Lakukan Sesuatu untuk Hentikan Gaya Menulis Cabul

Twit apresiasi kepada Hipwee segera saya layangkan usai membaca tulisan yang saya protes sudah berubah menjadi lebih baik. Sebelumnya, tulisan berjudul Meski Sudah Mengaku Salah, Pelecehan Seksual oleh Perawat pada Pasiennya Ini Nggak Bisa Diterima! saya protes di kolom komentar post tersebut dan di Twitter. Di Twitter saya mention akun Hipwee dan ditanggapi oleh puluhan orang.

Berkali-kali membaca berita cabul sejak kecil membuat saya berpikiran bahwa memang seperti itulah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ditulis. Berita cabul yang saya maksud di sini adalah yang menulis membuat berita itu seolah-olah reka ulang adegan pelecehan seksual dengan detail sehingga yang membacanya mampu berimajinasi.

Saya yakin bukan cuma saya yang pernah membaca berita seperti ini. Anda juga mungkin pernah membacanya. Pada tulisan seperti itu tindak pelecehan ditulis dengan detail, bahkan ada yang menambahkannya dengan bumbu penyedap. Saking seringnya, tulisan seperti itu bagaikan kelumrahan di media mana pun di negara ini.

Namun akhirnya saya menyadari kalau yang seperti itu salah setelah beberapa kali mengikuti pelatihan dan diskusi yang diselenggarakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Makassar, Yayasan BakTI, LBH APIK, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sikap saya menghadapi berita cabul pun berubah. Dari yang sebelumnya “terpaksa” menerima gaya penulisan yang meresahkan itu hingga sekarang yang benar-benar merasa terganggu dan merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Kalau tidak bisa mengubahnya, paling tidak saya bisa memberikan pandangan kepada orang lain bahwa cara penulisan seperti itu salah besar.

Tweet saya saat itu menangguk 3.491 impresi. 

Tulisan berjudul "Meski Sudah Mengaku Salah, Pelecehan Seksual oleh Perawat pada Pasiennya Ini Nggak Bisa Diterima" yang ditulis oleh Iradat Ungkai ini tayang di Hipwee pada tanggal 26 Januari lalu. Judulnya bagus, jadi saya pikir kontennya bagus. Kalau dibaca sekilas, maksudnya bagus tapi kalau mencermati kata demi kata dalam tulisan itu, duhai ... berbagai rasa mengemuka. Mulai dari risih, malu, sedih, hingga marah.

Mengapa saya merasa risih, malu, sedih, hingga marah?


Karena saya perempuan. Bagian tubuh yang diekspos dalam tulisan itu adalah bagian tubuh yang juga saya miliki. Yang merasakan hal seperti ini bukan hanya saya, beberapa perempuan mengakui merasakan hal yang sama dengan saya. Penulis mengekspos hinga 4 kali – dua kali dalam tulisan dan dua kali dalam bentuk screenshot teks yang dikutip dari video perempuan yang memarahi perawat rumah sakit yang menurutnya telah melecehkan dirinya. Tidak cukup 4 kali, penulis masih menyisipkan videonya. Jadi total ada 5 kali ekspos!

Sedih sekali membaca tulisan yang mengeksploitasi tubuh perempuan seperti itu. Ibaratnya korban dia buat tertimpa tangga setelah jatuh. Ini yang namanya jadi korban berkali-kali. Seharusnya eksplorasi tulisan bukan pada detail tindakan pelecehan yang dilakukan, melainkan pada alasan mengapa tindakan itu tak dapat diterima. Apakah itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam agamakah, atau bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, dan lain-lain 

Hingga hari ini impresi dari tweet protes saya masih bertambah impresinya. Saat
saya cek tadi ada 5.466 impresi.

Ketimbang ekspos detail pelecehan hingga total sebanyak 5 kali sehingga lebih menjadi gambar besar di tulisan itu, sebaiknya tuliskan bagaimana solusi kalau seorang pasien mendapatkan pelecehan seksual ketika di rumah sakit atau bagaimana caranya supaya tidak dilecehkan ketika sedang terbaring lemah usai operasi. Baca di tulisan berjudul Sudut Pandang Hukum yang Bisa Digunakan dalam Menulis Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak untuk tahu lebih banyak.

Apa yang terjadi usai protes saya tulis di kotak komentar dan di Twitter?


Dukungan pun berdatangan. Kebanyakan dukungan berasal dari kaum perempuan (kira-kira 90%)Sebagian datang dengan spontan, sebagiannya lagi datang ketika saya mendatangi mereka untuk mencari dukungan. Saya mencari dukungan? Iyalah, saya kan bukan selebtwit (selebritas di tweet land) yang dengan gampang bisa membuat orang mendukungnya. Saya hanya seorang mamak biasa yang cuma punya sedikit kepedulian dan keberanian untuk mendesak agar tulisan itu diubah. Agar menjadi pelajaran di kemudian hari. Kalau tidak bisa bagi semua orang, setidaknya bagi segelintir orang. Mana tahu terjadi perubahan, kan? Harapan saya adalah tulisan itu diubah. Atau sedikitnya ada secuil perubahan wawasan, semoga bisa menyebabkan orang yang tidak peduli menjadi peduli. Atau yang tidak tahu/sadar menjadi tahu/sadar. Agar ke depannya yang sempat membaca protes saya tidak membuat tulisan cabul.

Komentar saya di bawah tulisan termaksud dan jawaban pihak Hipwee.

Satu reaksi positif kemudian terlihat: admin Hipwee menjawab komentar saya. Saya mengapresiasinya. Admin Hipwee membalas komentar saya dengan meminta maaf atas ketidaknyamanan saat membaca tulisan itu dan mengatakan akan menyampaikannya kepada redaksi.

Mungkinkah melakukan perubahan melalui media sosial?


Hei, mungkin saja! Kita semua sudah tahu begitu banyak hal yang menjadi viral di jaman now. Kita sama-sama tahu bagaimana ide atau kejadian bisa tersebar di media sosial. Di grup WA saja, begitu banyak informasi beredar, yang hoax sekalipun dan bisa membuat orang-orang terpengaruh!

Kemenangan dari petisi online change.org (dari website change.org)

Kita sama-sama tahu kalau media sosial bisa memengaruhi pikiran seseorang maka kenapa tidak saya menggunakan medsos juga? Versi besarnya, petisi dari change.org bisa menghasilkan banyak perubahan. Kenapa tidak, saya mencoba melakukan yang kecil-kecil saja? Ibarat nyamuk yang mengganggu raksasa. Kalau nyamuknya konsisten berdenging dan menggigiti si raksasa, pasti raksasa merasa terganggu dan sesaat memerhatikan si nyamuk, kan?

Apa hasil protes saya?


Hasilnya, alhamdulillah, tulisan itu diubah pada tanggal 29 Januari menjadi lebih baik. Penggambaran dengan cara mengekspos tindakan pelecehan (yang seperti menonton adegan reka ulang itu) sudah tidak terbaca sevulgar sebelumnya. Walaupun tidak sepenuhnya seperti harapan saya, yang ini sudah lebih baik dibanding yang sebelumnya. Top, deh redaksi Hipwee. Sekali lagi, terima kasih banyak atas perhatiannya pada protes saya.

Twit apresiasi saya, mendulang impresi 6.663 (jangan anggap remeh dunia maya!)

Apa yang akan saya lakukan kalau protes saya gagal?


Apakah saya berhenti sampai di situ saja kalau Hipwee tidak bereaksi? Nope. Saya akan mengadukannya kepada pihak (lembaga) yang berwenang membuat Hipwee mengubah kontennya! Mengapa seberani itu? Karena saya tahu saya benar dan cara penulis cabul itu yang salah! Saya berencana meminta dukungan kepada AJI Makassar dalam pelaporan yang akan saya lakukan. Karena berkat AJI, melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakannya, membuat wawasan saya kini terbuka.


Beberapa profesional yang tergabung dalam AJI Makassar baru-baru ini bekerja sama dengan Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU) bahkan sudah membuat Buku Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak. Di halaman 79 buku ini, di bagian tips dikatakan:
Pilih diksi yang tepat agar tidak terkesan melakukan eksploitasi terhadap perempuan dan anak.

Dimuat di BaKTI News No. 146 (Maret - April 2018)
Pada halaman 68, diinformasikan mengenai Undang-Undang Pers yang mengatur Kode Etik Jurnalistik yang menegaskan mengenai tidak bolehnya penulisan cabul dan penyebaran identitas korban:
Mengacu pada Undang-undang Pers No 40 tahun 1999 yang mengatur Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Penafsiran :
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, gambar dan suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran :
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Kalau bukan jurnalis profesional, haruskah mengikuti etika dalam penulisan kasus kekerasan terhadap perempuan?


Ya iya dong. Menulis di website serupa media online ataupun blog pribadi, meskipun bukan jurnalis profesional, bisa dikategorikan sebagai “jurnalis warga”. Menulis di ranah maya ini perlu mengikuti norma juga. Bukan hukum rimba yang berlaku. Jurnalis sudah merumuskan “norma”-nya, sudah sepatutnya diikuti. Mengapa? Karena jurnalis (selayaknya) sudah paham dengan risiko dan tantangan yang (bakal) dihadapi setelah dia menulis dan ada aturan yang harus dia ikuti. Kalau melanggar, ada sanksi yang menanti. Ada lembaga yang berwenang memberikan sanksi kepadanya.


Mereka yang tidak berprofesi sebagai jurnalis profesional, kebanyakan sangat awam, tidak paham dengan segala tantangan risiko. Seperti anak atau remaja yang harus selalu diarahkan oleh orang dewasa terdekatnya ketika bermedia sosial. Maka dari itu, penulis biasa – yang bukan jurnalis profesional – perlu mengetahui rules yang dipahami jurnalis profesional supaya lebih bisa mengendalikan tulisan dan imajinasinya dan tidak mudah terjerat masalah. Dan baik itu jurnalis profesional maupun warga biasa, sebaiknya tahu mana yang etis dan tidak dalam menulis kasus kekerasan seksual pada perempuan dan mempraktikannya. Untuk itu, perlu belajar kepada mereka yang biasa melakukan advokasi pada kasus seperti ini.

Beberapa pemakaian kata yang kurang tepat dan tepat pada
Buku Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak

Bagaimana caranya supaya tahu rules tersebut? Buka mata, telinga, dan hati untuk belajar. Kalau tak berkesempatan mengikuti pelatihan seperti yang pernah saya ikuti, yuk belajar dari buku panduan seperti yang telah disusun oleh teman-teman dari AJI Makassar dan Yayasan BaKTI yang saya ceritakan di atas. 

Makassar, 1 Februari 2018


Catatan:
  • Rencananya saya akan menulis tentang hal-hal yang pernah saya lakukan di dunia maya yang bertujuan mengubah sesuatu.
  • Link tweet protes saya: https://twitter.com/Mugniar/status/956777567054262273
  • Link tweet apresiasi saya: https://twitter.com/Mugniar/status/957882666954534917
  • Link tulisan yang sudah diperbaiki di Hipwee: https://www.hipwee.com/hiburan/meski-sudah-mengaku-salah-pelecehan-seksual-oleh-perawat-pada-pasiennya-ini-nggak-bisa-diterima/
  • Perumus dan penyusun ebook Buku Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak.   Perumus: Qodriansyah Agam Sofyan, Fadiah Mahmud, Muliadi Mau, Nurlina Arsyad. Penyusun: Rahmat Hardiansya, Lusia Palulungan, M. Ghufran H. Kordi K.

Baca juga beberapa pembelajaran saya dari AJI Makassar, BaKTI, LBH APIK, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak:



Share :

58 Komentar di "Lakukan Sesuatu untuk Hentikan Gaya Menulis Cabul"

  1. bisa minta e-book buku panduannya mbak? kalau bisa mohon diemailkan di afriana1992@gmail.com. terimakasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Mbak. :)

      Delete
  2. Setuju banget sama protesnya. Keren mbak akhirnya mendulang respon positif ya. Saya mau mbak ebook yh dimaksud biar ikut belajar menulis dg baik dan benar :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Mbak. :)

      Delete
  3. Two thumbs up untuk Mba Mugniar! Saya pribadi sangat kesal bila portal berita 'membahas' dengan gaya cabul, apalagi tujuannya demi meningkatkan trafik. Janganlah mengambil keuntungan dari kemalangan org lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Kalau media dan penulis terhormat mestinya tak melakukannya.

      Delete
  4. Saya juga setuju sama protesnya mbak Mugniar. Sebelumnya terima kasih mbak Mugniar karna setelah saya membaca tulisan mbak, saya mendapatkan pencerahan. Dari tulisan mbak, saya bisa belajar untuk lebih berhati-hati dalam membuat tulisan apalagi saya masih newbie di dunia blogger. Semoga dengan adanya tulisan mbak Mugniar ini, para penulis dunia maya bisa lebih mengembangkan potensi menulis yang lebih baik lagi dari sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca, ya Fifi. Ke depannya kita bisa lebih baik lagi. Mau PDF-nya, juga, tidak?

      Delete
    2. Amin. Iya sama2 mbak Mugniar. Boleh mbak hehehe

      Delete
    3. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Fifi. :)

      Delete
  5. Replies
    1. Sudah kirim ke alamat email Nunu, yaa. Makasih sudah membaca, Nu.

      Delete
  6. Waaaah, keren, Mbak. Ada rasa peduli. Jarang-jarang ada pembaca yang sampai sedetail ini melayangkan protes, lho. Btw, musti banyak2 belajar lagi, apalagi untuk diksi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Idah, kita semua harus belajar lagi biar bisa menulis dengan lebih baik :)

      Delete
  7. Baru tahu ada pedoman jurnalisme perspektif perempuan. Mau ebooknya ya mbak, ke virlyka.vka@gmail.com
    Salam kenal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Mbak. :)

      Delete
  8. Saya setuju banget, mb.. Karena memang media online bisa sangat mempengaruhi suatu tindakan.
    Semoga semua media lebih selektif lagi dalam menayangkan artikelnya.

    ReplyDelete
  9. Ya Allah, beberapa kata saya masih menggunakannya :( Kalau boleh saya mau ebooknya ya mbak holawulan@gmail.com terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Mbak. :)

      Delete
  10. wah mantap nih mbak niar, memang perlu protes ya secara itu berhubungan dg perempuan yang kalau terus ditulis rasanya gimana gitu, mksh pencerahannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya tidak sendiri, kan Mbak? Merasa risih, sedih dan malu juga dengan gaya menulis cabul? Makasih sudah membaca ya Mbak

      Delete
  11. Setuju banget mbak! Saya juga kalau membaca artikel yang gaya tulisannya cabul sebenarnya agak nggak nyaman, dan kadang agak takut kalau artikel semacam ini tiba-tiba dibaca anak-anak yang masih sering meniru apa yang dibaca dan dilihat oleh mereka.

    Bolehkah saya meminta file e-booknya mbak? Terimakasih ^^
    email : gitatofu@gmail.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, iya. Kasihan anak-anak kita. Meskipun ada pertanyaan apakah yang mau membaca sdh dewasa, kalau anak-anak ngeklik IYA padahal belum dewasa, siapa yang mau memeriksa kebenarannya, ya kan?



      Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Mbak. :)

      Delete
  12. Sekarang banyak banget tulisan seprti ini di media2 sejenis Hipwe
    mungkin kuran kontrol dari admin

    ReplyDelete
  13. Kita memang harus lebih peka lagi yah sebagai penulis.
    Media sekarang banyak sekali yang hanya ingin mendulang klik, tapi melupakan konten yang bermanfaat.

    ReplyDelete
  14. Salut mba bisa bersikap kritis! Jadi Makin belajar deh

    ReplyDelete
  15. bravo mba! Sometimes they just don't know what they write...dan dampen buruknya bagi para pembaca!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes, mereka tidak tahu, ada juga yang tidak peduli. Ada juga yang peduli setelah dikritik.

      Delete
  16. Indonesia butuh orang-orang sepertimu bun.

    ReplyDelete
  17. Bertambah ilmu saya terkait penulisan di sini. Bermanfaat banget, Kak. semoga kasus serupa tak perlu terjadi lagi.

    ReplyDelete
  18. Tulisan yang menawan dari seorang Mugniar.
    I agree. Hal-hal seperti itu memicu untuk reader mencari tahu.

    ReplyDelete
  19. Berita-berita seperti ini ((dengan judul yang provokatif)) begini justru diminati orang.
    Tak dipungkiri, berita dengan judul menarik, akan banyak juga mendatangkan viewers.

    Mba Niar keren banget...bisa mengkritisi hal-hal yang sudah jarang ada orang mau perduli.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Khusus yang ini, judul dan isi kurang berhubungan. Isinya lebih kepada "reka adegan" :(

      Delete
  20. sepakat mbak, media berperan besar sebagai buzzer atas suatu peristiwa, bukan malah beropini untuk tujuan tertentu. kekuatan blogger luar biasa bisa merubah headline dari media besar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes, bisa sekali Mas Afizal. Kita pun bisa jadi buzzer untuk hal-hal baik yang sudah semestinya.

      Delete
  21. Saya jadi tahu lebih banyak lagi tentang hal semacam ini.. Hebat mbak.Kalau berkenan sy pun mau ebooknya mbak..ini email sy muyass04@gmail.com.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ebook sudah saya kirimkan, ya, Mbak. :)

      Delete
    2. Tulisan mbak membuka wawasan baru bagi saya.. banyak yang harus dipelajari buat seorang penulis.. kalau boleh saya mau ebooknya juga mbak, a.rofiati@gmail.com .. terima kasih dan salam kenal, ana

      Delete
    3. Sudah terkirim ebook-nya ya Mbak Rofiati. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Semoga bermanfaat ebook-nya.

      Delete
  22. Wkt aku pertama kali baca beritanya, trs nonton videonya, aku jg lgs risih mba. Malah berita2 selanjutnya ga aku ikutin lagi. Males baca berita yg isinya malah cendrung memprovokasi ato membuat pembaca jd membayangkan detail peristiwanya.. Syukurlah kalo memang udh direvisi tulisannya.. Mereka kok ya ga mikirin perasaan korban

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang menulis hanya berpikir bagaimana supaya judul dan tulisannya memancing pembaca. Tidak sampai ke pemikiran apakah tulisannya memang benar2 bermanfaat atau tidak

      Delete
  23. Miris mba jika masih banyak media yang menggunakan kata kata cabul gitu Padahal kode etik udah ada dan training penulisan juga udah sering dilakukan. Salut dengan komitmen mba Niar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak. Kayaknya masih harus sering dilakukan ya

      Delete
  24. Salam mba Mugniar. Ikut prihatin. Penulisnya kebanyakan nonton film biru kali mba. Tulisan yang sangat menarik dan menyadarkan. Tertarik mendapat ebooknya bila tidak keberatan mohon kirim ke livingsparkling@gmail.com Terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam Mbak. Mungkin juga hehe. Sudah saya kirim by email ya. Terima kasih. Semoga bermanfaat.

      Delete
  25. Setuju sekali mbak, saya penulis di UC Media jga berharap judul dan tulisan seperti itu mulai ditinggalkan.

    ReplyDelete
  26. Terimakasih, bu, atas tulisan yang inspiratif ini. Mohon maaf, jika Ibu berkenan, saya ingin membaca ebooknya, Bu, guna memperdalam ilmu jurnalis yang lebih mapan lagi. Semoga kelancaran dari YMK selalu menyertai Ibu. Aamiin

    ReplyDelete
  27. Maaf bu, tadi ketinggalan email saya. Ini bu, matur nuhun. Email: dyahpurboarum@gmail.com

    ReplyDelete
  28. Hai, Mb Niar. Aku baru baca ini setelah 5 tahun. Makasih buat tulisan bagus ini, Mbak. Masih panjang perjuangan menghilangkan gaya menulis cabul ini. Kalau kulihat, sekarang masih banyak yang gaya tulisnya vulgar seperti itu, apalagi para pengejar klik.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^