Pelajaran dari Audisi Lomba Bercerita Tingkat SD/MI 2018

Sudah berkali-kali saya katakan pada Athifah kalau mau ikut Audisi Lomba Bercerita tingkat SD/MI, harus dia yang betul-betul serius mau ikut. Harus dari dirinya sendiri yang berinisiatif mau latihan sendiri tanpa saya perlu berkali-kali menyuruhnya. “Nanti orang bilang Mama manfaatkan anak!” alasan asal-asalan yang pernah saya lontarkan. Apa-apaan si mamak, memangnya anaknya artis, gitu, memanfaatkan kemampuan anaknya buat cari duit? 😆 (Oya, baca cerita sebelumnya di: 5 Hal Tentang Lomba Bercerita Tingkat SD/MI yang Perlu Anda Tahu).


Alasan sebenarnya mengapa saya berkali-kali menanyakannya adalah saya mau mengukur sekuat apa keinginannya. Saya sudah katakan berkali-kali, kalau dia ingin ikut lomba bercerita maka harus dari dirinya yang punya inisiatif untuk berlatih, bukannya saya yang berkali-kali harus menyuruhnya berlatih seperti yang sudah-sudah. Sebab kekuatan terbesar adalah yang berasal dari dalam diri sendiri dan anak seusianya seharusnya sudah bisa mempergunakan kekuatan dari dalam dirinya sendiri.

Karena putri satu-satunya ini mengatakan serius ingin ikut lomba maka papanya dan saya mengusahakannya agar terdaftar dan bisa ikut lomba selama dua hari berturut-turut. Mengambilkannya formulir di panitia, mengambilkannya surat sah dari sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan seorang guru, mengembalikan formulir ke panitia, ikut technical meeting, mencarikan cerita khas Makassar, menuliskan kembali cerita yang lebih mudah dia pahami, mengantarkan serta menungguinya di lokasi lomba. Namun tetap saja bagian tersulitnya adalah ………. berkali-kali mengingatkan nona mungil ini untuk senantiasa berlatih!

Tak mengapa kalau hanya kami orang tua yang mengantarkan Athifah ikut lomba bercerita. Saya rela-rela saja selama nona ini bisa mendapatkan pengalaman baru dari lomba ini. Peserta-peserta lainnya didampingi oleh guru pendampingnya bahkan ada guru yang datang dengan menggendong bayinya. Luar biasa. Memang, sih, ada sekolah yang sudah mengikuti lomba ini selama bertahun-tahun. Jadi, guru-guru mereka sudah terbiasa mengantarkan dan mendampingi murid-muridnya selama lomba bercerita berlangsung.




Saya takjub ketika audisi (babak penyisihan) yang berlangsung pada tanggal 17 April, beberapa anak dengan serius berlatih sendiri di sekitar aula di lantai 2 Gedung Penerbit Erlangga, tempat di mana lomba berlangsung. Mereka tidak didampingi lagi oleh pendamping mereka dan bisa berlatih sendiri.
Saya tak bisa menahan kecerewetan, “Tuh Athifah, lihat mereka latihan sendiri. Tidak perlu disuruh-suruh sama gurunya! Begitu kalau mau berlomba. Harus punya keinginan untuk latihan sendiri!”

Gadis kecilku terdiam. Dia mengamati anak-anak yang sedang berlatih sendiri di sekitarnya. “Mama ke sana pale’,” dengan logat Makassar, dia menyuruh saya menjauh darinya. Tak mengira mendapatkan respon itu, saya pun ngeloyor dengan perasaan keki. Maksud saya itu, saya mau melihatnya berlatih sendiri di depan saya, tanpa perlu saya suruh-suruh lagi kapan harus mulai dan kapan harus berhenti. Eh, ini malah menyuruh saya pergi. Huft.

Tak lama menanti, tiba juga giliran Athifah yang mendapatkan nomor urut 29. Seperti biasa, dia cukup percaya diri berjalan ke depan para juri, memperkenalkan diri, dan mulai bercerita. Penampilannya tidak jelek tapi tidak juga bisa dikatakan bagus. Rata-ratalah untuk konteks lomba. Tak semua anak seusianya mampu bercerita seperti dirinya – ini salah satu kelebihannya yang saya akui tak saya miliki dan merupakan starting point yang bagus buatnya. Meski penampilannya tergolong rata-rata di antara  para peserta lomba, saya bisa melihat kemajuan kali ini dibandingkan penampilannya berlomba pada tahun lalu. Namun saya tak berkata apa-apa, hanya menyambutnya dengan seulas senyum usai gilirannya bercerita. Kami pulang ke rumah dan datang untuk menyimak pengumuman siapa saja yang lolos masuk grand final dan sekaligus menyimak lomba finalnya pada keesokan harinya. Pemenang dari lomba pada hari berikutnya ini akan menjadi wakil Kota Makassar pada Lomba Bercerita Tingkat SD/MI Seprovinsi Sulawesi Selatan nantinya.


Permintaan saya agar Athifah tetap berlatih beberapa kali di malam itu tak dia gubris. Dia malah sibuk dengan hal-hal lain dan kemudian tertidur karena kelelahan. Ya sudahlah, saya tak bisa memaksanya. Ini pertarungannya, bukan pertarungan saya. Dia yang harus belajar sesuatu dari lomba bercerita tahun 2018 ini.

Makassar, 28 April 2018

Bersambung ke pengalaman di grand final Lomba Bercerita Tingkat SD/MI Kota Makassar. Stay tune, yaa.



Share :

2 Komentar di "Pelajaran dari Audisi Lomba Bercerita Tingkat SD/MI 2018"

  1. Hiiii responnya mungkin karena tak mau dibandingkan ama yang lain ya mba. Padhaal kita pengennya anak semangat dan meiru yang baik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengennya, kekuatan dari dalam dirinya bangkit, Mbak. Kalau kekuatan itu bangkit, seperti kekuatan raksasa kalau saya bilang. Dia tidak perlu saya lagi untuk berlatih. Nah ini yang masih kurang hehehe.

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^