Speak Up: Pendidikan dan Indoktrinasi Kepentingan

Festival Hardiknas Sulawesi Selatan 2018 sudah berlalu. Acara puncaknya pun sudah dilaksanakan hari Sabtu tanggal 12 Mei lalu. Saya hanya sempat menghadiri beberapa sesi pada rangkaian Pesta Pendidikan (Pekan) yang dilaksanakan pada tanggal 21 – 27 April di BP – PAUD & Dikmas Sulawesi Selatan.


Salah satu acara yang saya hadiri adalah Ngobrol Publik bertema PENDIDIKAN DAN INDOKTRINASI KEPENTINGAN pada tanggal 25 April siang. Oya, sebelum bercerita tentang Ngobrol Publik yang saya hadiri, saya cerita dulu mengenai gerakan yang menyelenggarakan kegiatan Festival Hardiknas ini, ya. Nama gerakannya adalah Semua Murid Semua Guru yang biasa ditulis dalam bentuk tagar - #SemuaMuridSemuaGuru.

Apa itu Semua Murid Semua Guru? Penjelasannya ada di salah satu laman website http://www.semuamuridsemuaguru.id, yaitu:
Semua Murid Semua Guru adalah jaringan publik berdaya yang belajar, bergerak, dan bermakna bersama karena pendidikan adalah tanggung jawab kita. Semua Murid Semua Guru adalah salah satu upaya pelibatan publik yang demokratis–bukanlah sekadar kampanye, kegiatan, atau pengumpulan massa. Kita adalah publik, bagian terpenting yang perlu berpartisipasi sampai tingkat berdaya, bukan hanya berkomunikasi atau bermitra dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Pesta Pendidikan (Pekan) adalah kegiatan tahunan perayaan Hari Pendidikan Nasional yang diinisiasi oleh jaringan Semua Murid Semua Guru. 
Oke, mengenai Ngobrol Publik yang saya maksud, nara sumber yang hadir membuat saya bersemangat. Ada 4 orang, yaitu: Dr. H. Mukhtar Tahir, M. Pd – Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Dr. Ed. Faridah Ohan – akademisi dari Universitas Negeri Makassar yang juga merupakan sahabat saya, Muhammad Iqbal Arsyad – Direktur LAPAR (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat) Sul Sel, dan Shinta Mashinta Molina (legislator DPRD Makassar). Oya, bukan hanya para panelis, moderatornya pun tak kalah kerennya. Saya biasa melihatnya di layar kaca – namanya Ni Luh Puspa (new anchor Kompas TV). Temanya pun tak kalah membuat saya bersemangat, saya datang ke acara ini, selain ingin mendapatkan wawasan lebih juga ingin membawa sebuah permasalahan yang sudah begitu lama tak terselesaikan di dalam dunia pendidikan di kota ini.


Saat tiba di dalam aula BP – PAUD & Dikmas Sul Sel, saya sudah telat sekian menit. Sudah giliran Shinta yang berbicara. Saya masih sempat menyimak penjelasannya mengenai Perda (Peraturan Daerah) Penyelenggaraan Pendidikan yang sementara digodok oleh para wakil rakyat. Kurang lebih isinya mencakup bagaimana kurikulum meng-cover para siswa agar tak ketinggalan, bagaimana memperbaiki regulasi untuk memperbaiki “siswa titipan”, dan pendidikan inklusi di Makassar. Diharapkan juga acara ini bisa memberikan masukan mengenai apa lagi yang perlu dimasukkan di dalam Perda yang diusahakan selesai sebelum Desember 2018 ini.

Shinta mengatakan bahwa istilah INDOKTRINASI tidak pas karena pendidikan haruslah humanis. Yes, menarik memang panitia menggunakan kata ini. Indoktrinasi berarti pemberian ajaran secara mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Shinta, memang banyak kepentingan tapi tidak bisa campur aduk. Pendidikan harus dibicarakan secara baik karena membicarakan mengenai generasi ke depannya.

Mukhtar Tahir lebih menekankan kepada PENDIDIKAN KARAKTER yang menjadi isu penting. Mengenai istilah INDOKTRINASI, ada beberapa hal yang harus dilihat dari aspek kepentingan, seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya. “Sekarang, bicara tentang apa dulu dalam konteks indoktrinasi?” Mukhtar mengajukan pertanyaan.

Dalam kaitan pembentukan karakter dan “indoktrinasi”, lebih lanjut Mukhtar mengatakan bahwa harus ada pola indoktrinasi orang tua, guru, dan anak-anak agar sesuai harapan karakter-karakter dengan tatanan etika masa emas anak-anak. Semacam “indoktrinasi positif”. Pemaknaannya tergantung pada kepentingan. Namun dikatakannya juga bahwa pendidikan dan indoktrinasi bagaikan dua mata pisau yang tak bisa disatukan karena indoktrinasi tak bisa dipertanyakan. Sementara pendidikan jika diterima harus dikritisi supaya bisa berpikir sendiri.


Sementara Iqbal mengatakan bahwa pada kenyataannya tak bisa juga memisahkan politik dan pendidikan. Di sisi lain, ada masalah ideologi yang mengancam dasar negara kita. “Yang banyak bermasalah adalah nilai, tingkah laku. Tidak ada tools yang bisa menilainya,” pungkasnya. Selin itu, menurut Iqbal, perlu juga dipikirkan pendidikan alternatif agar anak mempunyai kesadaran sosial.

Faridah mulai dari sorotan soal regulasi. Kita semua butuh regulasi. Semua penya kepentingan – sekolah, orang tua, dan siswa. Butuh regulasi yang mengaturnya. Selain itu, pendidikan kita terlalu fokus pada kognitif padahal pendidikan seharusnya dilihat lebih komprehensif. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah mengenai bullying di sekolah, misalnya. Apa yang harus anak lakukan jika mendapatkan perundungan di sekolah? Juga mengenai DISIPLIN POSITIF (positive discipline – bisa searching di internet frasa ini). Misalnya, kita perlu meninjau kembali mengenai hukuman seperti membersihkan toilet ketika terlambat datang ke sekolah – apa kaitannya? Apa yang kita ajarkan dengan hukuman seperti itu? Nah, yang seperti ini perlu sama-sama kita diskusikan.

Ketika sesi tanya-jawab segera saya mengangkat tangan. Saya menjadi orang pertama yang ditunjuk. Jujur, saya sudah setahun ini mencari solusi mengenai masalah ini. Kali ini adalah waktu yang tepat untuk SPEAK UP. Biar semua tersadar, ini bukan masalah main-main.

Saya menanyakan mengenai kurangnya guru PNS di sekolah anak saya yang ternyata merupakan masalah di banyak sekolah. Ada sekolah negeri yang hanya memiliki 2 guru PNS dari belasan gurunya dan terjadi selama bertahun-tahun. Ada berbagai permasalahan lain yang mengikut di sekitarnya yang sayangnya tak bisa saya ungkapkan di tulisan ini namun di depan para panelis, secara blak-blakan saya ungkapkan semuanya. Ini bukan kali pertama saya mencari solusinya, saya sudah beberapa kali melakukannya dengan bertanya langsung kepada "kepala daerah" di wilayah sekolah yang bersangkutan.


Saya katakan juga saat itu bahwa saya tak perlu mengorek-ngorek ruang kepala sekolah dan ruang guru untuk mengetahui masalah ini karena kalau paham kondisi sekolah, masalah seperti ini terbaca jelas. Saya mengungkapkan ini dan membawanya ke hadapan para panelis agar dapat dibedah dan dibantu mencarikan solusinya. Hanya rasa prihatinlah yang membuat saya mengutarakannya.

Harus ada penyelesaian karena anggaran sekolah sebenarnya bisa dialokasikan untuk pendidikan inklusi ataupun membeli perangkat pembelajaran yang mendukung pendidikan karakter anak. Ataukah digunakan untuk menggaji guru honorer untuk bidang studi Matematika, misalnya. Tapi tidak bisa karena kepala sekolah harus mencarikan cara menggaji para guru honor. Bagaimana fair-nya sekolah negeri dikatakan negeri jika hanya memiliki 2 guru PNS? Bukankah sama saja dengan sekolah swasta?

Tak dinyana, dalam ruangan itu hadir Hidayat - Kepala Bidang Pendidikan Dasar yang langsung menjawab pertanyaan saya. Kata beliau, pengangkatan guru (PNS) itu adalah kebijakan nasional.  Bukan wewenang Dikdis kota. Namun, baik Kabid dan Shinta mengatakan bahwa hal ini akan menjadi perhatian mereka dan akan dikawal. Ah, semoga saja.

Seorang penanya mengatakan bahwa pemerintah seperti “pemadam kebakaran” – merujuk pada kasus yang saya tanyakan. Ini dibantah oleh Faridah Ohan. Tidak pas jika mengatakan demikian. Ada pola komunikasi yang tidak pas antara pembuat kebijakan dengan “konsumen”-nya. Masalahnya, selama ini kita tidak tahu harus ke mana kalau ada masalah. Sebaliknya, akses tentang kebijakan pendidikan pun tak bisa diakses masyarakat luas.


Faridah yang juga merupakan Ketua Yayasan Indonesia Mengabdi ini menekankan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Kita perlu bersinergi untuk melakukan peran masing-masing.
“Persoalan belajar adalah persoalan paradigma. 
Butuh proses interaksi dengan anak agar anak menjadi kritis. 
Peran mahasiswa dengan sosialisasi. 
Mari sama-sama positif untuk ke arah yang lebih baik,” pungkasnya.

Saya setuju. Jangan katakan pemerintah hanya serupa pemadam kebakaran. Pemerintah – dalam hal ini pemerintah sudah bekerja, hanya saja banyak yang kita tak tahu bentuknya. Kalau tak aktif menulis, saya mungkin tak tahu pencapaian pemerintah semisal bahwa Program Dongeng Keliling Besama Perpustakaan Keliling telah mengantarkan Pemerintah Kota Makassar menerima penghargaan sebagai TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Nasional 2017 (bisa baca tentang ini di tulisan saya yang berjudul Dongeng Keliling Bersama Perpustakaan Keliling. Saya juga baru tahu kalau sekarang ini kita bisa menjadi anggota perpustakaan di mana pun di kota ini yang masih dalam jaringan Perpustakaan Kota Makassar. Jika sudah menjadi anggota, kita bisa meminjam buku di perpustakaan mana pun di dalam kota, dalam jaringan tersebut. Gratis. Tidak seperti dulu, kalau jadi anggota di Perpustakaan Kota Makassar yang di Jalan Lamadukelleng kan, hanya di situ saja boleh meminjam bukunya. Nah, sekarang tidak lagi. Kita bisa meminjam di perpustakaan lainnya. Ah, ya, Perpustakaan Kota itu bagian dari Dinas Kearsipan, ya. Sementara bagaimana Dinas Pendidikan bekerja, kita memang butuh akses untuk mengetahuinya.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh Ni Luh Puspa (moderator):
“Kita semua punya kepentingan dalam dunia pendidikan. 
Dalam keseharian, secara sadar atau tak sadar kita melakukan doktrin. 
Masalahnya, apakah kita ke luar jalur atau masih di jalur yang benar? 
Mari kita perhatikan bersama-sama.”

Buka mata, buka telinga, buka hati. Mari bersinergi ke arah yang lebih baik. Mari sebarkan hal-hal baik terkait apa pun dalam bidang pendidikan kalau memang peduli, entah itu dari pemerintah atau dari masyarakat di sekitar kita. Boleh bergabung dengan gerakan Semua Murid Semua Guru kalau ingin melakukan aksi nyata.

Makassar, 15 Mei 2018

 Semoga bisa segera menyelesaikan kelanjutan cerita dari Festival Pendidikan ...

Catatan: foto-foto dan flyer berasal dari panitia. Special thank to Dede Farsjad.

Update:
Rupanya akan ada pengangkatan PNS untuk mengatasi kekurangan guru. Menurut Menteri Pendidikan, saat ini terdapat sekitar 736 ribu guru honorer yang harus diangkat. Selengkapnya bisa dibaca di: bisa dibaca di https://www.liputan6.com/news/read/3421732/kabar-gembira-2018-pemerintah-akan-angkat-guru-honorer-jadi-pns


Share :

8 Komentar di "Speak Up: Pendidikan dan Indoktrinasi Kepentingan"

  1. Ya Allah kak Niar kritis banget ki di kak? Emang sih masalah pendidikan menurutku hal yang paling krusial karena untuk bikin negara jadi maju, menurutku yang paling penting adalah pendidikannya. Dari pendidikan kan bisaki hasilkan SDM yang berkualitas. Sayangnya pendidikan di Indonesia ndk seperti itu :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih perlu banyak pembenahan di sana-sini, Yani. Selain itu, apa yang sudah dilakukan Dinas Pendidikan yang benar-benar menyentuh rakyat memang sebaiknya disebarkan dan diberi akses kepada masyarakat untuk mengetahuinya.

      Delete
  2. Sebagai seorang guru, saya masih dilema dengan kondisi pendidikan negeri ini. Hanya saja tak bisa saya ungkapkan. Masalah pendidikan negeri cukup kompleks.

    Ngomong2 terkait pngangkatan guru PNS, orang2 di sekitar saya berharap saya mengikuti seleksinya. Tapi, saya pribadi sbg calon ibu dilema. Tidak terlalu berminat menjadi guru PNS. Permasalhan pelajar sangat kompleks dan tak sedikit awal mulanya dari cela pendidikan dalam keluarganya. Belum ada jaminan melalui tangan keras saya di sekolah dan terbtas perjumpaan bisa memberi sumbangsih yang berarti. Saya jadi berpikir daripada saya mengorbankan masa emas antara saya dan calon anak pertama saya untuk menghadapi problem pendidikan yg tak cukup dg peran saya semata, saya berpikir keputusan resign adalah yg terbaik. Sebab, saya masih bisa memperbaiki dr tingkat terkecil dr anak saya sendiri dr pola asuh dan pendidikan keluarga yg terbaik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau saya di posisi Mbak Wenny, saya mungkin mengambil langkah yang sama dan merasakan hal yang sama. Memang lebih utama kita bersama anak, ya Mbak kalau belum yakin anak akan tertangani kalau masih tetap beraktivitas di luar rumah. Semoga semuanya lancar, Mbak Wen.

      Delete
  3. pendidikan karakter memang penting selama ini digaungkan tp dalam hal penerapannya banyak yg gak ada, bahkan teladan gurupun gak ada, guru lbh prepare sama menyelesaikan bab pelajaran krn tuntutan materi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tuntutan pekerjaan sebagai guru lebih berat ya, Mbak? Jadinya kurang terpikirkan bagaimana memasukkan muatan pendidikan karakter ke dalam prose belajar-mengajar. Atau bagaimana?

      Delete
  4. Akses pelibatan masyarakat dlm memberi saran, dan keluhan untuk evaluasi sebaiknya juga diberikan dinas pendidikan,, karena beberapa kasus jika langsung menyampaikan ke kantor dinas terkait, jarang mendapatkan solusi,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah.
      Yang penting, bagaimana mereka menanggapi dengan baik. Aneh juga masalah guru honor ini. Sekarang numpuk sudah 700ribuan orang. Lah, tahun-tahun kemarin, kenapa tidak diselesaikan sedikit-sedikit, ya? Kalo numpuk begini jadinya harus menunggu selama 7 tahun lagi untuk terangkat semua. Bingung saya.

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^