Ama Baru Tahu Kalau Hidup Itu Keras, Kak

Seorang kawan, sebut saja namanya Ama mengirim SMS ini kepada saya dua hari yang lalu, “Maaf ganggu, Kakak. Maaf sekali ganggu. Ama berharap ini salah satu bentuk usaha Ama. Ikhtiar Ama. Ama maun minta tolong, adakah tempat kerja yang buka lowongan yang Kakak tahu? Ama sudah berusaha tapi belum kerja juga.”

Satu menit kemudian masuk SMS lagi darinya, “Ama mau minta bantuan Kakak, mungkin ada lowongan kerja yang Kakak tahu dan Saya bisa masukkan? Sudah lama Ama berusaha tapi tidak dapat kerja.”

Ama adalah Sarja Kesehatan Masyarakat, jurusan Epidemiologi dari sebuah universitas swasta di Makassar. Sudah sekitar 3 tahun ini ia mengadu nasib. Menurutnya ia sudah melamar ke mana-mana, juga sudah mencari lowongan di internet tapi hasilnya nihil. Ia berpikir mungkin butuh kenalan untuk dapat bekerja di sebuah instansi/perusahaan.


Sumber gambar: http://www.e-goblog.net/
Apa yang bisa saya lakukan selain hanya menghiburnya? Selain hanya mengucap kalimat, “Sabar. Kalau Saya dapat info lowongan pekerjaan, nanti Saya kabari.” Hanya itu yang bisa saya lakukan sembari membaca SMS-SMS curhat berikut darinya.

Ama juga bercerita tentang naskah novel yang ia masukkan ke sebuah agensi naskah. Sudah setahun yang lalu tapi tidak ada kabar. Ia sudah berusaha menanyakan tapi tidak ada balasan dari pihak agensi naskah.

“Berarti tidak lolos. Sabar ya, coba di penerbit lain,” hanya itu yang bisa saya katakan. Hampir semua penerima naskah baik itu agensi naskah, penerbit, maupun media ya seperti itu. Kalau lama tak ada kabar berarti tidak lolos naskah yang kita masukkan. Yang memasukkan naskah memang tak boleh mengerahkan energi terlalu besar dalam pengharapannya menunggu review terhadap naskahnya karena membalas satu per satu e-mail pengirim naskah sepertinya masih menjadi kesulitan besar para penerima naskah itu.

“Sudah coba di penerbit lain tapi tidak berhasil. Jelek mungkin karyaku, Kak,” sahut Ama dalam SMS berikutnya.

“Tidak sesuai dengan selera penerbit belum berarti jelek. Penerbit punya ‘tema sendiri’ tiap periode/tahun. Naskah non fiksiku juga sudah di penerbit kedua tapi belum dibalas,” saya menanggapinya berdasarkan pengetahuan saya.

“Begitu ya, Kak?”

“Memang harus sabar. Saya kirim tulisan ke satu rubrik majalah. Ditolak terus tapi kalo ada ide, Saya kirim lagi. Belum tembus juga tapi Saya tetap kirim. Saranku, banyak bergaul dengan penulis dan penerbit di Facebook. Banyak ikut lomba juga.”

Ama mengatakan ia sedang ikut lomba yang diadakan sebuah penerbit, sedang menunggu pengumuman. Ia juga menceritakan keadaannya. Ia sekarang berada di kampung sehingga jarang online karena keterbatasan dana dan fasilitas berhubung ia belum bekerja.

Duh, saya bisa bilang apa lagi selain, “Semangat ya, tetap ikhtiar. Tetap optimis yaa!”

“Entahlah, Kak … sudah hampir putus asa. Pengumuman lomba itu kapan?”

Glek. Ini bukan sekadar curhat. Ama membutuhkan seseorang yang bisa membantunya untuk bangkit dari keterpurukan. Sementara saya tak yakin sanggup menjadi tempatnya berpegang. Dialah kunci dari penyelesaian masalahnya. Sekeras apapun saya mencoba membantunya bangkit, tak akan bisa jika dia tetap merasa nelangsa dan menghiba diri.

“Jangan putus asa. Hidup memang keras tapi Allah Mahamengetahui, Mahapenyayang. Kalau pengumuman lomba yang itu barangkali sebulan kemudian baru ada pengumumannya. Bisa juga molor.”

Ama baru tahu hidup itu keras.”

“Iya, Ama. Keras. Karena hidup itu ujian untuk orang-orang beriman. Insya Allah Dia menolong siapa yang benar-benar berjuang. Tetap optimis, banyak membaca. Kaji Qur’an supaya Ama tidak mudah putus asa. Kalo putus asa, Ama makin jauh dari pertolongan-Nya.”

Lalu Ama menceritakan, minggu lalu ia sudah mau masuk kerja. Sudah diterima, sudah belanja baju tapi entah kenapa tiba-tiba saja tidak jadi.

“Ambil hikmahnya saja. Mungkin tempat itu tidak berkah buat Ama. Makanya Allah menjauhkan Ama dari sana,” dengan perasaan miris, saya menghiburnya lagi.

Penuturan Ama berikutnya membuat saya tertegun dan menaruh simpati lebih kepadanya. Penuturan itu membuat saya berniat menuangkan percakapan kami ke dalam tulisan ini, mudah-mudahan bisa menjadi salah satu pembuka jalan rezekinya.

“Di tempat kerja dulu juga banyak uang haramnya, Kak. Bahkan Saya berdo’a buat keluar karena kalau mengundurkan diri takutnya malah jadi karma, jadi  sulit dapat kerja. Benar-benar kehidupan sekarang .. orang kejar dunia, Kak.”

Dengan mata berkaca-kaca saya membalas SMS-nya: “Iya Ama. Ama masih dijaga Allah, alhamdulillah. Insya Allah ada rezeki cuma memang tidak mudah. Lebih baik cari yang berkah supaya hidup tenang dunia-akhirat. Tetap optimis ya.”

“Iya Kak. Do’akan Ama. Tidak apa-apa kerja di mana saja meski tak sesuai jurusan.”

Percakapan kami masih berlanjut hingga hari ini. Saya berharap apa yang saya sampaikan bisa membantunya bangkit lagi. Saya bukan penasihat, sejatinya saya juga sedang menasihati diri sendiri. Tapi saya mengatakan semua itu bukan tanpa sebab.

Saya tahu hidup itu keras karena saya pernah merasakan sendiri kerasnya hidup. Saya tahu makna “hampir putus asa” dan saya tahu maknanya “bangkit”. Selain menasihati diri sendiri, saya juga sedang berbagi pengalaman dengannya. Semoga bermanfaat buat Ama dan utamanya buat diri saya sendiri.

Makassar, 8 April 2014


Untuk Ama di Jeneponto. Semoga Allah segera mengijabah do’amu karena keta’atanmu menjaga diri dari yang haram. Mudah-mudahan do’amu diaminkan pembaca tulisan ini sehingga gaungnya makin keras sampai kepada-Nya. 


Share :

8 Komentar di "Ama Baru Tahu Kalau Hidup Itu Keras, Kak"

  1. Ama... Benar apa yang dikatakan Kak Niar, hidup itu memang keras, tapi sekeras-kerasnya hidup, jika kita terus berusaha dan diiringi do'a, insyaallah Dia akan menunjukkan jalan dan membuka rezeki terbaik-Nya untuk kamu..

    Salam...

    ReplyDelete
  2. Bunda, saya juga baru tahu kalau hidup ini sangat keras..
    Saya yang saat ini sedang menyusun skripsi juga sudah bingung mau jadi apa nantinya. Saat ini saya sedang bingung bunda, ada tawaran sebagai admin di suatu SD yang pastinya gajinya tak seberapa. Minta saran sana-sini malah justru bingung.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tetap berjuang dan mencari yang terbaik ya ...
      Sudah shalat istikharah?

      Delete
  3. Aamiin. Semoga Ama selalu diberi kekuatan dalam menjalani serangkaian proses yang Allah titipkan.

    ReplyDelete
  4. Mak Jleb dengan saran yg diberikan mbak,,,setiap orang belum tentu memberikan saran terbaik tp dia berusaha untuk bisa tetap menghibur,,,tapi yg ini jleb banget,,,,Ama,,,teruslah berusaha,,,seperti aku saat ini,,,

    ReplyDelete
  5. Semoga Ama sekatang sudah dapat kerjaan yg barakah dunia akhirat

    ReplyDelete
  6. Kak, coba jalan2 k KIMA, disitu biasa banyak yg terima cmn mmg begitumie, jd out sourching, tp kalo kita dilihat punya kemampuan nnt diangkat jd staf ato yg sesuai ijazahnya. Sepupuku rata2 kerja dst kok, z jg dl kerja begituanjie. Adeku jg kerja ndak sesuai ijazahnya, masukkan lamaran akhirnya keterima d t4 sejenis FIF gitu, skrg Alhamdulillah. Intinya asal sabar dan sebar lamaran dimana2, kek kami ini, hehehe. Tapi, kalo punya keahlian masak, bikin kue, menjahit mngkn bs lewat jalur i2 kk.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^