbak Iis :)
Deletebund, ngeri ya negara kita, tak mampu mengatur tayangan televisi dan seenaknya saja menayangkan hiburan yang tak layak bagi anak di jam anak-anak sering nonton...bahkan sinetron yang kebanyakan tak mendidik dan memanfaatkan ayat-ayat al quran demi sebuah rating. tema percintaan yang vulgar diantara murid sekolah pun booming, sama sekali tak etis. saya bosan lihat televisi kita, bahkan tayangan berita pun juga kadang terkesan menyebalkan dan memihak...makanya saya lebih suka nonton TV masak-masakan dan kuliner, traveling, Insan TV, HBO atau Australia Channel yang sering menayangkan parenting, edukasi, sciens dan kebudayaan.
ReplyDeleteingat seorang wartawan Jogjakarta bernama Udin dari Harian Bernas yang menulis kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer, yang meninggal karena dibunuh, hingga sekarang belum ketahuan siapa pembunuhnya...ya ALLOH, anehnya negeri ini...
Harus pintar2 memilah tontonan ya bunda. Mengerikan memang ....
Deleteinfotainment memang punya kepentingan termasuk iklan. Kalau jurnalisme murni biasanya malah ada di koran.
ReplyDeleteDi koran pun serinh kali beritanya tendensius, mas Hadi. Alias tidak proporsional. Kita mesti pintar2 memilah :)
Deletesiapa yg bisa pegang media | dia bisa pegang opini dunia yang diinginkannya.
ReplyDeleteAku setuju sama ini. Pada dasarnya fungsi media itu pembentuk opini publik. Tapi media di Indonesia banyak yang suka bikin berita jadi seheboh mungkin demi rating dan nggak peduli gimana orang beropini tentang itu.
DeleteHmmm .. bukannya kalau berita harusnya disajikan seobyektif mungkin, tidak menggiring opini publik?
Deleteharus nya sih gitu kakak, tapi......? hmm juga deh
DeleteKuliah ikom, dosen2 juga banyak yang share "kenakalan" dunia jurnalistik demi mempertahahankan rating, dlsb. Xixi.
ReplyDeleteBanyak yang nakal ya? hehehe
DeleteTerimakasih atas sharingnya yang mencerahkan. Saya terkesima membacanya, betapa banyaknya kebohongan2 yg terpampang nyata didepan kita dan tak menyadarinya
ReplyDeleteBenar kak. Begitu banyak yang dianggap wajar, sebenarnya tak wajar. Terimakasih sudah membaca :)
DeleteSenengnya ya di indonesia banyak kegiatan menulis :)
ReplyDeleteIya mbak Hana :)
DeleteWah... ini postingan yang ku tunggu,,,
ReplyDeleteAlhamdulillah bisa datang juga di MIWF 2013
SEMANGAT BU...
ijin di kopi? bisa?
Sudah balas di blognya ya ...
DeleteBeuh...
ReplyDeletekeren keren kereeennn...
salut sama kak niar. lanjutkan :D
Beuh ... apanya yang dilanjutkan Dhila? :))
Deletesesungguhnya dunia hiburan...adalah dunia yang penuh kepalsuan dan terkadang dihiasi dengan kebejatan... salam :-)
ReplyDeleteYah .. begitulah .... :)
Deleteitulah dunia selebritis yaa mbak, aneh. artis aja ada yang KW, kayak barang aja jadinya. hehe
ReplyDeleteYah .... jaman sekarang, manusia pun dianggap barang ya Dhe ... hikz
Deletesalah satu petikan yang sangat saya setujui kak, jurnalisme tidak sama dgn infotaimen. setuju banget! tapi sayangnya memang banyak orang awam yang menyamakan kedua hal tersebut. waaaaah, nyesek kak kalau denganorg bilang gitu :(
ReplyDeletePadahal pemrosesannya berbeda kan ya ... sama nyesek juga :(
DeleteCerita tentang kehidupan itu bikin miris ya, Mugniar...smoga kita selalu dijaga agar tetap dijalan-Nya.
ReplyDeleteAmiiin.
Oya, saya mau mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa untuk Mugniar dan keluarga, mohon maaf lahir dan batin. Smoga ibadah puasa kita diterima oleh Allah Swt.
Iya mbak Irma, miriiis. Aamiin. Selamat puasa juga mbak Irma, maaf lahir batin :)
DeleteMemang, sekarang ini para pemburu berita lebih mengedepankan sensasinya daripada menyuguhkan berita yang bermutu.
ReplyDeleteBerita seringkali melebar kemana-mana.
Ternyata untuk menjadi artis, pengorbanan mereka begitu besar ya? Sayangnya seringkali pengorbanan besar tak sebanding dengan hasilnya karena dia tak berhasil menjadi artis besar dengan bayaran selangit. Miris sekali.
"Pengorbanan" yang sangat disayangkan ya :|
DeleteMbak... utk bisa kirim buku utk perpustakaan itu bisa dialamatkan kemana ya?
ReplyDeleteMaaf gak sesuai postingan komennya :)
Saya tanya2 teman dulu ya mbak ...
DeleteTerimakasih banyak atas ulasannya. Sebagai Narasumber saya sangat tersanjung. Mengungkapkan dg tepat pengalaman, pemikiran dan sudut pandang sy dg sempurna. Maman Suherman - @maman1965
ReplyDeleteSenang sekali dikunjungi bang Maman. Terimakasih banyak. Apa yang anda sampaikan sangat menggugah saya dan semua yang hadir saat itu. Tetaplah berjuang dengan hati nurani Anda ya bang Maman :)
DeleteSbg admin buku #bokis dan #bokis2 @maman1965 , kami mengucapkan terimakasih atas tulisan ini. Km sdh kontak dg Mas Maman Suherman, dan dia pun sangat mengapresiasinya. Sekali lagi, terimakasih, teruslah berbagi inspirasi untuk Indonesia dan dunia - salam @b_ok_is
ReplyDeleteTerimakash banyak atas responnya. Sebuah penghargaan bagi saya dan blog sederhana ini dikunjungi admin #bokis dan #bokis2 dan meninggalkan komentarnya di sini.
Deletehuft miris..
ReplyDeletemakasih sharingnya mba.. keren artikelnya.. sukaaa :D
Terimakash telah menyimak, mbak :)
Deleteasik bisa ikut acara internasional gitu. emang kalo udah passion pasti bisa.
ReplyDeletedi sini harus sy katakan, abraham samad berbohong bila bicara seperti itu. beberapa kali sy tonton di tivi, malalui johan budi, jubir KPK, kpk terlihat ingin membunuh karakter sasarannya. kpk seperti telah bermain mata dg penguasa negeri ini. lihat saja rapat terakhir KPK dg DPR RI, akhirnya menunda keputusan tersangka century. ini sudah lama sejak rezim SBY berjalan.
padahal sebelum dan saat terpilih abraham samad, sy berharap dia lebih berani dari antasari, tapi ternyata dia takut disingkirkan dari kursinya
Waduh ... saya no comment deh pak guru ... taoi saya masih percaya dengan itikad baik KPK
DeleteNaudzubilahimindzalik.. jadi penasaran pengen baca bukunya.
ReplyDeleteBeli mbak :)
Delete