Berantas Bibit Korupsi, Mulai dari Diri Sendiri

Sesungguhnya banyak perbuatan korup yang terjadi di masyarakat. Seperti kebiasaan mark up proposal dan kerja sama tak wajar antara pemenang tender dan penguasa adalah hal yang lazim terjadi. Bahkan dalam skala kecil-kecilan, perbuatan korup terjadi di mana-mana.

Antara Korup dan Korupsi

Saya masih ingat ketika masih kuliah dulu. Waktu itu saya beruntung karena bisa mendapatkan beasiswa yang merupakan hak saya dengan utuh. Pegawai administrasi yang harus saya hubungi untuk urusan itu jujur, tak memotong sepeser pun uang beasiswa saya. Berbeda dengan teman-teman yang lain. Mereka harus rela kehilangan sekian persen dari hak mereka untuk diberikan kepada pegawai yang “membantu” meloloskan berkas mereka.

Begitu pun ketika harus mengurus berkas kelulusan di kantor pusat kampus. Ada sejumlah kawan yang bernasib sial. Mereka sulit memperoleh berkas kesarjanaan secepatnya. Bila ingin cepat harus memberikan sejumlah uang kepada pegawai-pegawai administrasi yang dihadapi. Pungutan liar. Perbuatan korup.
Sumber gambar: www.shutterstok.com
Suatu ketika suami saya bertemu dengan seorang ibu, pensiunan pegawai administrasi di kampus. Dengan jujur ibu itu membeberkan perbuatan korup yang dilakukannya ketika masih bekerja. Apalagi kalau bukan meminta jatah dari setiap mahasiswa yang membutuhkan bantuannya. “Tidak bisa hidup kalau tidak begitu, Nak,” ujarnya membenarkan tindakan korupnya di masa lalu tanpa rasa malu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “korup” (kata keterangan) artinya lebih luas, yaitu: (1) buruk, rusak, busuk; (2) suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan “korupsi” (kata benda) berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Kata “korupsi” berasal dari Bahasa Latin corruptio, sudah dipakai oleh filsuf kuno Aristoteles (384 SM – 322 SM) dalam sebuah judul bukunya: De Generatione et Corruptione. Aristoteles memakai kata ini dalam memaknai perubahan yang memiliki “warna” penurunan.

Kini, kaitan antara korupsi dan (penyalahgunaan) kekuasaan (untuk kepentingan privat)lah yang menjadi inti dari definisi korupsi yang dipahami di Indonesia maupun internasional (seperti IMF dan Transparancy International). Di sini ada “muatan” moral karena korupsi terjadi secara disengaja. Tak mungkin para tahanan KPK itu terjerat hukum karena melakukan hal yang tidak disengaja.

Pembenaran dan Pembiaran

Ternyata, apa yang dilakukan para pegawai administrasi seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini, termasuk yang dilakukan oleh ibu pensiunan pegawai administrasi itu juga merupakan tindak korupsi karena mereka menyalahgunakan posisi mereka (baca: “kekuasaan”) untuk memperkaya diri sendiri. Menyedihkannya, masih banyak orang menyangka tindakan korupsi hanyalah tindakan penggelapan yang dilakukan oleh mereka yang memegang jabatan/wewenang tinggi/tertinggi dalam sebuah lingkup instansi/perusahaan.

Secara rinci, J. E. Sahetapy – dari Komisi Hukum Nasional (KHN) merumuskan korupsi kecil-kecilan, berada di antara tindakan-tindakan lain yang bisa digolongkan korupsi:
  • Menyuap pegawai negeri adalah korupsi.
  • Menyuap pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi.
  • Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi.
  • Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah korupsi.
Siapa pun bisa saja melakukan korupsi, walau dia tidak memegang jabatan tinggi sekali pun, entah itu pegawai kelurahan atau pegawai swasta kecil sekali pun. Pelakunya punya dalih pembenaran sendiri. Sementara lingkungan membiarkannya.

Padahal, menurut hukum di Indonesia penjelasan gamblang tentang korupsi ada dalam 13 pasal Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 21 Tahun 2001. Menurut UU itu, ada 30 tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi yang secara ringkasnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  • Tindakan yang menyebabkan kerugian (pada keuntungan) negara.
  • Suap-menyuap (sogokan atau pelicin).
  • Penggelapan dalam jabatan.
  • Pemerasan.
  • Perbuatan curang.
  • Benturan kepentingan dalam pengadaan.
  • Gratifikasi (pemberian hadiah).
Cakupan yang “cukup” luas sebenarnya tetapi seperti ada pembiaran di sekitar kita. Sekarang, muncul pertanyaa, kenapa banyak tindakan korupsi dibiarkan? Hm, bisa jadi karena beberapa hal ini:
  1. Posisi terjepit/terpojok dari orang yang “terpaksa” memberikan suap (contohnya mahasiswa kepada pegawai administrasi kampus).
  2. Standar moral merosot atau tidak konsisten atau terlalu permisif dalam menilai sesuatu padahal standar moral seseorang haruslah selalu sama, tidak berubah-ubah.
  3. Ada pemahaman pada sebagian orang mengenai profesi yang “basah” dan “kering”. Padahal profesi basah yang dimaksud itu banyak menerima aliran uang yang tidak jelas, yang bukan merupakan bagian dari job description pekerjaannya.
  4. Ada “prinsip tahu sama tahu” di antara orang-orang “dalam”. Karena ada bagi-bagi “keuntungan” jadi banyak yang bisa dibungkam.
  5. Masih banyak yang lepas dari sanksi hukum sehingga yang lain merasa aman saja melakukannya, toh para pendahulu didiamkan saja – begitu persangkaan mereka.
  6. Korupsi bisa “berwajah banyak atau anonim” sebab yang dirugikan tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait penyelewengan uang negara atau uang rakyat. Siapa yang dirugikan tidak langsung terlihat (berbeda dengan kasus penjambretan atau perampokan misalnya).
  7. Pengungkapan kasus bisa berbalik menjadi “senjata makan tuan”. Daripada kehidupan menjadi lebih sulit karena proses hukum berikutnya belum tentu berpihak kepada yang melapor maka lebih baik bungkam.

Kita Bisa Apa?

Tren kasus korupsi meningkat di tahun ini. Walaupun demikian, saya tak setuju dengan pendapat di sebuah media yang mengatakan bahwa kondisi tersebut menunjukkan kurang efektifnya pemberantasan korupsi, yang menyebabkan koruptor tak pernah jera dan selalu memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.

Statistik pelaku korupsi per 31 Oktober 2014
Sumber: www.acch.kpk.go.id
Menurut saya, ini malah berita gembira. Baru semester pertama terlalui dalam tahun 2014 (ketika data itu diperoleh), sudah ada 308 kasus korupsi yang disidik kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Angka menaik atau menurun bukanlah indikasi semua kasus sudah terbongkar atau belum. Menaiknya angka kasus korupsi justru berarti upaya yang terlihat sudah lebih signifikan. Mengapa berkomentar negatif hanya karena angka itu naik?

Well, untuk urusan hukum, kita bisa apa selain menunggu kabar di media, kan? Yang bisa kita lakukan adalah, introspeksi diri. Jangan-jangan diri kita pun punya potensi melakukan korupsi!

J.E. Sahetapy mengatakan: kejahatan korupsi ada di mana-mana. Anda selalu harus waspada! Mulailah waspada terhadap diri anda sendiri terlebih dahulu. Keinginan untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah tetapi terlarang. Bila sebagai mahasiswa anda senang melakukan “NYONTEK”, itu permulaan kejahatan! Nah lho!

Saya sepakat dengan beliau. Mulai meneliti diri sendiri dulu dalam hal-hal kecil, semisal:
  • Jangan biasakan diri berbohong, misalnya membohongi anak dengan mengatakan “Mama mau ke dokter, mau disuntik, tidak boleh ikut!” padahal mau pergi shopping bareng kawan-kawan lama. Lama-lama anak pun akan meniru berbohong.
  • Jangan biasakan meminta “upah” atas setiap pekerjaan administrasi yang dilakukan dalam pelayanan publik.
  • Jangan biasakan berbuat curang dengan mengurangi timbangan dalam berdagang.
  • Jangan meminta hadiah bila dimintai pertolongan oleh orang yang kondisinya sedang terjepit.
  • Jangan biasakan anak di bawah umur berkendara di jalan raya tanpa SIM apalagi jika menggunakan SIM “tembak”.
  • Biasakan mencantumkan sumber tulisan, referensi, tulisan atau gambar yang diunggah ke internet.
Bila kita semua sadar diri dan tidak mengabaikan pesan-pesan moral di sekeliling kita, saya kira mimpi indah Indonesia bebas korupsi secara perlahan tapi pasti bisa diraih. Selain memperbaiki diri sendiri, mengontrol perilaku keluarga kecil kita juga harus dilakukan. Oya … satu lagi, hendaknya kita berusaha untuk tidak berkomentar negatif atas jerih-payah penegakan hukum di negeri ini. Satu-dua kebobrokan pada oknum penegakan hukum toh tidak berarti semua penegakan hukum di negara kita melemah? Mari bersikap positif!

Makassar, 1 Desember 2014


Tulisan ini diikutkan Lomba Menulis Blog “MEWUJUDKAN MIMPI INDONESIA BEBAS KORUPSI” (Informasi bisa dilihat di akun Facebook GNPK Pusat)


Daftar Pustaka:
  • AI. Andang L. Binawan, 2006, Korupsi (dalam Cakrawala) Kemanusiaan, AI. Andang L. Binawan, Korupsi Kemanusiaan: Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat, Kompas Jakarta.
  • D. S. Octariano Widiantoro, 2006, Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permisif: Topeng Relativisme Moral Praktis, AI. Andang L. Binawan, Korupsi Kemanusiaan: Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat, Kompas Jakarta.
  • Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Edisi ketiga, Balai Pustaka Jakarta.
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles, diakses pada 30 November 2014 pukul 13.00
  • J.E. Sahetapy, Catatan Ketua KHN, http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=240:korupsi-di-indonesia&catid=161:catatan-ketua-khn&Itemid=621, diakses pada 1 Desember 2014 pukul 0.10.
  • Laksono Hari Wiwoho  (editor), Tren Korupsi Naik Lagi, http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/10085091/Tren.Korupsi.Naik.Lagi, diakses pada 1 Desember 2014 pukul 0.10.



Share :

21 Komentar di "Berantas Bibit Korupsi, Mulai dari Diri Sendiri"

  1. Korupsi sungguh jahat dan merusak semua sendi. setujua mak mulai dari hal kecil

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah2an dengan komitmen pribadi bisa mewujudkan Indonesia bebas korupsi ya Mak

      Delete
  2. Korupsi sudah ada sejak zaman nabi, dan sangat ditentang adanya... namun inilah kehidupan tetap saja hal yang buruk dapat turun temurun hingga kini...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena setan belum menyatakan insyaf, Mas :(

      Delete
  3. ini juga termasuk ya mak,kita belanja dikasih kembalian permen,padahal stok uang receh 500-100 ada lo dilaci,haddeuh....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu menyebalkan sekali Mak. Mau diminta rasanya gimana gitu, ndak enak karena cuma recehan ....

      Delete
  4. kalau sudah ada NIAT untuk berbuat korupsi, pasti ada aja cara atau jalan untuk mewujudkan "cita cita" nya. Semua berawal dari niat. Namun pegangan agama juga tidak kalah pentingnya. Dengan bekal agama yang baik Insya Allah kita akan terhindar dari NIATAN untuk korupsi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Pak Asep. Kalo imannya kuat, tidak akan goyah

      Delete
  5. Korupsi itu perbuatan amoral dan asosial karena pelakunya termasuk orang2 kaya dan pejabat.
    Semoga berjaya dalam lomba
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pegawai kecil pun ada Pakdhe, seperti yang saya tuliskan di atas. Pegawai2 tempat layanan publik yang suka minta jatah :(

      Terima kasih Pakdhe.
      Salam hangat dari Makassar

      Delete
  6. Semoga kita dan keluarga kita dilindungi dari sikap korup ini ya mak

    ReplyDelete
  7. korupsi...memang dimulai dari hal terkecil ya Mbak... cara menghapusnya juga yaa dari diri sendiri

    ReplyDelete
  8. skarang lagi heboh cicak vs buaaya jilid dua

    salam

    kejakeja.com

    ReplyDelete
  9. ngeri ya mak kalau udah bicara korupsi.. tapi memang harus diajarkan sejak dini

    ReplyDelete
  10. Bagi para pemimpin sekarang, kayaknya harus korupsi itu harga mati, makanya mereka banyak yg korupsi,,

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^