Buku Cetak yang Ditukar

Hari Sabtu lalu, buku cetak bahasa Inggris tak ikut pulang bersama Athifah. Di dalam tasnya ada buku cetak bahasa Inggris tapi bukan miliknya. Buku cetak itu sudah tua, tertera nama seorang anak laki-laki di situ. Milik Athifah masih baru, masih kinclong. Baru dibeli awal bulan Agustus.

Yang anehnya label nama Athifah tertempel sempurna di buku usang itu. Ini berarti bukunya sengaja ditukar. Label nama itu tadinya tertempel di buku baru milik Athifah. Satu tanda tanya besar muncul di benak saya. Hanya dua kemungkinan yang melakukan ini: anak kelas satu sekolah dasar juga, kawan sekelas Athifah, atau orangtuanya.

Sampai saat ini masih ada saja orangtua yang ikut sekolah di dalam kelas bersama anaknya. Malah ada yang jadi guru, menggantikan wali kelasnya. Secara ilegal (baca: tidak resmi) tentu. Karena sebal gurunya keluar kelas, membiarkan si orangtua murid mengajari anaknya dan anak-anak lain di dalam kelas.


Suami saya mengadukan perihal buku cetak itu kepada wali kelas Athifah. Ibu wali kelas mengatakan akan menanyakan kepada anak yang namanya tertera di buku itu. Anak itu kini duduk di kelas dua. Melaluinya, bisa diketahui siapa peminjam buku cetak bahasa Inggris tersebut dan memintanya mengembalikan buku.

Seorang orangtua murid yang mendengar hal ini berseloroh ringan sambil tersenyum, “Kreatif ya anak itu?”
Apa, kreatif ???

Ini bukan bentuk kreatvitas. Menukar barang tua miliknya dengan barang baru milik orang lain, sama sekali tidak bisa dikatakan kreatif. Kalau anaknya yang melakukannya, apa ia akan merasa bangga? Kalau anaknya yang menjadi “korban”, tentu lain reaksinya!

Tunggu punya tunggu, buku cetak Athifah tak kembali. Saya mulai melupakannya hingga tadi malam, saya tiba-tiba saja kepikiran untuk mengecek buku-buku cetak Platinum milik Athifah. Jumlahnya hanya sebelas. Saya hitung ulang. Iya betul, hanya sebelas. Harusnya ada dua belas. Saya ingat-ingat buku apa di antara buku-buku tematik ini yang tak ada? Ah …. Buku Bahasa Inggris!

“Athifah, mana buku cetak bahasa Inggrismu?” tanya saya.
“Dikasih sama Asir,” jawab Athifah.
Asir – nama disamarkan, adalah anak kelas dua yang namanya tertera di buku itu.

“Siapa yang kasih?”
“Ibu guru.”
Lho, Papa tahu kalau bukunya dikasih ke Asir?”
“Iya.”

Saya heran, kenapa suami saya mau saja buku itu diberikan kepada Asir sementara Athifah tidak memegang buku cetak. Kan bisa bukunya ditahan dulu sampai buku yang asli kembali? Kalau ternyata buku itu tidak bisa kembali, bagaimana? Harus beli lagi? Ck ck ck.

Ribet juga urusan buku cetak ini. Sekolah Arhifah memakai buku cetak termahal yang saya tahu. Bila satu eksemplar harga buku cetak jenis lain (entah itu BSE atau KTSP) harganya berkisar di belasan ribu hingga dua puluh ribu rupiah, buku cetak Platinum ini harganya Rp. 40.000 – an tiap eksemplar. Sementara untuk satu tahun ajaran, setiap anak kelas satu harus memiliki 12 macam buku.

Anehnya, keponakan saya yang bersekolah di sebuah SD swasta diharuskan mengikuti pemerintah, dengan memakai buku BSE yang harganya hanya belasan ribu rupiah per eksemplarnya. Padahal kemampuan ekonomi orangtua murid di SD itu boleh dibilang semuanya di atas rata-rata, mereka bisa membeli buku cetak “sekelas” Platinum ini. Sementara SD Athifah yang sekolah negeri, mengharuskan memakai buku cetak yang paling mahal.

Memang harganya mahal, sesuai dengan kualitasnya. Anak-anak pasti senang mempelajarinya karena full of colour. Mutu kertasnya pun bagus. Saya pada dasarnya bisa menerimanya. Cuma mau cerita saja, kalau sekarang saya lagi geregetan karena buku Athifah belum kembali. Wali kelasnya belum benar-benar mengusahakan pengembalian buku itu seperti yang dijanjikannya. Anak-anak kelas satu SD kan belum bisa mengurus perlengkapannya dengan baik. Perlengkapan tulis Athifah sudah berkali-kali hilang. Buku tulisnya sudah ada yang hilang, untungnya kembali lagi.

Dua kali seminggu, anak kelas 1 A dan 1 B digabung. Total jenderal jumlah mereka ada 80 anak. Belum ditambah beberapa orangtua murid yang masih keukeuh menemani anak-anaknya di dalam kelas. Terbayang oleh saya betapa krusialnya keadaan itu.

Penggabung kelas, tak masalah bagi saya toh cuma dua kali dalam seminggu. Yang bermasalah kalau penggabungan seperti ini terjadi hingga kelas enam. Guru kelas 1 A dan 1 B sama. Ia dibantu satu orang asisten. Menurut saya, tinglat kesulitan tertinggi dalam hal mengajar di sekolah dasar, adalah mengajar anak kelas satu. Sepengamatan saya pula, cara mengajar guru/wali kelasnya bisa dibilang cukup bagus. Tapi sekali lagi, situasi yang crowded begitu sangat memungkinkan barang-barang anak-anak tercecer.

Saat suami saya pulang, saya tanyakan, “Papa tahukah kalau buku cetak bahasa Inggris itu dikasih kembali ke Asir?”
“Tidak,” jawab suami saya.
“Itu lho, wali kelasnya memberikan buku itu kepada Asir. Mestinya kan ditanya saja, sama siapa dia pinjamkan buku cetaknya lalu minta anak itu mengembalikan milik Athifah. Besok ada pelajaran bahasa Inggris. Kalau besok ulangan, bagaimana?”
“Iya, nanti Saya menghadap wali kelasnya.”

Saya tak mengerti bagaimana jalan pikiran sang wali kelas dalam penyelesaian masalah ini. Tapi setelah ditanyakan kembalikan oleh suami saya, ia berjanji untuk mengurus pengembalian buku cetak itu. Masih ada 10 bulan lagi masa pelajaran Athifah di kelas satu. Saya senantiasa mengingatkannya untuk mengecek segala perlengkapan sekolah sebelum pulang. Tapi tetap saja ada kemungkinan hal seperti ini terjadi lagi.

Makassar, 6 September 2013





Share :

10 Komentar di "Buku Cetak yang Ditukar"

  1. ada2 aja,ngapin main tukr menukar...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya padahal sebenarnya kondisi bukunya masih layak buat dipakai belajar mbak

      Delete
  2. Hmmm ...
    Orang tua masuk ke dalam kelas ?

    Kalau disekolah anak-anak kami ... orang tua malah tidak diperbolehkan masuk lingkungan sekolah ... kalau mau masuk ke lingkungan sekolah misal mau bayar sekolah atau mau ke tata usaha ... musti izin satpam dulu ...

    Khusus untuk anak kelas 1 ... orang tua boleh ke dalam ... tapi hanya seminggu pertama ...

    Mengenai kreatif ?
    Memang ... banyak orang menyalah gunakan istilah kreatif ini untuk sesuatu yang tidak pada tempatnya ... masak menukar barang yang bukan miliknya itu kreatif ? ... itu semi kriminal ... hahha

    Tapi sudahlah ... mudah-mudahan ini yang terakhir ...
    dan semoga Walikelas diberi kedewasaan dan kebijakan dalam memimpin kelas ...

    memang tidak mudah ... tetapi tidak mustahil untuk dipelajari

    Salam saya BU
    (waduh maap panjang banget bu komennya ...)(hehehe)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah2an wali kelasnya bisa menyelesaikannya dengan bijak. Masa kami harus beli lagi ... aih.

      MAkasih komennya om Nh, saya suka membacanya :)

      Delete
  3. dimana-mana masalah ya mbak/mas?? ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ... tapi eh tapi ... saya bukan mas-mas :|

      Delete
  4. Jadi inget waktu jaman saya baru lulus sekolah dan nganter adek pertama kali sekolah mbak. Ibu-ibunya pd ikut masuk kelas, cuma saya sendiri yg nggak. Saya cuma ngeliatin aja dari luar, tp lama-lama kasian jg karena cuma adek saya yang nggak di temenin. Dan ujung-ujungnya, saya jg jd ikutan hehehe... Saya jadi terdiam ngeliatin sepak terjangnya beberapa ibu-ibu, jidat saya ampe mengkerut menanti jawaban, "yang sekolah anaknya atau ibunya?" :D

    ReplyDelete
  5. Waaah aku ngebayanginnya kok crowded banget ya? Anakku sekolah di negeri juga, tapi kok nggak begitu kali. Teman yg nakal pasti ada tp gak sampai ke urusan barang, krn kalau sdh menyangkut barang atau hak milik, pasti ortu turun tangan, gak terima. Ortu jg gak bisa ikut sekolah, pintu ditutup, sekalipun anaknya nangis2.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^