Pada
seminar yang berlangsung di Hotel Melia pada tanggal 5 Juli lalu itu,
Pak Iqbal mengatakan bahwa banyak penghargaan dalam bidang inovasi kebijakan
bahkan dipertandingkan hingga tingkat nasional dan internasional yang
sebenarnya hanya launching. Sangat disayangkan karena seharusnya dilihat
dulu implementasi kebijakan tersebut minimal selama 3 tahun.
Contoh
lebih spesifik disebutkannya mengenai kabupaten Takalar yang dahulu pernah
menjadi tempat belajar Sistem Perizinan Satu Atap dari berbagai daerah dari
seluruh Indonesia. Ketika bupati saat itu diganti, tidak ada lagi inovasi-inovasi
baru dan tidak pernah lagi disebut-sebut kabupaten tersebut.
“Inovasi
memang kadang-kadang identik dengan kepala daerah namun alangkah baiknya jika
inovasi itu dimasukkan sebagai ‘proses’ sehingga siapa pun kepala daerahnya,
inovasi itu bisa tetap jalan. Karena ketika berbicara tentang KEBIJAKAN PUBLIK,
ujung-ujungnya tentu untuk masyarakat. Bicara kebijakan, customer kita masyarakat
– bukan media,” tukas Pak Iqbal. Di zaman sekarang kadang-kadang pengambil
kebijakan lebih fokus ke media. Lebih suka jika tampilan di media bagus meskipun
masyarakat tidak bagus padahal sebaiknya melihat juga sejauh mana kontinuitas keberlangsungan
dari program tersebut.
Namun
kadang-kadang pula ada daerah yang inovasinya berlangsung sangat cepat namun
bermasalah dengan hukum. Ini perlu menjadi perhatian agar cepatnya inovasi kebijakan juga sejalan
dengan peraturan yang berlaku. Pak Iqbal juga menyayangkan ketidakhadiran wakil
dari lembaga legislatif dalam kesempatan ini.
Latar
belakang[1]
penyelenggaraan seminar ini adalah karena secara umum, praktik pengembangan
kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) belum konsisten
di Indonesia. Sering kali, keputusan yang diambil berdasarkan apa yang sedang
populer dalam jangka pendek bukan apa yang sedang berjalan dalam jangka
menengah dan panjang. Atau kebijakan publik dibuat hanya berdasarkan intuisi,
opini, dan kepentingan sektoral. Di sisi lain, banyak penelitian yang dilakukan
baik oleh para akademisi, lembaga non-pemerintah dan badan penelitian dan
pengembangan Pemerintah (Balitbang) tidak relevan dengan kebutuhan bukti oleh
pengambil kebijakan. Akibatnya banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran dan
tidak menyebabkan dampak optimal seperti yang diharapkan.
Kebijakan
publik yang dibuat juga sering tidak memberi telaah yang baik mengenai
perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan dan/atau kelompok masyarakat yang
marjinal seperti anak-anak atau orang dewasa yang berkebutuhan khusus,
penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah
terpencil. Dampak kebijakan publik yang tidak sensitif kesetaraan gender dan
inklusi sosial (Gender Equality and Social Inclusion/GESI), walaupun di tengah
pertumbuhan ekonomi yang positif, antara lain adalah adanya kesenjangan sosial
antar kelompok masyarakat bahkan antar wilayah.
Pembicara
pertama di seminar ini adalah Iskhak Fatonie dari Knowledge Sector Inisiative
(KSI). KSI adalah program
kerja sama pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia yang bertujuan untuk
mendukung upaya-upaya penguatan kebijakan publik yang berbasis bukti di
Indonesia. Dimulai dari Fase 1 (2013-2017) dan saat ini baru memulai Fase 2
(2018-2022), bersama seluruh mitra kerja khususnya BAPPENAS, Kemenristek Dikti,
KemenPANRB, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Lembaga Riset Kebijakan (Public
Research Institutes – PRIs), perguruan-perguruan tinggi di Indonesia dan di
Australia, KSI bekerja untuk memperkuat kualitas bukti penelitian dari
penyedia; meningkatkan kebutuhan dan permintaan bukti penelitian untuk
pembuatan kebijakan; memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi pihak penyedia dan
pengguna bukti penelitian; dan mendukung upaya perubahan sistem dan regulasi
untuk perbaikan ekosistem pengembangan kebijakan berbasis bukti.
Sumber foto: fan page Facebook BaKTI |
Pak
Iskhak membawakan presentasi berjudul Mengapa, Apa, dan Bagaimana Kebijakan Berbasis Bukti dan
Relevansinya di Sulawesi Selatan. Di dalam presentasinya, Pak Iskhak menguatkan alasan mengapa
perlu kebijakan berbasis bukti (penelitian), yaitu karena banyak terjadi:
- Dari sisi pengambil kebijakan: intuisi, kepentingan jangka pendek, tidak sensitif terhadap gender dan kelompok berkebutuhan khusus, dan tidak optimal.
- Dari sisi kualitas dan relevansi penelitian untuk kebijakan: kurang relevan – tidak menjawab kebutuhan, terlalu akademis, dan waktunya tidak pas.
Hambatan
lainnya adalah lemahnya sektor pengetahuan:
- Lemahnya kapasitas untuk menggunakan bukti dan pengetahuan.
- Rendahnya anggaran dan kualitas penyerapan.
- Kesediaan dan akses untuk data yang terbatas.
- Ketidakjelasan peraturan tentang kajian dan penelitian.
- Lemahnya interaksi antara penyedia dan pengguna pengetahuan.
- Rendahnya kualitas kajian dan analisis.
Dalam
pikiran sederhana saya, kepada anak saja, seorang ibu dan seorang ayah
seharusnya memberikan aturan atau kebijakan berbasis bukti. Misalnya saja,
disesuaikan dengan tindakan sebelumnya yang dilakukan, disesuaikan dengan umur,
dengan jenis kelamin, dan dengan konteks yang berlaku. Tentunya tidak boleh
dong saya sebagai ibu menerapkan kebijakan yang saya contek dari rumah tangga
orang lain untuk diterapkan di keluarga saya – kepada anak saya dan kepada
seluruh anggota keluarga? Atau saya menerapkan kebijakan orang tua saya atau
orang tua suami kepada kami dulu untuk diterapkan kepada anak kami di masa
sekarang secara mentah-mentah? Apatah lagi itu untuk diterapkan di level kota,
provinsi, dan negara, kan? Benar, kan?
Makassar, 18 Juli 2018
Bersambung
Catatan:
Materi
presentasi dari Pak Iskhak yang berjudul Mengapa, Apa, dan Bagaimana
Kebijakan Berbasis Bukti dan Relevansinya di Sulawesi Selatan bisa diunduh
di link: https://bit.ly/2Nu4BZ4
[1]
Dari TOR yang diberikan oleh BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia)
Share :
Supaya juga hasilnya bisa lebih bermanfaat ya Bimo.
ReplyDelete