Mengapa Perlu Analisis Kebijakan Berbasis Bukti

Muhammad Iqbal Suhaeb – Kepala Balitbangda (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah) provinsi Sulawesi Selatan membuka Seminar Pertemuan Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing) Tentang Pentingnya Kebijakan Publik Berbasis Bukti yang Berpihak pada Masyarat Miskin. Menurutnya sejak dulu diketahui mengenai evidence based tapi pada kenyataannya hanya dikenal di kampus-kampus padahal seharusnya evidence based menyangkut kebijakan juga. Barulah akhir-akhir ini disosialisasikan oleh beberapa lembaga, di antaranya oleh LAN (Lembaga Administrasi Negara).

Pada seminar yang berlangsung di Hotel Melia pada tanggal 5 Juli lalu itu, Pak Iqbal mengatakan bahwa banyak penghargaan dalam bidang inovasi kebijakan bahkan dipertandingkan hingga tingkat nasional dan internasional yang sebenarnya hanya launching. Sangat disayangkan karena seharusnya dilihat dulu implementasi kebijakan tersebut minimal selama 3 tahun.


Contoh lebih spesifik disebutkannya mengenai kabupaten Takalar yang dahulu pernah menjadi tempat belajar Sistem Perizinan Satu Atap dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia. Ketika bupati saat itu diganti, tidak ada lagi inovasi-inovasi baru dan tidak pernah lagi disebut-sebut kabupaten tersebut.

“Inovasi memang kadang-kadang identik dengan kepala daerah namun alangkah baiknya jika inovasi itu dimasukkan sebagai ‘proses’ sehingga siapa pun kepala daerahnya, inovasi itu bisa tetap jalan. Karena ketika berbicara tentang KEBIJAKAN PUBLIK, ujung-ujungnya tentu untuk masyarakat. Bicara kebijakan, customer kita masyarakat – bukan media,” tukas Pak Iqbal. Di zaman sekarang kadang-kadang pengambil kebijakan lebih fokus ke media. Lebih suka jika tampilan di media bagus meskipun masyarakat tidak bagus padahal sebaiknya melihat juga sejauh mana kontinuitas keberlangsungan dari program tersebut.

Namun kadang-kadang pula ada daerah yang inovasinya berlangsung sangat cepat namun bermasalah dengan hukum. Ini perlu menjadi perhatian  agar cepatnya inovasi kebijakan juga sejalan dengan peraturan yang berlaku. Pak Iqbal juga menyayangkan ketidakhadiran wakil dari lembaga legislatif dalam kesempatan ini.

Latar belakang[1] penyelenggaraan seminar ini adalah karena secara umum, praktik pengembangan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) belum konsisten di Indonesia. Sering kali, keputusan yang diambil berdasarkan apa yang sedang populer dalam jangka pendek bukan apa yang sedang berjalan dalam jangka menengah dan panjang. Atau kebijakan publik dibuat hanya berdasarkan intuisi, opini, dan kepentingan sektoral. Di sisi lain, banyak penelitian yang dilakukan baik oleh para akademisi, lembaga non-pemerintah dan badan penelitian dan pengembangan Pemerintah (Balitbang) tidak relevan dengan kebutuhan bukti oleh pengambil kebijakan. Akibatnya banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tidak menyebabkan dampak optimal seperti yang diharapkan.

Kebijakan publik yang dibuat juga sering tidak memberi telaah yang baik mengenai perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan dan/atau kelompok masyarakat yang marjinal seperti anak-anak atau orang dewasa yang berkebutuhan khusus, penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Dampak kebijakan publik yang tidak sensitif kesetaraan gender dan inklusi sosial (Gender Equality and Social Inclusion/GESI), walaupun di tengah pertumbuhan ekonomi yang positif, antara lain adalah adanya kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat bahkan antar wilayah.

Pembicara pertama di seminar ini adalah Iskhak Fatonie dari Knowledge Sector Inisiative (KSI). KSI adalah program kerja sama pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya penguatan kebijakan publik yang berbasis bukti di Indonesia. Dimulai dari Fase 1 (2013-2017) dan saat ini baru memulai Fase 2 (2018-2022), bersama seluruh mitra kerja khususnya BAPPENAS, Kemenristek Dikti, KemenPANRB, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Lembaga Riset Kebijakan (Public Research Institutes – PRIs), perguruan-perguruan tinggi di Indonesia dan di Australia, KSI bekerja untuk memperkuat kualitas bukti penelitian dari penyedia; meningkatkan kebutuhan dan permintaan bukti penelitian untuk pembuatan kebijakan; memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi pihak penyedia dan pengguna bukti penelitian; dan mendukung upaya perubahan sistem dan regulasi untuk perbaikan ekosistem pengembangan kebijakan berbasis bukti.

Sumber foto: fan page Facebook BaKTI

Pak Iskhak membawakan presentasi berjudul Mengapa, Apa, dan Bagaimana Kebijakan Berbasis Bukti dan Relevansinya di Sulawesi Selatan. Di dalam presentasinya, Pak Iskhak menguatkan alasan mengapa perlu kebijakan berbasis bukti (penelitian), yaitu karena banyak terjadi:
  • Dari sisi pengambil kebijakan: intuisi, kepentingan jangka pendek, tidak sensitif terhadap gender dan kelompok berkebutuhan khusus, dan tidak optimal.
  • Dari sisi kualitas dan relevansi penelitian untuk kebijakan: kurang relevan – tidak menjawab kebutuhan, terlalu akademis, dan waktunya tidak pas.

Hambatan lainnya adalah lemahnya sektor pengetahuan:
  • Lemahnya kapasitas untuk menggunakan bukti dan pengetahuan.
  • Rendahnya anggaran dan kualitas penyerapan.
  • Kesediaan dan akses untuk data yang terbatas.
  • Ketidakjelasan peraturan tentang kajian dan penelitian.
  • Lemahnya interaksi antara penyedia dan pengguna pengetahuan.
  • Rendahnya kualitas kajian dan analisis.

Dalam pikiran sederhana saya, kepada anak saja, seorang ibu dan seorang ayah seharusnya memberikan aturan atau kebijakan berbasis bukti. Misalnya saja, disesuaikan dengan tindakan sebelumnya yang dilakukan, disesuaikan dengan umur, dengan jenis kelamin, dan dengan konteks yang berlaku. Tentunya tidak boleh dong saya sebagai ibu menerapkan kebijakan yang saya contek dari rumah tangga orang lain untuk diterapkan di keluarga saya – kepada anak saya dan kepada seluruh anggota keluarga? Atau saya menerapkan kebijakan orang tua saya atau orang tua suami kepada kami dulu untuk diterapkan kepada anak kami di masa sekarang secara mentah-mentah? Apatah lagi itu untuk diterapkan di level kota, provinsi, dan negara, kan? Benar, kan?

Makassar, 18 Juli 2018

Bersambung

Catatan:
Materi presentasi dari Pak Iskhak yang berjudul Mengapa, Apa, dan Bagaimana Kebijakan Berbasis Bukti dan Relevansinya di Sulawesi Selatan bisa diunduh di link: https://bit.ly/2Nu4BZ4



[1] Dari TOR yang diberikan oleh BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia)



Share :

2 Komentar di "Mengapa Perlu Analisis Kebijakan Berbasis Bukti"

  1. Benar sekali kak, sepertinya ini yang kurang dari kita semua di daerah. Sistem kayak ini harusnya lebih dikembangkan lagi soalnya masyarakat juga sudah cerdas, mereka perlu bukti dalam setiap pelaksanaan kebijakan baru. Coba saja di sini ada yang seperti itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Supaya juga hasilnya bisa lebih bermanfaat ya Bimo.

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^