Drama Pembelajaran Daring: Alasan Harus ke Sekolah untuk Setor Tugas

Setelah kejadian Drama Pembelajaran Daring: ke Sekolah untuk Setor Tugas, keesokan harinya harus ada di antara kami yang mengulangi lagi prosesi setor tugas ke sekolah. Yang jelas bukan Athifah karena dua ulangan hariannya yang berlangsung belum selesai menjelang pukul 11. Jawaban mengapa harus ke sekolah untuk setor tugas kami peroleh di sini.

Guru IPA meminta para siswa menemuinya pada pukul 11 di sekolah. Saya merasa berat meninggalkan Athifah dan Afyad karena keduanya masih dalam tahap pembelajaran daring. Waktu yang diminta ibu guru – hari Selasa lalu, bukan merupakan waktunya belajar IPA dn Athifah belum selesai mengerjakan ulangan yang jadwalnya hari itu.

Satu-satunya yang bisa dimintai tolong adalah ayahnya. Untungnya si Papa tipikal “ayah siaga” yang no problem jika diminta keluar, termasuk ke sekolah anak-anak untuk berbagai urusan.

Drama pembelajaran daring

Dan kebetulan saat itu sedang ada waktu untuk melakukannya. Berarti suasana aman terkendali. Mamak fokus pada dua anak terkecil sembari patroli atas kemungkinan-kemungkinan distraksi mereka.

Distraksi berupa informasi berita terkini untuk Mama masih sering terjadi. Ada saja hal-hal yang mampu mengalihkan Athifah dari buku-buku pelajarannya lantas melaporkan kejadian terkini kepada saya.

“Tanggal berapa PSBB diterapkan lagi di Jakarta, Ma?” tanyanya sembari berpaling dari layar laptop. Kepalanya menengok ke arah saya yang lagi duduk di belakangnya.

Saya menatapnya. “Tidak penting untuk dibahas sekarang. Kerjakan dulu ulanganmu. Masih ada waktu nanti untuk bahas itu. Lagi pula kita kan tidak tinggal di Jakarta!”

“Ada omku di Jakarta,” ya ampun, ada saja kilahnya.

“Kerjakan tugasmu!” mata saya memelototinya.

Kalau tidak terdistraksi begitu, dia cekikikan dengan Afyad. Entah habis bahas apa anak kelas 8 dan kelas 4 ini. Pokoknya urusan belajar dari rumah sulit berlangsung mulus. Mamak harus siaga patroli. Patroli tak selalu mudah, Gaes. Sering kali harus mondar-mandir mengurus jemuran, cucian piring, dan masakan.

Usai dari sekolah Athifah, bapaknya anak-anak tak langsung pulang. Masih ke suatu tempat rupanya. Saya yang memendam rasa penasaran pun menelepon.


Drama pembelajaran daring

Sebelum beliau pergi saya berpesan untuk bertanya kepada gurunya, mengapa harus menyetorkan buku IPA lagi ke sekolah sementara yang diminta sudah disetor via aplikasi daring. Tugas-tugas Athifah lengkap.

Rasa penasaran membuat jemari saya mencari-cari nomor pak suami di handphone saya. “Bagaimana tadi? Kenapa gurunya masih menyuruh anak-anak menyerahkan buku di sekolah padahal sudah disetor semua yang diminta?”

Papanya anak-anak menjelaskan bahwa gurunya inginnya memberi nilai pada buku para siswa. Biar ada bukti yang dipegang juga. Sepertinya supaya sinkron antara buku dan setoran online. Hm ... sesaat kumengernyitkan kening.

Sesampainya di rumah, suami bercerita bahwa ibu guru IPA maunya anak-anak menuliskan “diketahui” dan “ditanyakan” sebelum menjawab soal. Standardlah ya, begitu kebiasaan selama bertahun-tahun. Sejak saya SMP tahun 1986 sudah seperti itu.

Bisa dimengerti. Gurunya menyalahkan kalau ada yang langsung menjawab tanpa menuliskan kedua kata itu dan mendefinisikan yang dimaksud.


drama pembelajaran daring

“Disuruh tulis catatan itu. Tadi ada temannya yang tidak menulis di buku catatan dan mengatakan, ‘Kan tidak disuruh, Bu,’ lalu dimarahi sama gurunya. Gurunya bilangi, ‘Jadi, kalau Ibu tidak suruh tulis, tidak ditulis? Tetap ditulis!,” tutur ayahnya anak-anak lagi.

Kembali kumerngenyitkan kening.

Jadi, sistem pembelajaran kini memang masih sama saja dengan sistem pembelajaran jaman old – tahun 1980-an, ya. Murid-murid tetap harus mencatat padahal bahan yang mau dibaca dan dipelajari sudah ada. Tak perlu ditulis lagi sebenarnya.

Jadi yaaah, dijalani saja. Sudah seperti itu sistemnya, ya Nak. Kita ikuti saja. Walaupun semacam ironi, namanya belajar daring tapi tetap harus setor buku ke sekolah pada jadwal mata pelajaran lain sedang berlangsung.

Makassar, 12 September 2020

Baca juga:



Share :

10 Komentar di "Drama Pembelajaran Daring: Alasan Harus ke Sekolah untuk Setor Tugas"

  1. kita pun sama mba di Jakarta. Makanya aku dan suami harus bergantian cek tugas anak - anak, termasuk bantu mereka siapkan video, foto dan juga tugas lainnya

    ReplyDelete
  2. saya gak bisa ngebayanginnya karena anak-anak pada sekolah di pesantren dan sudah kembali ke pondoknya. Namun pernah di 1 bulan pertama di rumah, luar biasa aktivitas onlinenya ^_^

    ReplyDelete
  3. Samaaa.... Saya SMP pas (kurang lebih) 2003) juga pakai sistem menulis diketahui ditanyakan itu Kak.... Semangaaaat PJJnya ya :)

    ReplyDelete
  4. Haha iya nih sama dramanya. Aku juga tiap minggu, malahan per dua hari atau tiga hari, harus ke sekolah anak. Setor hasil tugas. Entahlah, padahal dengan video, voice note, video call, dan foto juga harusnya ini bisa jadi solusi ya. Aku juga menikmati sajalah.

    ReplyDelete
  5. waa semangat terus yaaa buat semua orang tua yang lagi mendampingi anak anaknya beajar dari rumah, hihhihi, keponakanku juga lagi belajar dari rumah, mamahnya yang kadang jadi nggak bisa ngapa ngapain hihihi

    ReplyDelete
  6. Selalu ketawa-ketawa sendiri baca tulisanmu soal suka-duka n drama pembelajaran daring, Mbak. Adaaaa aja tingkahnya si bocil buat mendistraksi emaknya. Kalau udah banyak mendingan dibukukan aja, itung-itung buat memori mengenang masa belajar saat corona.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^