Perjalanan Terik Mencari Lauk dan Warung Sayur

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.

Warung Mama Otto
Hari Ahad itu, masih pukul 11 saya sudah kecapaian setelah merampungkan beberapa pekerjaan rumah. Saya putuskan beristirahat sebentar sebelum keluar membeli ikan yang sudah dimasak di warung kak Ebo. Tak terasa sejam saya tertidur.

Waktu zuhur sudah masuk ketika saya keluar rumah. Tak dinyana, warung kak Ebo tutup padahal saya harus mendapatkan ikan untuk makan siang. Sebenarnya ada lauk di atas meja makan tapi amat seadanya, saya perlu mendapatkan tambahan untuk melengkapinya. Telur, selalu ada di dalam kulkas tapi saya, suami, dan Ayah sedang menghindari bahan makanan itu.  

Saya berjalan kaki ke arah jalan besar. Di depan gang ada restoran. Di sebelah kanan, tempat saya berdiri, ada warung makan. Saya tak membawa banyak uang. Benak emak-emak saya mulai berhitung. Restoran di seberang jalan menjual sepotong kecil ikan bakar dengan harga sepuluh ribu rupiah. Kalau mau cukup, saya harus membeli dua potong.

Uang di dompet saya tak cukup. Saya masih harus membeli sayur untuk dimasak sore hari. Kalau untuk membeli ikan jadi di warung kak Ebo, uangnya cukup karena harganya murah. Balik ke rumah? Waduh bisa-bisa saya tak keluar lagi. Matahari sedang terik-teriknya, kalau sudah masuk rumah rasanya malas mau keluar lagi. Saya berjalan ke arah timur, menuju warung makan Jawa Timur yang terletak di sebelah Kosh Mediatama. Ah, tutup.

Mama Otto sedang melayani pembeli
Saya lalu berbalik ke arah barat, menyusuri jalan Rappocini menuju pasar Rappocini. “Biasanya ada penjual lauk di sana,” saya berharap. Waduh, penjual lauk sudah tutup. Saya membeli timun di sebuah lapak. Mencoba menawar labu kuning di lapak itu, penjualnya tak mau. Saya pun tak mau, kemahalan menurut saya.

Ikan mentah adalah satu-satunya pilihan untuk menghadirkan menu ikan di atas meja. Satu-satunya lapak yang menjual ikan sudah hampir tutup. Pedagang ikan itu sudah memasukkan sebagian besar makhluk jualannya ke dalam sebuah boks.

“Ada bolu[1]?” pinta saya.

Pedagang ikan itu mengeluarkan seekor ikan bolu dari dalam boks.

“Berapa?” tanya saya.
“Tujuh ribu,” jawab si pedagang.

Saya mengamati ukuran ikan bolu di hadapan saya. Harga tujuh ribu rupiah rasanya masih cukup mahal untuk ikan itu.

“Lima ribu ya?” tawar saya.
“Tidak bisa. Ini saya jual tujuh ribu tadi,” tolak si penjual ikan.
“Enam ribu?”
Ia mengangguk.

Dagangan warung sayur Mama Otto
Untungnya saya sudah istirahat tadi, jadi saya punya tenaga untuk berjalan kaki di bawah sengatan sinar matahari siang itu. Saya singgah di warung sayur. Warung sayur ini terletak di bagian depan gang tempat tinggal saya. Pemiliknya biasa disapa warga sekitar dengan sebutan “Mama Otto”. Sepertinya Otto itu nama anak sulungnya.

Saya biasa membeli sayur-mayur di warung Mama Otto. Harganya murah, sama dengan harga di pasar tradisional. Di warung ini tak perlu lagi menawar karena baik Mama Otto dan suaminya tidak menaikkan lagi harga jualnya. Beda dengan di pasar tradisional. Sering kali barang dagangan di pasar tradisional harus ditawar dulu karena pedagangnya memasang harga lebih tinggi.

Mama Otto dan suaminya bisa menjual dengan harga murah karena mereka berbelanja di pasar Terong. Di pasar Terong mereka mendapatkan potongan harga, mereka sudah punya pedagang langganan di sana.

Aneka sayur dijual oleh Mama Otto. Seperti kangkung, bayam, daun paku (pakis), terong, labu siam, labu kuning, sawi, kol, dan wortel. Ada pula aneka bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, ketumbar, kunyit, dan lain-lain. Buah-buahan pun ada, seperti pisang dan mangga.

Bukan itu saja, warung sayur ini juga memiliki mesin pemarut kelapa. Pembeli bisa memperoleh kelapa parut di sini. Bahkan ikan asin dan bipang[2] pun dijual di sini. Aneka cemilan juga ada. Pendeknya, kebutuhan sayur-mayur dan keperluan jajan warga sekitar terpenuhi dengan adanya warung sayur ini. Ibu-ibu sekitar sini tak perlu ke pasar, mereka bisa lebih menghemat waktu karenanya.

Setelah membeli beberapa jenis sayur, saya pun pulang ke rumah. Saat tiba di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu lewat. Untungnya suami saya piawai membersihkan ikan bolu. Saya memintanya membersihkan ikan sementara saya menyiapkan bumbu kacang instan, larutan kunyit dan garam untuk merendam sejenak ikan, dan menyiapkan alat masak berikut perlengkapan lain. Dengan bantuan Happy Call, hanya dalam 10 menit setelah direndam, ikan bakar siap dihidangkan.

Makassar, 11 April 2013

Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri

Silakan juga disimak:





[1] Ikan bandeng
[2] Penganan tradisional, rasanya manis, terbuat dari beras.


Share :

22 Komentar di "Perjalanan Terik Mencari Lauk dan Warung Sayur"

  1. ikan bolu?
    hehehhee disana nama ikan bandeng kok jadi keren gitu ya Mbak...

    Mama Otto tuh, pasti gak sadar udah sangat berjasa sebagai penyedia sayur mayur ya Mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayak "kue bolu" ya mbak :D
      Ia .. Mama Otto sangat berjasa :)

      Delete
  2. cie pake hepikol ki kak.. kerennya itu bisa bolak balik masakan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha cie cie di'. Happy call hadiah ji gang, ada sepupu kasih ki' :D

      Delete
  3. kalau bolu disini itu kue ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di sini juga kue mbak. Bedanya, perhatikan konteks pembicaraan saja, sedang bicara kue atau ikan :)

      Delete
  4. eh itu mangga ya yang di jual mama Otto..?
    Bipang sama dengan jipang nggak Mbak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya memang ada yang menyebutnya JIPANG :)
      Iya, jual mangga. Seru ya ....

      Delete
  5. kalo di jogja enak cari warung makan
    di kalimantan yang minta ampun
    jam 7 malem dah pada tutup
    minggu juga ikutan libur

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mesti belajar masak2 yang praktis sendiri mas Rawins. Atau siap2 makanan kaleng kalau begitu ya

      Delete
  6. kalo dari jauh warungnya sederhana, tapi kalo dari dekat warungnya ternyata lumayan lengkap. Yang aku tangkep sih tradisi tawar menawarnya. Ini yang menjadi ciri khas emak emak.. Hehehe.... Menarik ceritanya mbak ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah .. begitulah kalo emak2 .. soale uang yang dibawa terbatas, mesti berhitung :D

      Delete
  7. Menunggu resep ikan bakarnya ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ikan bakarnya sederhana koq Dhe. Saya merendamnya dengan larutan kunyit + garam beberapa menit sampai kira2 meresap. Baru setelah itu dipanggang sampai matang. Sudah deh. Makannya bisa begitu saja, enak koq. Bisa juga pake saus kacang instan :)

      Delete
  8. assalammualaikum bunda...

    bunda yang bijaksana.

    beruntung di tempat bunda sayuran bisa di tawar, di tempat saya nggak bisa bun, dan warungnya pun satu-satunya yang ada, jadi nggak ada pilihan lain, atau harus ke pasar yang jaraknya setengah jam naik motor.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wa 'alaikum salam wr. wb. mbak.
      Saya juga pernah tinggal di lingkungan seperti itu dulu. Mau tidak mau menerima apa yang ada. Alhamdulillah di tempat sekarang lebih mudah :)

      Delete
  9. Niar, dimasak pake bumbu apa sih? kok ada bumbu kacang instannya? apakah mirip bumbu sate madura gitu? atau apa? kok ikan pake bumbu kacang sih?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di Makassar, ada makanan khas mbak Ade: ikan bakar bumbu kacang. Bumbu kacang yang saya pake itu sebenarnya bumbu pecel instan dari Surabaya, oleh2 ibu waktu ke Surabaya bbrp waktu yl :)

      Delete
  10. waaah saya skrg kurang sreg marutin di tukang sayur.. hihi kurang bersih, kelapa mereka habis dibelah ga dicuci lgsg masuk mesin, padahal udah dr mana2 kan itu buah :D, jd mending mending aku marut sendiri mbak..

    mampir di postinganku mbak.. sama temanya.. tukang sayur hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awalnya ibu saya juga bgtu mbak, Tapi saya cuek saja. Pikir saya: kan mau dimasak kelapanya? Kalo jadi santan kan santannya dimasak sampai mendidih? Kita bisa memastikan masaknya sudah sesuai standar untuk mematikan kuman?
      Alhamdulillah sampai saat ini kalo urusan kelapa parut, kami aman2 saja tuh :D

      Delete
  11. Duh...cepetnya proses masak kalau alat-alat dan bahannya lengkap dan tepat.
    Saya paling nggak pernah bikin yang dibakar-bakar, Mugniar...biasanya beli jadi atau dikirimin orang...hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo bakarnya pake arang lama mbak Irma. Kalo pake alat masak cepat koq. Untung ada sepupu yang ngasih happy call, lancar kalo mau bakar2. Tapi sebelumnya saya pakai alat masak yang dudah cukup lama, sayangnya sudah ada yang terkelupas di lapisan anti lengketnya. Untungnya ada happy call itu :)
      Terimakasih mbak sudah mampir

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^