Menganalisa Berita yang Sensitif Gender dan Peduli Anak

Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak,  Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan, Bagaimana Media Memahami Gender, dan Jurnalisme Sensitif Gender dan Peduli Anak yang merupakan catatan dari Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.

Bukan pelatihan namanya kalau tak ada praktik. Di pelatihan ini, praktik yang dilakukan adalah menganalisa berita yang dipilihkan oleh para fasilitator secara berkelompok. Pastinya, berita yang dibagikan ditulis dalam gaya bahasa yang tidak benar (kalau benar, tidak mungkin disuruh menganalisanya, yak hehe).


Saya masuk ke dalam kelompok 3, semuanya perempuan. Ada dua jurnalis senior di situ: Bu Maya dari stasiun televisi Ve Channel dan Bu Ajra (kontributor The Jakarta Post). Saya blogger yang beruntung, bisa terpilih mengikuti pelatihan ini, bersama blogger lainnya yang menggeluti dunia dongeng: Kak Heru. Oya, ada satu blogger lagi, sih tapi saya tidak mengenalnya. Para peserta lainnya kebanyakan dari media mainstream dan media online. Yang blogger hanya kami bertiga.

Analisa Biasnya


Pada sesi praktik ini kami harus menganalisa isi berita: ada bias apa saja di dalam berita dan bagaimana sebaiknya agar penulisan berita tidak bias gender. Satu-satunya yang paling muda dalam kelompok kami: Eci (presenter Inews TV Makassar) kebagian tugas mengetik hasil diskusi dan mempresentasikannya di depan para peserta lainnya dan para fasilitator.

Analisa Identitas Korban dan Profesi Pelaku Kejahatan


Kelompok kami mendapatkan berita berjudul  Berdua di Indekos, Buruh Bangunan Gauli ABG. Tadinya saya ingin memindahkan di sini isi beritanya supaya pembaca blog ini bisa ikut belajar bersama saya. Tapi saya tak tega karena berulang kali penulis berita ini menuliskan identitas korban perkosaan 😓. Padahal menuliskan identitas tidak dibenarkan. Memang bukan nama lengkap si korban yang dituliskan. Masalahnya, si wartawan menuliskan nama lengkap kakak korban dan tempat kos kakak korban, di mana insiden perkosaan terjadi. Ya sama saja, toh. Dengan demikian, identitas lengkap dari korban akan diperoleh dengan cepat.

Saat berdiskusi kelompok, saya mempertanyakan mengenai penyebutan profesi korban yang menurut saya tidak penting. Namun kata Bu Ajra, pada identitas profesi itulah letak nilai beritanya. Ketika sesi presentasi, Bu Ruth Indiah Rahayu menanyakan perihal penulisan profesi ini kepada dua fasilitator lainnya yang mantan jurnalis (tetapi masih bergelut dalam dunia edukasi jurnalistik).

Foto bareng peserta dan fasilitator pelatihan. Sumber: rumahdongeng.id

Pada perspektif Bu Ruth, profesi “buruh bangunan” sebaiknya tidak usah dituliskan karena terlihat bias profesi. Buruh bangunan seolah-olah ditempatkan sebagai profesi yang rentan melakukan perilaku asusila. “Mengapa tidak menyoroti bahwa ini dilakukan orang dekat?” tandasnya. Iya, sih, ya. Sebaiknya kan ditekankan bahwa perkosaan kebanyakan dilakuka oleh orang dekat korban (dalam hal ini teman sekamar dari kakak korban). Lebih baik masyarakat diajak untuk lebih mewaspadai orang-orang di sekitarnya, bukannya membuang waktu dengan membahas profesi pelaku dan tempat kejadiannya (berulang kali pula ditekankan tempat kejadian adalah di indekos kakak korban, seolah-olah mengajak pembacanya untuk melabeli negatif tempat kos).

Di sini saya mempertanyakan lagi kepada para fasilitator. Mengingat yang dituliskan profesinya untuk “kasus istimewa” sebenarnya bukan hanya profesi buruh bangunan, setahun saya. Sering kali profesi-profesi lain disebutkan, seperti: guru, anggota DPR(D), pejabat, PNS. Begitu pun predikat semisal ibu rumah tangga dan ABG.

Saya pribadi berpikirnya, apa iya penting menuliskan profesi? Sebagai orang yang melakukan kejahatan, profesi tidak lagi penting. Semua orang toh sama di mata hukum. Entahlah. Tapi menurut kedua fasilitator lainnya: Pak Ignatius Haryanto dan Pak Ambang Priyonggo, penulisan profesi tidak mengapa. Sah-sah saja. Beda persepsi. 😊

Penting Atau Tidak?


Menarik menyimak presentasi kelompok-kelompok lain. Ada berita online yang mengekspos seorang perempuan cantik asal Filipina berkulit putih yang bersuamikan lelaki yang warna kulitnya gelap. Ada juga yang membahas habis Ayu Ting Ting yang kedapatan kamera sedang menggaruk bagian tubuhnya hingga menyebabkan pakaiannya tersingkap. Huh, kurang kerjaan benar nih jurnalisnya. 😠

Contoh berita tak elok. Perhatikan yang dilingkari di sebelah kanan. Dua berita tak elok
menempati posisi berita terpopuler.

Oleh Pak Ignatius diberikan satu pertanyaan kunci untuk menuliskan berita supaya tidak terpengaruh menulis hal-hal aneh seperti itu: Berita pentingkah ini? Jawabannya tegas: TIDAK!

Bu Ruth mengatakan kepada para peserta pelatihan, “Problem gender tidak pernah berdiri sendiri, akan dikaitkan dengan problem lain: ras, suku, anak, lansia, kelas, atau agama!” Okay, Ma’am. Noted.

Batasan Kejahatan Seksual Itu Bagaimana?


Saat ada yang bertanya tentang batasan maksud kata “perkosa”, Bu Ruth menjelaskan, “Perkosaan adalah ketika perempuan pada pihak yang lemah. Pelaku pasti punya power lebih besar daripada korban. Kedua, pasti ada pemaksaan, inisiatif pelaku sendiri. Perkosaan itu satu pihak tidak bersedia. Begitu pun pelecehan seksual: korban tidak bersedia. Batasan itu menurut CEDAW[1] dan Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, termasuk batasan kekerasan seksual, sunat perempuan, perkosaan. Ini pegangan untuk memberitakan kasus kekerasan kepada perempuan!”

Beda Siswa dan Siswi yang (Ngebet) Nikah


Ada satu judul berita yang juga luar biasa memuakkan: Yaelaaaa ... Lima Siswi Gagal Ujian Gara-gara Ngebet Nikah. Dalam diskusi antara peserta dan fasilitator disebutkan bahwa judul berita ini terlalu menghakimi. Seharusnya dicermati konteksnya seperti apa sehingga tidak mudah jatuh pada klaim sepihak. Itu akan merugikan perempuan. Dalam kasus seperti ini biasanya siswi yang diberitakan. Siswa tidak. Sayang sekali, banyak sekolah tidak membolehkan ikut ujian siswi yang nikah muda sementara siswa yang nikah muda tidak mengapa ikut ujian. Seharusnya ketidakadilan ini yang dibahas media. Kebijakan pemerintah banyak yang tidak konsisten. Sangat penting untuk dicermati jurnalis.

Berita tak elok lainnya

“Tidak memberitakan apa yang terjadi tapi apa yang ada di balik peristiwa itu. Maknanya cukup dalam: kebijakan pemerintah yang sangat diskriminatif terhadap siswi. Ada kebijakan yang mereduksi hak untuk mendapatkan pendidikan,” tegas Pak Ambang Priyonggo.

Tentang Politisi Perempuan


Judul berita lain yang didiskusikan bersama adalah ERMALENA, Politisi yang Hobi Kunjungi Pelosok. Konten berita ini sama anehnya dengan yang lain. Diskusi kami mengungkap beberapa hal, sebagai berikut:
  • Garing sekali, tidak ada kutipan. Idenya orang ini tidak kelihatan. Apa yang membuat dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, apa kekuatan dia?
  • Selidiki, wartawannya ambil berita dari mana? Dari CV (curriculum vitae)? Ambil berita dari berita online lain? Kalau menggambarkan profil atau aktivitas politik, tidak cukup dari CV saja. Pun kalau diwawancarai, belum cukup. Perlu cek konstituennya. Di lapangan dia seperti apa? Kalau hobi kunjungi pelosok, tanyakan apakah dia paham masalah-masalah di tempat konstituennya?
  • Ketika menggambarkan politisi perempuan, idenya apa dan kegiatan kepolitikannya apa tidak disebutkan oleh wartawannya. Sering pula dikaitkan dengan bapaknya yang (mantan) orang penting (subordinasi). Seolah-olah politisi perempuan tidak punya kapabilitas sendiri.



Tak terasa pelatihan hari kedua harus berakhir. Di penghujung acara, Pak Didik dari KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menutup acara dengan sambutannya, “Pelatihan ini memberikan gambaran, mengharapkan media di Makassar untuk mengaktualisasikan apa yang sudah disampaikan para nara sumber, menjadi jurnalis yang sensitif gender. Langkah ke depan mengharapkan tahun 2018 akan mengadakan kerja sama lagi dengan LSPP dan AJI, yang luas lagi di seluruh Makassar.”

***

Well done Pak Didik, saya berharap akan ada keberlanjutan dari kegiatan ini. Terima kasih kepada KPPPA dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang sudah memberikan saya kesempatan mengikuti pelatihan luar biasa hingga sesi Menganalisa Berita yang Sensitif Gender dan Peduli Anak ini. Semoga kualitas kami dalam menulis semakin baik.

Makassar, 20 Mei 2017

Selesai




[1] Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standard internasional yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981 (sumber: www.odhaberhaksehat.org).


Share :

6 Komentar di "Menganalisa Berita yang Sensitif Gender dan Peduli Anak"

  1. Sekarang malah banyak berita yang dibuat dengan headline atau tajuk yang memancing orang untuk buka, walaupun terkadang judulnya malah bisa terkesan negativ atau menjatuhkan pihak2 tertentu.

    ReplyDelete
  2. Postingan yang sangat beranfaat bu.

    ReplyDelete
  3. Pernah saya kesal banget dengan salah seorang penjual koran. Saat itu sedang macet. Kemudian ada penjual koran yang langsung menempelkan korannya ke kaca depan. Maksudnya biar saya beli. Tapi yang bikin saya marah, koran yang ditawarkan adalah koran yang beritanya gitu, deh. Mengarah ke porno. Mana saat itu ada anak-anak saya di mobil kan mereka jadi sempat baca.

    ReplyDelete
  4. mbak niar , itu diskusinay bikin asyik ya, dg tema yang menarik pastinya seru beradu pendapat

    ReplyDelete
  5. Mba Niar, emang mba. Banyak jurnalis yang 'kurang kerjaan' mba. Buat berita yang hanya mendulang 'klik' dari pembaca padahal isinya 'kosong'. Miris ya mba

    ReplyDelete
  6. Seringkali judul berita dibuat "sedemikian rupa" heboh sehingga menarik orang untuk membaca. Sedemikian hebohnya sehingga melupakan tata krama dan estetika bahasa

    dan satu lagi saya tersenyum membaca ini ...
    "Masalahnya, si wartawan menuliskan nama lengkap kakak korban dan tempat kos kakak korban, di mana insiden perkosaan terjadi" ini seriiiinnnnggg banget. Korban/pelaku si initial. Tapi keluarganya tidak ... sama aja boong kan ? (hehehe)

    salam saya Niar

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^