Rokok Harus Mahal untuk Selamatkan Bangsa

Rokok Harus Mahal untuk Selamatkan Bangsa - “Tabe’, asap rokok ta’,” tegur saya tegas kepada seorang laki-laki yang berdiri dekat saya. Tangan saya sibuk menghalau asap dari rokok yang jaraknya kurang dari 50 cm dari hidung saya. Lelaki itu, saya duga dari wajahnya, usianya lebih muda daripada saya. Saat itu saya sedang duduk dan dia berdiri di dekat saya. Kami tengah menonton liga futsal antar angkatan 87 dan 88. Liga futsal yang saya maksud merupakan rangkaian kegiatan HBH (Halal Bihalal) Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, belangsung di Gedung Futsal milik sebuah BUMN pada tanggal 18 Juni lalu. Untungnya lelaki tadi berpindah menjauhi saya. Kalau tidak, dia mungkin akan melihat senioritanya ini mengamuk.


Zaman kuliah dulu, kalau ada teman cowok bertandang ke rumah dan bertanya, “Boleh merokok?” Maka dengan tegas akan saya jawab, “Boleh kalau Kau bisa simpan sendiri asap rokokmu!” Maka teman tersebut urung mengeluarkan rokoknya. Yeah, dulu saya terpaksa jadi perokok pasif sesekali karena lingkungan kampus yang maskulin juga menjadi tempat para perokok mengembuskan asap rokoknya. Alhamdulillah, setamat kuliah saya jauh dari asap rokok karena suami saya bukan perokok. Begitu pun ayah, adik laki-laki, dan suami dari adik saya juga tidak merokok.

Rokok: Berbahaya dan Membius


Sebenarnya sudah banyak contoh kasus mengenai penyakit akibat rokok. Salah satunya adalah yang dialami seorang anggota kesatuan elite militer yang berada di ruang ICCU yang sama dengan ibu mertua saya ketika ibu mertua dirawat akibat serangan jantung dua tahun lalu.

Lelaki berbadan atletis berusia akhir 20-an itu tiba-tiba collapse dan terkena serangan jantung. Pembuluh darahnya hampir saja menutup akibat efek buruk nikotin. Padahal dalam kesehariannya dia adalah sosok yang rajin berolahraga dan menjaga makanannya selalu sehat namun kebiasaan merokok tak dia hentikan. Alhasil, sang perwira langsung mendapat tindakan angioplasty atau pemasangan stent (cincin, kalau kata orang awam) dua buah sekaligus. Dengan demikian, karir lapangannya tidak bisa berlanjut lagi padahal usianya masih muda. Sayangnya, kasus itu tak menghentikan saudara ipar saya yang juga menjaga ibundanya di ruang ICCU dari kebiasaan merokoknya.

Rokok Harus Mahal


Begitu berbahayanya rokok bagi kesehatan – website HaloSehat.com pernah merilis ada 39 penyakit berbahaya yang timbul akibat rokok maka orang-orang yang peduli akan bahaya rokok mengampanyekan gerakan-gerakan untuk sehat. Salah satunya adalah #RokokHarusMahal yang sudah 5 kali menyelenggarakan talkshow Radio dengan 5 tema berbeda. Hari Rabu, 20 Juni lalu temanya adalah Selamatkan JKN dan Kelompok Miskin, Rokok Harus Mahal. Talkshow yang merupakan program radio Ruang Publik KBR ini disiarkan pukul 09.00 – 10.00 WIB melalui 100 radio jaringan KBR (Kantor Berita Radio) di seluruh Indonesia.


Nara sumber yang dipandu oleh Don Brady  pada talkshow kali ini adalah Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia dan Yurdhina Meilisa Planning and Policy Specialist Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI). Pembahasannya adalah mengenai kaitan rokok dengan alokasi dana BPJS dan kualitas generasi penerus bangsa yang terancam kerdil otaknya. 

Menarik untuk disimak karena pada tahun 2016, BPJS Kesehatan defisit Rp. 9 triliun dan pada 2017 diperkirakan rugi Rp. 12 triliun. Ironisnya, pemerintah seolah masih galau untuk menaikkan cukai rokok. Terbukti kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen. 

Rokok Ancaman Besar Bagi Warga Miskin


Mayoritas peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu perokok. Parah lagi, mayoritas peserta yang ekonominya kurang mampu, juga perokok. Mayoritas peserta yang yang kita sebut sebagai PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) seperti tukang ojek, pekerja tani, pekerja kasar yang tak berkantor, banyak yang doyan rokok. Klaim mereka di BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) merupakan yang paling tinggi. Jadinya menimbulkan masalah yang tidak kecil karena seperti yang disebut pak profesor, “Dana di JKN yang memang terbatas, terserap oleh mereka-mereka yang perilakunya tidak baik. Kalau tidak dilakukan kendali, maka ke depan, dana JKN akan semakin tidak memadai.”

Potret kemiskinan di Indonesia. Foto: fahiradanfathan.blogspot.co.id

Maka, CARA EFEKTIF untuk mengatasinya, lanjut pak profesor, “Yang terbukti di dunia, telah diuji, adalah menaikkan harga rokok. Kalau harga rokok itu naik, seperti hukum ekonomi, konsumsi akan turun sedikit, tapi tidak berhenti, karena mereka sudah nyandu. Jadi akan ngurangin sedikit, pelan-pelan in syaa Allah dalam waktu 20-30 tahun akan lebih terkontrol.”

Wih, saya setuju ini. Saya tinggal di lingkungan yang banyak golongan ekonomi menengah ke bawahnya. Di warung sebelah, sering saya lihat anak-anak membelikan ayah mereka rokok. Melihat anak-anak usia sekolah dasar hingga usia remaja merokok pun sering. Bagaimana tidak, harga rokok terlalu murah, bisa seribuan rupiah saja per batangnya!


Dari talkshow bertajuk  Selamatkan JKN dan Kelompok Miskin, Rokok Harus Mahal terkuak bahwa trend data dari survei SUSENAS menunjukkan bahwa trend pada umumnya pada laki-laki, perokok itu ada 64 - 70%. Nah, pada kelompok miskin angkanya di atas 70%. Menyedihkan, ya. Justru kelompok miskin di Indonesia sangat royal membelanjakan uangnya untuk rokok. Boleh dibilang penduduk miskin inilah yang menyumbang orang terkaya di Indonesia. Orang terkaya di Indonesia itu justru konglomerat rokok. Dari data SUSENAS pula, dari survei populasi, menunjukkan kelompok yang pendidikannya lebih tinggi, kelompok yang pendapatannya/penghasilannya lebih tinggi malah mengonsumsi rokok lebih sedikit dibandingkan dengan yang orang miskin.

Rokok: Memiskinkan dan Mengerdilkan


Lebih menyedihkan lagi karena akan berhubungan dengan kualitas generasi bangsa yang dihasilkan. Profesor Hasbullah Thabrany mengatakan, “Kajian-kajian terdahulu oleh kawan-kawan di Kementerian Kesehatan, juga di UI, menunjukkan bahwa beban biaya rokok itu kira-kira 3 ½ sampai 4 kali lebih banyak dari penerimaan negara dari cukai rokok. Jadi sebenarnya kita defisit.”

“Data terbaru yang dikeluarkan oleh bank dunia beberapa minggu yang lalu. Di situ tertulis jelas sekali bahwa kita rugi sekitar 1,2 miliar dolar,” imbuh Yurdhina Meilisa yang akrab disapa Mbak Ica.

Sebenarnya, untuk jangka panjang, untuk biaya berobat, lalu kehilangan produktifitas tidak dihitung sebagai beban negara. Belum lagi yang lebih parah adalah karena merokok terbukti mempengaruhi pertumbuhan anak. Anak bisa jadi kerdil secara fisik dan otaknya.

Lawan pengerdilan akibat rokok. Foto: Pixabay.

“Ini yang lebih berbahaya. Kalau kerdil otaknya, maka anak-anak kita tidak bisa jadi sumber daya, tetapi jadi beban masyarakat, beban negara, karena dididik pun susah. Karena kapasitas otaknya, ibarat komputer chip-nya mash Pentium 1. Kalau dididik dengan software yang sekarang ya hang, gak bisa. Akibatnya bagaimana mau bersaing dengan bangsa-bangsa lain, ini resiko masa depan bangsa yang kita tidak pahami sekarang,” tandas pak profesor lagi.

Berhubungan dengan hal ini, data lain disampaikan oleh Mbak Ica, yaitu bahwa data IFLS (Indonesia Family Life Survey) menunjukkan 22% per kapita pendapatan mingguan masyarakat miskin itu dipakai untuk rokok. Selain itu ada data yang dianalisa dari tahun 1997 – 2014 mengenai konsumsi keluarga di rumah tangga yang kepala keluarganya merokok. Pada periode itu kenaikan konsumsi rokok dibarengi dengan penurunan konsumsi daging dan juga ikan. “Jadi kita lihat bahwa ada substitusi dari yang tadinya dipakai untuk membeli makan dan kebutuhan keluarganya kemudian dipakai untuk membeli rokok,” tandas Mbak Ica.

Ancaman Bahaya Terhadap Bonus Demografi Indonesia


Nah, kalau dihubungkan dengan bonus demografi[1], hal ini sungguh menyeramkan. Pada ajang Side Event Forum Kawasan Timur Indonesia bertajuk Peran Pemuda dalam Pembangunan yang saya hadiri pada bulan November tahun 2015, Margareth Sitanggang dari UNFPA (United Nations Population Fund), pendukung utama acara ini memaparkan bahwa:
Pada sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 65 juta jiwa, 28% dari penduduk Indonesia adalah generasi muda usia 10 – 24. Pada tahun 2025 – 2030 mendatang, saat terjadi bonus demografi, bila tak disikapi dengan baik, jumlah penduduk remaja yang jumlahnya akan sangat besar ini dampaknya akan tak baik, bahkan menjadi bencana.

Merokok pada usia muda harus mendapatkan perhatian serius. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan kebiasaan buruk merokok meningkat pada generasi muda. Prevalensi remaja usia 16-19 tahun yang merokok meningkat 3 kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi 20,5% pada tahun 2014. Mengerikannya, usia mulai merokok menjadi semakin muda (dini).  Perokok pemula usia 10 – 14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, yaitu dari  8,9% di tahun 1995, naik hingga 18% pada tahun 2013.

Bonus demografi adalah isu yang serius. Anggota DPR Komisi IX, Surya Chandra, dalam Seminar Nasional Masalah Kependudukan di Indonesia, Kamis (22/4/2010) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta memaparkan bahwa jumlah usia angkatan kerja (15 – 64 tahun) pada 2020 – 2030 akan mencapai 70%, sedangkan 30%-nya adalah penduduk yang tidak produktif. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekira 180 juta, sementara yang nonproduktif hanya 60 juta. Dengan demikian tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk nonproduktif akan sangat rendah, yakni 44 per 100 penduduk produktif pada 2020 – 2030.

Nah, terbayangkankah oleh kita jika 44 orang yang menanggung 100 orang ini didominasi oleh orang-orang yang – meminjam istilah Profesor Hasbullah – OTAKNYA KERDIL? Terbayangkankah seperti apa masa depan bangsa ini?

Dukung Gerakan #RokokHarusMahal


Oleh karena itu, mari kita dukung #RokokHarusMahal #Rokok50ribu. Supaya para kepala keluarga dari golongan miskin berhenti merokok, juga anak-anak mereka terhindar dari rokok karena harganya mahal. Pengeluaran sekira Rp. 50.000 – Rp. 300.000 per bulan untuk rokok lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan lain yang menunjang tumbuh-kembang anak. Dengan menaikkan harga rokok sebungkusnya hingga Rp. 50.000 – kalau bisa lebih dari itu maka mereka akan terpaksa berhenti merokok. Diharapkan dengan demikian kesehatan meningkat, tumbuh-kembang anak menjadi lebih baik. Di samping itu JKN pun terselamatkan. Dukung gerakan ini dengan menandatangani petisi "Rokok Harus Mahal" di http://change.org/rokokharusmahal. Selamatkan bangsa kita dari kualitas buruk jika tiba saatnya menuai bonus demografi!

Makassar, 26 Juni 2018

Nantikan serial talkshow #RokokHarusMahal episode 6 hari Rabu 27 Juni, selanjutnya episode 7 dan 8 di pekan-pekan berikutnya di jaringan KBR seluruh Indonesia. Bisa disimak streaming-nya di KBR.id / KBR Apps atau tonton di FB Live Kantor Berita Radio-KBR. 

Tambahan referensi:


Tulisan ini diikutkan Lomba Blog Selamatkan JKN dan Kelompok Miskin, Rokok Harus Mahal




[1] “Bonus demografi adalah bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya”. Sumber: fan page FB BKKBN.


Share :

5 Komentar di "Rokok Harus Mahal untuk Selamatkan Bangsa"

  1. Rokok mahal adalah salah satu metode untuk mengendalikan konsumsi rokok..

    Salam hangat bunda
    Kakve-santi(dot)blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Sedih memang kalau melihat kenyataan bahwa perokok aktif lebih banyak dari kalangan yang kurang "aman" secara finansial. Sudah gitu nggak ada kesadaran sedikit pun dengan risiko yang ditimbulkan :(

    ReplyDelete
  3. Setuju banget sama judul dan isi dari tulisan ini, kebayang deh kalau harga rokok masih dibuat murah seperti dulu, sekarang juga kayaknya masih kurang mahal. Dahulu pas masih tinggal di rumah orang tua saya juga terpkasa jadi perokok pasif, karena papah merokok. Alhamdulillah semenjak menikah rumah saya dan paksu bebas asap rokok, bahkan kami tidak menyediakan asbak rokok sama sekali. Baca data demografik di atas aja udah ngeri-ngeri sedep gemana, bagus nih kalau ada kampanye terus menerus agar generasi muda masa depan bisa sadar akan bahayanya.

    ReplyDelete
  4. Paling malas klo ada yg merokok dintempat2 umum. Asapnya itu loh, kan lebih bahaya dari yang merokok (perokok pasif). Setunu banget klo rokok tuh harus mahal

    ReplyDelete
  5. Programnya hampir sama dengan plastik yg berbayar dii kak dulu, sengaja dimahalin biar kurang penggunaannya. Saya paling gak suka rokok atau ada di dekat orang merokok, papa saya gak merokok dan alhamdulillah dapat suami dan ipar-ipar yang tidak merokok heheheh

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^