Ketika Pengajar Agama Tidak Mampu Bijak

Ketika Pengajar Agama Tidak Mampu Bijak - Dengan adanya program pemberantasan buta aksara al-Qur’an yang dicanangkan oleh pemerintah kota Makassar, sekolah-sekolah harus membuat program untuk membantu terlaksananya program ini. SMA saya juga memiliki program pemberantasan buta aksara al-Qur’an yang harus diikuti oleh semua siswa kelas tiga.
Program ini berlangsung selama beberapa hari, dari pagi hingga sore hari. Semua peserta harus ikut kegiatan dalam kelas juga ceramah agama dan shalat dhuhur/ashar berjama’ah di aula sekolah yang sekaligus berfungsi sebagai musala sekolah. Saya senang mengikuti kegiatan ini karena menyegarkan pengetahuan tentang tajwid yang sudah banyak terlupakan, di samping itu banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan.

Guru Agama Tak Bijak

Suatu hari saya yang sedang menstruasi hanya mengikuti ceramah setelah kegiatan dalam kelas. Karena setelah waktu ashar tidak ada kegiatan lagi, saya memberanikan diri meminta izin untuk pulang lebih dulu kepada guru agama. Bersama seorang teman berjilbab yang juga sedang berhalangan (ketika itu saya belum mengenakan jilbab), saya menghadap pak K di ruang guru.
Kami melewati pintu berwarna hijau dan memasuki ruang guru yang lengang. Di sebuah kursi kami mendapati pak K sedang mengepul-ngepulkan asap rokok yang diisapnya. Ia memandang kami dan bertanya, “Ada apa?” Kami menjelaskan maksud kami menghadapnya. Seketika terlihat ada perubahan dalam sorot matanya. Ia menatap kami lekat-lekat dengan lebih tajam.
Ia mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah saya lupakan hingga saat ini karena menggambarkan ketidakbijakan dirinya. Sangat kontras dengan profesinya sebagai guru agama. Ia berkata, “Betul? Tidak bohong? Jangan-jangan Kalian minta izin pulang cepat supaya tidak ikut shalat ashar berjama’ah!” Sungguh kata-kata yang menikam jantung. Seandainya tidak melanggar etika dan norma agama, ingin rasanya saya memperlihatkan noda berwarna di celana dalam saya saat itu juga!
***
Tahun pertama kuliah di fakultas Teknik, ada mata kuliah agama Islam yang disajikan. Mata kuliah itu disajikan sekali dalam sepekan. Dosen yang memberikan mata kuliah ini adalah sosok yang berperawakan kecil dan tegas, pak A namanya.
Suatu waktu pak A memberikan tugas membuat kliping yang harus diketik menggunakan mesin tik. Saat itu komputer masih sangat langka. Saya mengumpulkan bahan dengan mendatangi perpustakaan daerah milik pemerintah. Di sana saya meminjam dua buah buku agama. Saya juga mengumpulkan bahan dari majalah-majalah Suara Masjid milik paman saya yang kala itu berprofesi sebagai dosen di IAIN (Institut Agama Islam Negeri).
Saya menikmati tugas membuat kliping. Semua buku dan majalah yang saya dapatkan saya pelajari. Saya memilih topik dan menarik benang merah dari artikel-artikel yang sesuai. Berhari-hari, sampai begadang saya memikirkan struktur logika dalam isi kliping, mengetikkannya ke dalam berlembar-lembar kertas, dan kemudian menjilidnya. Tak lupa saya mengetikkan sederetan referensi yang saya gunakan. Ketika waktu yang ditetapkan tiba, saya mengumpulkan kliping hasil kerja kerasa saya itu dengan perasaan puas.
Hingga suatu ketika pada jadwal pelajaran agama ...
Ruangan PB (Perkuliahan Bersama) yang memuat sekitar 120 orang mahasiswa tahun pertama fakultas Teknik yang didominasi laki-laki itu terasa sesak. Saya duduk di antara sedikit teman-teman perempuan dalam ruangan itu. Pak A terlihat sedang mengamati tumpukan kliping hasil kerja kelas besar ini.
Pak A membolak-balik sekilas setiap kliping yang dipegangnya. Sesekali ia berkomentar. Lama juga menunggu ia memegang kliping saya. Akhirnya, hasil kerja saya terpegang juga olehnya. Dari tempat duduk saya, saya bisa melihat ia sedang memegang kliping yang saya buat. Ia kelihatan serius menyimak kliping saya selama beberapa menit. Betapa tegang perasaan saya. Jantung saya berdebar-debar, telapak tangan dan telapak kaki saya terasa dingin.
Kemudian pak A mengangkat wajahnya dan menatap kami. Ia bertanya, “Siapa punya ini?” Sekilas, terbit keinginan untuk memperkenalkan diri saya kepadanya sebagai pemilik kliping itu. Siapa tahu saja ia akan memuji karya saya yang cukup tebal itu. Rupanya ia hanya melontarkan pertanyaan retorika. Bibirnya lalu mengeluarkan kalimat, “Ini pasti dikerjakan oleh orang lain. Tidak mungkin di antara kalian ada yang bisa membuat kliping seperti ini.”
Bagai dipukul dengan palu godam lalu ditabarak truk kontainer kemudian kejatuhan meteor, sekujur tubuh saya terasa lemas. Jantung saya makin berdegup kencang dan telapak tangan serta telapak kaki saya makin terasa dingin padahal di ruang itu saya harus berebut oksigen dengan lebih seratus orang lainnya. Harusnya ruangan itu terasa panas. Tetapi kali itu tidak. Beruntung jantung saya sehat hingga saya tidak terkena serangan jantung. Ini kali kedua saya kecewa dengan seseorang yang berprofesi sebagai pengajar agama. Profesi itu ternyata tidak menjamin mereka menjadi bijak.
Makassar, 31 Desember 2011

Baca juga yang ini yaa:



Share :

12 Komentar di "Ketika Pengajar Agama Tidak Mampu Bijak"

  1. Muahahaha, liatin celana dalem trus taroh mukanya mbak muahaha. *ups*
    Aku pernah tuh ijin karena mens bocor banyak, dan dosen waktu itu adalah dosen mata kuliah agama lain, tapi bijaknya, malah mempersilahkan aku supaya cepat-cepat pulang. :)

    Di SMA juga aku pernah mengalami ketidakbijakan guru agama. Waktu ujian praktik shalat, si guru gamau nerima doa iftitah yang berbeda dari yang dia biasa gunakan. Alasannya: "kok jadi kayak aliran-aliran gitu iftitahnya beda."
    Jiah buset dehhh justru dia yang gamau nerima iftitah yang beda itu yang malah kayak pro aliran tertentu. *masih emosi*

    ReplyDelete
  2. hm... sungguh disayangkan org/guru agama yang seperti itu ya mba... sepertinya mereka menganggap dirinya telah begitu sempurna dan wakil Tuhan. Ups. kok jadi ikutan emosi.... :-)

    terkadang tingkah mereka itu membuat kita miris. Dan membuat kita berfikir bahwa sebenarnya mereka hanya membaca tiorinya dan tidak menerapkan ilmu yang dimilikinya secara baik dan bijak di alam nyata. Banyak banget yang seperti ini mba.... :(

    Btw, dirimu di fak teknik jurusan apa mba? saya juga di FT. :)

    ReplyDelete
  3. @Una:
    Terus terang, sedih dan dongkolnya berlipat ya Na .. soalnya sebenarnya kan mereka yang harus mengajarkan kebijakan kepada kita ... ^_^

    Ah, do'a iftitah kan ada yang beda memang yang Allahumma ba'id baini dan inni wajjahtu wajhiya ..
    Ck ck ck kacau bener gurunya ...

    ReplyDelete
  4. @Alaika Abdullah:
    Jurusan Elektro mbak ...
    Tapi saya mendamparkan diri dengan URT ^__^
    Kalo mbak Alaika, informatika ya?

    Pengalaman yang ini masih terngiang2 jelas. Kalo dendam sih tidak. Tapi gak bisa dilupakan :D

    Mudah2an beliau2 setelah itu lebih bijak lagi ...

    ReplyDelete
  5. wkwkwk bunda jadi parno sama guru agama skrang,...kalo sama ustadz maulana gimana bun??? jamaaahh oooo jamaaah ALHAMDULILLAH..^^

    ReplyDelete
  6. Oh, saya pikir wajar kalo Pak K berkata seperti itu, karena memang bersikap seperti itu sudah seharusnya bagi guru. Guru menanyai murid yang ingin pulang di tengah acara adalah hal wajar. Wajar kalo curiga.

    Tapi memang barangkali cara penyampaiannya harus diperhalus.

    ReplyDelete
  7. memang miris jk guru agama brtindak tidak bijak begitu,mgkin hanya tuntutan profesi, tinggal kita yg bijak menghadapi,harus lebih sabar ya mbak

    ReplyDelete
  8. @Phuji Astuti:
    Parno? Tidak koq ... guru2 yang lain bagus, tidak meninggalkan cela ^__^

    Kalo .. ustad Maulana .. biasa saja. Tingkah lucunya boleh juga. Sepertinya orangnya memang ngocol. Oya, beliau pernah jadi guru agama. Salah satu muridnya adalah mama Rani (iya kan mama Rani?). Kesannya mama Rani ttg beliau bagus ...

    ReplyDelete
  9. @Asop:
    Iya, akan lebih elegan kalau caranya lebih simpatik Sop ... :)

    ReplyDelete
  10. @Al Kahfi:
    Iya mas, kata kuncinya sepertinya memang hanya itu ... untungnya sudah tinggal kenangan. Rasa marah sudah tdk ada ... cuma sayangnya kenangan itu masih terus melekat karena sangat unik :)

    ReplyDelete
  11. Mungkin sedikit klise, kita tidak bisa menilai segala sesuatu dari sampulnya, semua tergantung orangnya. Manusiawi ketika mereka menunjukkan kecurigaan yang berlebihan. Yah, saya sih biasanya berpikir positif kalau guru-guru itu berpikir negatif karena pernah melakukan hal-hal negatif tersebut dan tidak ingin kejadiannya terulang pada mereka :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Oma:
      Iya, sampul memang tidak menjamin isinya. Hal itu sangat manusiawi untuk orang2 kebanyakan. Tidak bagi orang yang punya profesi guru, apalagi guru agama. Krn profesi ini menuntut kebijakan. Kalau kita excuse, 'tdk apa2, namanya juga manusia' lha berarti kita harus lebih excuse lagi kalau yang membuat kesalahan anak2 SMA atau diri kita sendiri yang bukan pengajar agama?

      Yah, ini pemikiran saya. Tp menurut saya, guru, apalagi guru agama - karena kemuliaan yang melekat di nama profesi mereka - itu tidak sama dengan pekerja biasa, tidak sama dengan karyawan, dgn office boy atau tukang becak. Lebih baik jadi pegawai biasa sajalah kalau tak mampu bijak, jangan jadi guru - apalagi guru agama.

      Saya harap mereka pada akhirnya bisa makin bijak. Mudah2an menjadi pelajaran buat guru2 yg lain :)

      Terimakasih ya sudah membaca ^__^

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^