Dilema dalam 1 Cinta di Bira

Excited. Itu yang saya rasakan setiap mengetahui ada film nasional yang ber-setting Sulawesi Selatan. Apakah keindahan tanah Sulawesi Selatan digambarkan dengan baik? Apakah pemerannya menggunakan dialek sini atau tetap menggunakan dialek Jakarta? Aih, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan menonton filmnya secara langsung.

Ketika blogger Makassar mendapatkan undangan Gala Premiere film 1 Cinta di Bira, saya menjadi salah satu pesertanya. Apalagi ketika Kak Nuniek mengatakan kepada saya bahwa suaminya – Pak Awaluddin Tahir juga menjadi salah satu pemain dalam film ini dan Kak Nuniek sudah menyampaikan undangan ini sebelum ada pemberitahuan di grup Facebook Komunitas Blogger Anging Mammiri, makin penasaranlah saya. Maka sore hari tanggal 24 Mei lalu, bergegaslah saya menuju Studio XXI di Mal Panakukang untuk mengikuti jalannya Gala Premiere film 1 Cinta di Bira.

Film 1 Cinta di Bira mengisahkan tentang Iqbal, seorang pemuda asal Bira dalam menghadapi dilema cinta dan idealisme di Bira. Ayahnya yang baru saja meninggal, adalah seorang pengusaha pinisi yang banyak membantu berlangsungnya roda ekonomi masyarakat di sekitarnya. Sementara itu, Iqbal yang sarjana dari sebuah kampus di Australia lebih suka hidup di Jakarta. Iqbal dihadapkan pada masalah antara mempertahankan usaha pinisi atau membiarkan Om Rustam campur tangan dalam menjual perusahaan milik ayahnya.

Sementara itu, Iqbal harus memecahkan teka-teki tentang perempuan penjaga laut yang menyelamatkannya dari bencana tenggelam sebanyak dua kali. Teka-teki itu juga menyangkut, kepada gadis Bira yang mana sebenarnya hatinya bertaut.  Apakah kepada Devi – putri Om Rustam, ataukah Ola – adik Enre. Ola dan Enre, adalah kakak-beradik asal Apparalang yang punya hubungan cukup dekat dengan almarhum Daeng Gassing – ayah Iqbal.

Apparalang
Para pemain film 1 Cinta di Bira dalam konperensi pers
Walau proses shooting hanya 7 hari, film 1 Cinta di Bira ini mengeksplorasi dengan baik alam Bira yang terletak di kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Bukan hanya itu, film ini juga mengeksplorasi pemandangan laut di Apparalang. Indah sekali.

Yang tak kalah menariknya dari film ini adalah penggunaan dialek Makassar yang cukup kental. Dari seluruh pemain, hanya Fauzan Nasrul (Iqbal) yang didatangkan dari Jakarta. Saya sangat mengapresiasinya. Bahkan sesekali, Iqbal eh Fauzan mencoba menggunakan dialek Makassar. Keren tawwa!

Coba simak salah satu dialog dari amma’ (ibunda) Iqbal: “Amma’ inga’, Nak. Kau cerita sama semua orang kalau ko diselamatkan penjaga laut Bira. Itu karena tettamu suka dongengkan ko.”

Atau dialog dari Om Rustam ini: “Sudah mi paeng kalo begitu tapi cepat-cepat ko nah, tanda tangani.”

Salah satu dilema Iqbal: meneruskan usaha pinisi ayahnya atau melepasnya.
Devi, Om Rustam, dan Iqbal di rumah Om Rustam
Namun pada beberapa bagian, saya merasa geli karena beberapa pemain tidak konsisten dengan dialek Makassarnya. Di antara dialek Makassar terselip dialek Jakarta (kami mengatakan ini dialek atau logat Jakarta). Contoh kedua dialog berikut ini aneh bila dilakukan di kampung, di antara sesama orang kampung. Contohnya:
  • Itu Iqbal udah dateng. Duduk maki dulu, Nak (amma’na Iqbal)
  • Lupain aja (Ola)
  • Nggak, cobain aja (Ola)
Ada juga “ketakkonsistenan dialog” yang dilakukan oleh Devi namun saya lupa mencatatnya. Di film ini, hanya Om Rustam, Daeng Mamba, dan Daeng Gassing yang sempurna dialeknya.
Harapan saya, lain kali pemeran-pemeran film dari Makassar bisa memperkuat lokalitas dengan menggunakan dialek kita. Mengapa mesti menggunakan dialek yang bukan bagian dari kebiasaan dalam suatu kampung di Sulawesi Selatan? Film itu akan terlihat lebih sempurna, lebih indah, dan lokalitasnya lebih tampak kalau apa yang terlihat di film memang sesuai kenyataan. Kalau Iqbal (Fauzan, maksudnya) tidak berdialek Makassar, penonton maklum karena dia tidak berasal dari sini tapi kalau yang lainnya labil itu sebuah keanehan. Ayo, dong diangkat kekerenan daerah kita, bukan hanya keadaan alamnya tetapi juga dialeknya. Dialek kita tidak kalah kerennya koq dengan dialek Jakarta. Kalian bukannya merasa minder dengan dialek kita, kan?

Apparalang
Konperensi pers film 1 Cinta di Bira. Pak Awaluddin Tahir (sebagai Om Rustam, paling kiri),
Arnandha Wyanto (sutradara, kedua dari kiri)
Over all, semuanya sudah bagus. Kejanggalan bertutur hanya terdengar sesekali. Masalah pakaian gadis kampung yang minim masih bisa saya “maafkan”. Kalau mau saya, sih perempuan tak berhijab itu minimal yang boleh kelihatan betis dan rambutnya saja tapi tidak mungkin, kan. Saya kan bukan penentu, hanya penonton. Di atas semua itu, film ini layak diapresiasi. Layak ditonton oleh mereka yang ingin tahu tentang Bira dan Apparalang, oleh mereka yang rindu kampung halaman (semoga dialek dalam film ini bisa mengobati rasa rindu kalian), dan tentu saja oleh mereka yang penasaran dengan ending film ini. Catat tanggal mainnya, ya mulai tanggal 26 Mei 2016 di bioskop-bioskop di kota anda.

Makassar, 27 Mei 2016

Trailer 1 Cinta di Bira


Keterangan:

  • Judul Film: 1 Cinta di Bira
  • Genre: Drama
  • Produser: Edward Chandra
  • Sutradara: Arnandha Wyanto
  • Penulis: Hotnida Harahap
  • Produksi: MNC Pictures
  • Tayang perdana: 26 Mei 2016


Para pemain:

  • Fauzan Nasrul sebagai Iqbal
  • Cinta Rarung sebagai Ola
  • Diny Arishandy sebagai Devi
  • Awaluddin Tahir sebagai Om Rustam
  • Wiwiek Sumario sebagai ibunda Iqbal
  • Erik Suwanto sebagai Enre
  • Nawir Parenrengi sebagai Daeng Mamba
  • Hasan Kuba sebagai ayahanda Iqbal (Daeng Gassing)







Share :

10 Komentar di "Dilema dalam 1 Cinta di Bira"

  1. Lihat trailernya bagus ya mbak Niar. Pemandangan lautnya sangat indah. Semoga akan ada film-film daerah lain yang mengekspose kekayaan alam dan budayanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak Anjar, pemandangan laut dan pantainya keren sekali. Aamiin. Dan memang MNC Pictures punya misi untuk bikin film yang mengangkat lokalitas sekarang ini :)

      Delete
  2. Penasaran ku nonton...
    Sayangnya d jkt baru 2 bioskop yg putar ki. XXI blok m square n gading XXI. Jauh2 smua

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo di sini mainnya di XXI, di tempat lain juga mainnya di XXI, ya Nu? (jangan ketawa dengan pertanyaan ini, ya .. maklum saya jaraaaaaaaaaaaaang sekali injak bioskop, hehehe)

      Delete
  3. Fauzan ganteng ya mbakkkk

    Lalu gmn? Puas nggak sama pengambilan gambarnya? Ada apanya di Bira?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lihat trailernya di atas itu, Jiaah. Kelihatan pengambilan gambarnya bagaimana. Mungkin beda orang beda lagi tanggapannya. Kalau saya, tidak bisa membedakan pengambilan gambar yang bagus dan bagus sekali bedanya di mana hehehe.
      Di Bira, pantainya kereeen, Jiah. Yuk, tonton trailernya :)

      Delete
  4. Saya setuju dengan kak Niar, soal dialek kayaknya masih ada rasa geli dengarnya. Mungkin dan harusnya di utamakan bahasa daerah. kalau sepert ini sudah campur antara bahasa jakarta dan makassar rasanya aneh sekali.

    Tapi untuk jalan ceritanya sudah dapatmi, cuman bagusnya lagi ada di skenarionya adegannya bisa mengisahkan sejarah pinishi pasti tambah makin keren

    ReplyDelete
  5. Wahh, Pak Awaluddin Taher udah jadi artis :)
    jadi ingat LP3I, jadi ingat Makassar lagi. kapan yah bisa ke sana lagi?

    ReplyDelete
  6. Meski saya adalah pendatang, saat mendengar dialog filmnya langsung merasa sedikit aneh karena banyak yang mengarah ke kota-kotaan dialekya. Padahal filmnya bakal semakin menarik lagi kalau dialek asli Makassarnya ditonjolkan.

    ReplyDelete
  7. aku udh tertarik sbenenrnya sejak liat trailernya di tv.. tapi blm kesampaian aja mbak mau nonton... sepertinya memang bagus ya.. aku lumayan suka ama film2 yg nonjolin keindahan suatu kota gini, sama kyk laskar pelangi dulu.. :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^