KM Ngapulu |
Sudah lama tak menjejakkan kaki ke pelabuhan laut.
Tanggal 11 Mei lalu saya dan suami mengantar ibu mertua ke pelabuhan laut
Soekarno-Hatta. Dengan kapal Ngapulu, ibu mertua hendak ke Manokwari
menemani putrinya. Beliau merasa iba karena tak ada yang menjaga kedua cucunya
bila ditinggal mengajar oleh ibunya.
Sempat ada dua ART tapi mereka tak bekerja dengan baik. Ada yang suka
memukul dan tidak membelikan makanan kepada kedua bocah laki-laki nan lasak
itu, yang satunya lagi dengan tega meninggalkan anak-anak balita itu terkunci
di dalam rumah, sendirian. Maka beliau memutuskan untuk sesegera mungkin
meninggalkan kediamannya di kota Pare-Pare menuju Manokwari walau harus seorang
diri menempuh jalan laut.
Ngapulu, melayari pelayaran di Indonesia timur |
Suami yang mengendarai Mega Pro lebih dulu tiba di pelabuhan. Setelah
membayar bea masuk di loket sebesar lima belas ribu rupiah, taksi yang membawa
ibu mertua dan saya menurunkan kami 200 meter dari pintu masuk. Saya tidak
hafal daerah itu sehingga saya mau saja diturunkan di situ.
Setelah mendapat telepon dari saya, suami bergegas mendekati kami. Beberapa
buruh angkut berseragam coklat berlari kecil mendekati. Mau tak mau, penumpang
kapal harus memakai jasa mereka untuk mengangkut barang-barang karena pengantar
tak boleh ikut naik ke atas kapal. Para pengantar hanya boleh melihat orang
yang mereka antar dari pelataran. Paling jauh, pengantar hanya boleh masuk ke
ruang tunggu, itu pun setelah membayar bea masuk pada petugas di loket jaga.
Seorang buruh bertubuh besar membuka negosiasi dengan kami. “Dua ratus lima
puluh ribu,” ia membuka harga untuk 3 potong barang bawaan ibu mertua. Kami
saling tatap. Harga itu masih terlalu mahal. “Ada tong mandor mau dikasih juga. Bisa kita bicara. Kalau cocok ayo.
Kalau tidak, bicara maki’,” ujarnya
ramah. Buruh yang melapisi seragam coklatnya dengan kemeja ini masih mencoba
bernegosiasi dengan ramah. Ia menggunakan bahasa Bugis dengan ibu mertua. Tahu
saja dia kalau ibu mertua orang Bugis.
Nomor punggung 110, buruh berbadan gempal yang baik hati |
Akhirnya harga angkut barang disepakati sebesar Rp. 150.000. Ada tiga orang buruh yang mengangkut barang.
Masing-masing memanggul satu potong. Dua orang buruh berjalan cepat, menuju
kapal untuk mengambilkan ibu mertua tempat di kelas
ekonomi. Yup, kelas ekonomi. Ibu
mertua selalu memilih naik kelas ekonomi, tak mau kelas 1, 2, 3, atau 4.
“Banyak teman,” kata beliau.
“Banyak orang yang harus dibagi oleh buruh dari upah mengangkat barang. Ada
mandor dan lain-lain. Tidak seberapa itu yang diterima buruh sebenarnya. Sudah
cocok itu harganya. Begitu mi memang,”
bisik suami saya.
Ada puluhan (atau ratusan ya? Saya belum ngecek, ada yang tahu?) dipan di ruang
ekonomi. Kadang-kadang penumpang kelas “khusus” ini over limit, jumlahnya melebihi kapasitas dipan yang tersedia.
Kalau sudah begitu, jangan heran jika selasar atau koridor pun dijejali para
penumpang. Makanya para penumpang kelas ekonomi harus cepat-cepatan ambil
tempat yang nyaman. Yah, begitulah
bisnis pelayaran ini, masih tak peduli apakah kapal over loaded atau tidak.
Kesibukan di pelabuhan |
Pelabuhan Soekarno Hatta, tampak depan |
Lapak kaki lima |
“Jangan ko tinggalkan ka’. Biasa itu buruh na tinggalkan ka’, cepat sekali jalannya,” sergah ibu mertua kepada buruh
berbadan gempal itu.
“Tidak ji, catat maki’ nomor hapeku kalau mau ki’,” buruh itu merogoh kantongnya,
mencari ponselnya.
Buruh itu menepati janji, ia mengiringi langkah kami. Sesekali ia berhenti,
menyesuaikan kecepatan langkahnya dengan kami. Suami saya yang mengajaknya
ngobrol, ditimpalinya dengan ramah.
Ketika hendak masuk ke pelataran ruang tunggu, saya dan suami berhenti.
Biasanya memang sampai di situ saja pengantar penumpang. Petugas yang berjaga
memeriksa tiket milik ibu mertua. Buruh
berbadan besar itu menoleh kepada saya dan suami, “Masuk maki’.”
Ibunda mertua |
Saya dan suami saling tatap, kami ragu. “Masuk mi, tidak apa-apa ji.” Ia
memberi kode kepada petugas yang berjaga. Petugas itu mengangguk. Waah bukan buruh sembarang ini,
sepertinya ia mandor di sini, atau kepala buruh.
Kesempatan nih. Saya melangkah
masuk, menoleh kepada suami yang masih ragu-ragu. “Ayo mi masuk,” ajak saya padanya.
Kami melenggang melewati sebuah meja petugas di depan pintu ruang tunggu.
Biasanya harus bayar untuk masuk ke dalam ruang tunggu. Buruh berbadan gempal itu
memberi kode kepada petugas yang kembali meloloskan saya dan suami. Kami masuk
tanpa membayar.
Ruang tunggu dibatasi pintu-pintu dan jendela-jendela kaca. Kalau pun hanya
sampai di situ, saya sudah puas cukup melihat ibu mertua menaiki tangga kapal
Ngapulu yang akan membawanya. Namun kembali buruh berbadan gempal itu menoleh
kepada kami. Ia mengajak untuk melangkah keluar ruang tunggu, menuju dermaga, mendekati
kapal.
Buruh berbadan gempal itu meminta HP suami saya untuk dititipkan kepada
petugas yang berjaga di dermaga. Maksudnya, sebagai jaminan kami tidak akan
menjadi penumpang gelap di kapal itu. “Nanti ambil lagi kalo turun ki’,” ujarnya.
Ruang tunggu |
Di depan ruang tunggu |
Aih senangnya bisa mengantar ibu
mertua sampai ke atas kapal. Kami menaiki tangga kapal, melewati petugas lagi.
Juga tanpa membayar sepeser pun. “Tidak sembarang itu orang dikasih begini,”
ujar buruh berbadan gempal itu kepada saya. Saya tersenyum mengiyakan. Kami
bebas saja melenggang, tak ada petugas pelabuhan yang mempertanyakan.
Kelas ekonomi dekat sekali dari tangga masuk. Naik tangga, masuk dari dek
4, langsung belok kanan. Di ujung lorong yang kami lewati terletak kelas
ekonomi. Dua orang buruh yang sudah lebih dulu naik sudah mengambilkan tempat
untuk ibu mertua, di paling pinggir tapi di sebelahnya berderet beberapa
penumpang laki-laki.
Ibu mertua tak mau. Untungnya tak banyak penumpang jadi kami bisa
memilih-milih. Pilihan pun akhirnya jatuh pada tempat tidur kosong di dekat 2
orang penumpang perempuan yang hendak ke Sorong. Barang-barang ibu diletakkan
di atas dan di bawah tempat tidur.
Buruh berbadan gempal berkata kepada saya dan suami, “Tidak apa-apa, di
sini maki’. Nanti lima belas menit
mau berangkat kapal baru kita’ turun.”
Penjual telur asin dan gogos (penganan yang terbuat dari beras ketan) |
Saya dan suami duduk sebentar, berbincang dan berfoto dengan ibu mertua. Masih lama kapal berangkat. Masih sekitar 2
jam lagi.
“Ingat, tidak
wajah petugas yang dititipi hape?” tanya saya pada suami.
“Tidak. Saya
cuma ingat badannya gemuk,” jawabnya.
“Iya, cuma itu
juga yang Saya ingat. Aman ji itu
hape?”
“Tidak tahu.”
“Turun, yuk!”
Kami
berpamitan kepada ibu mertua, mencium tangan beliau,
lalu bergegas turun dari kapal. Mau-maunya kami memberikan HP kepada orang yang
tak dikenal. Kalau HP-nya hilang, bagaimana? Duh.
Masih di
tangga kapal, pandangan saya menyapu dermaga. Tak ada petugas bertubuh gemuk di
sana. Yang ada dua orang petugas bertubuh ramping. Mana dia?
Kami
menghampiri mereka.
“Mau minta
hape, Pak,” ujar suami saya.
“Hape apa?”
tanya salah seorang dari mereka.
Suami saya
menyebutkan merek ponselnya. Petugas itu
tidak segera mengambil HP yang dimaksud. Entah ragu, atau
masih mau mengetes kejujuran kami.
Ruang kelas ekonomi |
Kabarnya, yang sedang dibangun ini adalah tempat penyimpanan mobil milik Kalla Grup, terletak dekat sekali dengan pelabuhan |
“Saya telepon
ya, Pak,” ujar saya sembari menekan
tuts keyboard HP jadul saya untuk menghubungi HP
suami.
HP itu
berbunyi. Petugas itu pun memberikan HP suami saya. Sempat saya bertanya-tanya
sendiri, apakah petugas akan meminta imbalan dari kami karena pendamping kami –
buruh bertubuh gempal itu sudah tak ada?
Syukurlah kami
tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun sehingga bisa leluasa naik ke atas
kapal hingga melenggang balik ke tempat parkir. Mungkin juga karena penumpang yang berangkat dari Makassar tidak terlalu
banyak jadi penjagaan tidak ketat. Kalau tak ada buruh yang menolong kami,
mungkin saya – sebagai pengantar tidak akan pernah mengalami ikut naik ke atas
kapal selain sebagai penumpang bertahun silam.
Kawan, pernahkah mengantar orang ke pelabuhan dan berkesempatan
naik di atas kapal?
Makassar, 20
Mei 2013
Silakan juga disimak:
Share :
whaaaa, asikkk.
ReplyDeletemanokwari.. pengen kesana.
whaaa, mungkin wajahnya suami mbak serem, jadi petugas2 nya nggak narikin biaya buat masuk :D
wahahaha piisss
Hahaha .. suami saya tidak ada apa2nya dibanding petugas2 atau buruh2 itu :D
DeleteKalau urusan naik kapal laut saya belum pernah Mba, apalagi sampai berhari-hari. jadi dengan membaca artikel ini saya jadi tahu bila suatu saat ke area pelabuhan penumpang.
ReplyDeleteSalam wisata
Sip mas, terimakasih :)
Deleteseumur-umur blm prnh naek kapal segede ini mb..
ReplyDeleteSeru deh ... apalagi yang ini, dari Makassar ke Manokwari makan waktu 4 hari. Alhamdulillah mertuaku orangnya sabar :)
Deletesudah lama sekali saya tak pernah lagi merasakan nikmatnya naik kapal PELNI, terakhir seingat saya waktu dari Bau-bau mau kembali ke Makassar, kalo tidak salah nama kapalnya Lambelu, itu sudah berapa tahun silam.... :-)
ReplyDeleteCocok buat pasangan baru Pak, coba sekali2 naik kapal laut dengan istri, ambil kelas 1-nya. Seru tuh :)
DeleteSudah pernah mbak... Biasa kalo di Balikpapan ada pintu buruh,,, masuk lewat situ... cuman kalo lagi rame agak susah...
ReplyDeleteWow seru tuh naik dari pintu buruh :)
DeleteJadi inget dulu wakyu masih sring naik kapal....
ReplyDeleteGak ada tempat tidur ya di koridor...
tapi biasanya kalo di antar buruh selalu dicarikan tempat...
Saya pernah sekali naik Titanic.. hihihi
ReplyDeletediantara sekian banyak photo kucari2 mbak Niar kok gak ada ya..
lihat gambar pelabuhan ini jadi ingat pelabuhan sabang
ReplyDeleteBelum pernah, Mugniar...saya malah belum pernah naik kapal laut untuk tujuan yang sangat jauh. Kayaknya seru deh!
ReplyDeleteSaya hanya pernah naik ferry tujuan Banyuwangi-Gilimanuk, anatar Jawa dan Bali gitu deh...hehe, nggak sampe 2 jam juga udah sampe :D