Memandang Hal yang Sama, Harus Ada yang Dipersamakan

"Membaca koran jangan asal baca, baca apa yang ada di baliknya," itu pesan Pak Subari Waluyo - guru Fisika saya sewaktu SMP.

Waktu pencapresan kemarin sampai sekarang pun berseliweran segala bentuk pendapat. Saya mengamati saja, beberapa. Saya punya pilihan sendiri tapi saya memilih untuk tidak ikut-ikut nyetatus.

Beda dengan suami saya. Dia punya cara sendiri dalam berpendapat. Saat seorang sahabat mengatakan, "Waah pilihannya (maksudnya: suami saya) kalah, Kak Niar!" Saya mengatakan, pilihan saya dengan suami sama. Kami pendukung capres yang sama.


Sumber gambar: blog.capitalogix.com
Saya memilih bukan karena suami tapi karena apa yang kami diskusikan bisa saya terima dengan otak dan hati saya. Saya ini tipe istri yang keras kepala sebenarnya. Kalau saya punya dasar  yang kuat, saya berani menentang dan berdebat. Tapi untuk hal-hal baik, saya punya prinsip sendiri dan menyenangkan sekali kalau itu sejalan dengan pendapat suami.

Dalam beberapa hal sih saya tanya pendapatnya dan memegang pendapat tersebut kalau tidak mendatangkan mudharat. Jadi waktu sahabat kami mendengar reaksi saya, dia bercanda, "Seharusnya beda Kak, mestinya kita' pilih yang satunya." Saya lalu mengatakan, "Lho, ikut pendapat suami selama itu tidak membawa mudharat kan tidak apa-apa?"

Lho tadi katanya punya prinsip sendiri … hehehe ... iya benar, dan prinsip sendiri ini persis sama dengan suami saya. Dan kami mendiskusikannya panjang kali lebar kali tinggi, sejauh dan sedalam mungkin. Sefilosofis mungkin. Dan untuk hal yang "sefilosofis" mungkin itulah akhirnya saya mengiyakan dalam hati kalau saya harus mengikuti pilihannya karena dialah imam saya. Masalah memilih presiden bukan masalah remeh-temeh. Kelak akan ada pertanggungjawabannya jadi pertimbangannya pun tidak boleh remeh-temeh.

Nah, cara si Bapak berpendapat di media sosial berbeda dengan saya. Kalau saya, saya paham sekali maksudnya. Tapi banyak orang yang tak bisa mencernanya sesuai dengan apa yang dia maksud. Sesekali si Bapak mengatakan kepada saya bahwa ada yang mengiranya sedang menghujat padahal tak demikian. Saya tersenyum dan mengatakan bahwa tak banyak orang yang paham caranya bertutur.

Konteks, persepsi, perspektif kadang kala menjadi hal yang rumit dalam memahami sesuatu.

Dalam hubungan suami-istri ketiga hal ini tidak boleh dibikin rumit. Butuh kesadaran dan kesediaan kedua belah pihak dalam mengkalibrasinya supaya bisa berada pada "satuan" yang sama. Supaya memiliki variabel-variabel yang sama.

Kalau dalam hubungan suami-istri, butuh kepedulian besar dalam mengusahakannya. Maka dalam hubungannya dengan orang lain, kita bisa saja mengatakan, "WHO CARES?"

Makassar, 8 November 2014

Yuk ah ikutan GA saya dan Vina Sjarif, DL 2 Desember. Yang tidak punya blog boleh ikutan koq, caranya dengan membuat tulisan di note facebook. Silakan baca syarat dan ketentuannya di link ini ya:




Share :

7 Komentar di "Memandang Hal yang Sama, Harus Ada yang Dipersamakan"

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^