Keunikan yang Takkan Bisa Diukur dengan Angka

Selama masih ada sistem ranking di sekolah, maka kasihanlah anak-anak yang tak mendapatkan urutan istimewa di kelasnya. Kerabat dekatnya, atau bahkan ayah dan ibunya akan menanyakan, “Kenapa kamu tidak bisa ranking?” dengan nada menyalahkan.

Untungnya, saya dan suami tidak pernah meributkan masalah ranking. Kami mengevaluasi cara anak-anak belajar saja. Kalau dapat posisi istimewa ya alhamdulillah. Kalau tidak, mari belajar dengan lebih giat lagi. Cuma kadang-kadang suka sebal juga kalau masih saja ada yang bertanya langsung ke anak-anak, “Kenapa tidak ranking satu?” *haha sekalian curhat, nih ceritanya. Kasihan, kan .. pertanyaan seperti itu bisa mengancam kepercayaan diri anak*


Soalnya, kalau kita paham semua anak kita cerdas pada keunikannya masing-masing, kita tidak mempersoalkan mereka dapat ranking atau tidak. Sekolah itu hanya satu sistem penilaian saja. Penilaian yang tidak fair sebenarnya karena hanya mengukur dan menjagokan standard kebisaan anak-anak pada bidang-bidang tertentu. Soft skill yang kelak akan lebih berpengaruh dalam kehidupan mereka tidak pernah bisa terukur.

Kadang-kadang saja saya memakai ukuran ranking untuk memotivasi Athifah. Tapi itu pun dimulai dari Athifah sendiri. Misalnya saat ia pulang sekolah dan dengan bangga menceritakan kalau ada nilai ulangan umumnya yang melampaui anak yang langganan ranking satu di kelas. Saya katakan padanya, “Nah, itu bukti kalau sebenarnya Athifah bisa ranking satu kalau belajarnya lebih giat lagi.”

Hal itu saya katakan bukan tanpa sebab. Saya tahu kemampuan anak-anak saya. Saya tahu betapa sulitnya bolak-balik menggiring mereka kembali kepada buku-buku pelajaran sekolah saat sedang belajar. Saya merasa bisa mengukur kalau mereka lebih bersungguh-sungguh lagi, hasilnya bisa seperti apa.


Berulang kali pula saya tekankan kepada anak-anak bahwa bagi saya dan papanya ranking bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah mereka belajar bersungguh-sungguh. Saya tidak akan marah kalau mereka tidak bisa ranking satu atau di peringkat yang bagus. Yang bisa membuat saya marah adalah kalau mereka tidak bersungguh-sungguh dalam belajar padahal mereka bisa. Sebab untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi, mereka harus melewati tahap demi tahap pendidikan yang kurikulumnya ditentukan pemerintah dan sekolah maka itu harus dihadapi dan dilewati. Rapor kelak hanya akan menjadi sekadar angka-angka kenangan. Namun masalahnya, angka-angka itu dipakai sebagai patokan untuk menempuh jenjang selanjutnya.

Yah, mudah-mudahan saya bisa terus mendampingi mereka dalam menyusuri masa mereka menuju masa depan dengan cara yang lebih bijak lagi.


Makassar, 30 Desember 2015


Share :

15 Komentar di "Keunikan yang Takkan Bisa Diukur dengan Angka"

  1. Iya bener ya mak, sekolah sekarang hanya berdasarkan kemampuan akademis, tanpa mempertimbangkan prestasi lainnya seperti berkelakuan baik, persahabtan, dsb dsb.
    Ya kaya semacam penilaian miss miss an itu, ada miss ini itu. Seengganya kalo ga dapet ranking akademik, kan bs dapat predikat lainnya. Eh tapi untuk memperhatikan hal tsb, diperlukan ekstra perhatian dari guru juga ya mak

    ReplyDelete
  2. Iya mbak kurikulum kita masih berkutat seputar angka. Kecuali utk kurikulum 2013 gak ada sistem ranking tp masih ada angka

    ReplyDelete
  3. Nyatanya, anak dengan prestasi besar secara akademik tidak menjadi ukuran mutlak ketika mereka terjun kedalam lingkungan sosial kelak.. Anak dengan prestasi akademik mendapatkannya bisa dengan ketekunan, artinya anak yg secara IQ standar pun bisa ranking krn dia tekun dan ulet dalam belajar.. Ketika terjun ke sosial masyarakat gak begitu menonjol..

    ReplyDelete
  4. Baik kurikulum 2013 maupun kurikulum sebelumnya terdapat penilaian sikap dan religius. Penilaian sikap itu di dlmx ada kerjasama, tanggung jawab, peduli, disiplin, sopan santun, dll.

    ReplyDelete
  5. sayapun gak akan terlalu menekankan angka untuk anak2, karena bukan itu saja salah satu ukuran utnuk melihat potensi prestasi dan arah anak mau kemananya

    ReplyDelete
  6. Setuju,itulah yg sy tulis jg di blog saya www.hattamksr.blogspot.com

    ReplyDelete
  7. Akhlak emang JAUUUUUH lebih penting ya mbaaaa

    bukanbocahbiasa(dot)com

    ReplyDelete
  8. Bukan angkanya, tapi prosesnya yang patut dihargai. :)

    ReplyDelete
  9. Karena sekolah itu akademik jadi wajar kalau yang diukur adalah nilai akademiknya. Sejatinya mendidik adalah tugas orang tua bukan guru. Walaupun kita orang tua sudah "membayar" seorang guru itu tdk menggugurkan kewajiban orang tua utk mendidik anak. Jadi selesai sekolah didiklah anak2 dg hal-hal yg tidak diajarkan disekolah :-)

    ReplyDelete
  10. Di sekolah anak saya memang sudah nggak diberlakukan sistim ranking, tapi masih ada nilai rata-rata yang harus dipenuhi. Tapi saya hanya mengarahkan anak saya untuk belajar memahami apa yang sedang dia pelajari, jadi bukan hanya membaca dan menghafal agar dia bisa mengerjakan soal saja, tapi dia harus faham maksudnya juga.

    ReplyDelete
  11. Yaps...rapor sekarang seperti hanya angka kenangan meskipun ada rasa bangga juga siih dulu pas kecil...eh dulu waktu sd pas saya dapat rangking 1(ceileh..hehe) malah dikira dapet ranhking jelek lhoo mbak sama nenek, menurutnya rangking bagus itu kalau angka ragkingnya besar kayak 10 :D

    ReplyDelete
  12. bener banget mbak, kasian anak dengan otak kanan kalo kita sebagai orang tua pengennya rangking satu terus, secara anak dengan otak kanan lebih menonjol di bidang kesenian dan kreatifitas mereka.

    ReplyDelete
  13. Saya korban dari sistem perankingan ini. Sewaktu SD, saya biasa ranking satu di kelas.

    Ketika saya mulai jadi murid SMP, sekolah saya merupakan kumpulan dari anak-anak yang ranking satu dari semua SD di kota itu, dan kebetulan saya bukan urutan ranking yang tertinggi. Itu membuat ayah saya kecewa.
    Suatu malam, ayah saya bertanya, "Nak, kenapa kamu nggak ranking satu lagi?"
    Pertanyaan itu sungguh melukai hati saya, tapi ayah saya tidak peduli. Mungkin sampai hari ini ayah saya masih kecewa karena saya bukan nomer satu.

    Padahal setelah dewasa, saya melihat setiap orang punya kesuksesannya sendiri-sendiri. Ada kesuksesan yang diraih oleh orang lain dan kebetulan tidak bisa saya peroleh. Tetapi ada hal-hal sukses yang bisa saya dapatkan dan kebetulan tidak bisa diperoleh oleh orang-orang lain seumuran saya (yang kebetulan dulu rankingnya lebih tinggi daripada saya). Saya sungguh berharap ayah saya lebih dewasa dalam menerima itu.

    ReplyDelete
  14. Dulu waktu SD di Ambon (saya pernah SD di sana, dari kelas 1 sampai 2), saya sering ranking 1 #gaya.
    Nah, pas kelas 2 cawu 1 (cieee cawu) tibatiba dipanggil kepsek dong...dibilangnya saya ngalah dulu sebentar. Yg mestinya saya ranking 1,disuruh ranking 2 dulu kali ini. Soalnya cucunya si kepsek yang biasanya meraih ranking 2 ini mau keluar kota, terus dia nangis aja dong karena gak pernah berhasil dapat ranking 1 wkwkwkw..

    Dan dongdongnya lagi saya iyakan permintaan kepsek waktu itu. Pas terima raport dilihat sama bapak dan ibu, ditanya kok tumben nilai saya gini. Terus saya ceritain sama mereka heheheh..

    ReplyDelete
  15. makasih bos infonya dan salam sukses

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^