Kekayaan Tutur Bugis

Tulisan ini bukanlah representasi pengetahuan saya tentang tutur Bugis karena saya tidak menguasai bahasa ini walau ada darah Bugis (berasal dari Ayah) dalam diri saya jadi, pasti masih banyak kekurangan di dalamnya. Tulisan ini hanyalah sedikit catatan mengenai apa yang saya alami dan amati. Sebelumnya, tulisan ini sempat saya kirimkan ke sebuah lomba pada tahun lalu tapi tidak berhasil memenangkannya. Waktu menuliskannya, saya berdiskusi dengan suami yang bisa menggunakan bahasa Bugis secara aktif. 
Tulisan  ke-2 dari 3 tulisan. Tulisan 1 bisa dibaca di sini 

Bahasa Bugis dan Makassar Berbeda

Jangan mengira suku Bugis dan Makassar itu sama, ya. Walaupun sama-sama mendiami provinsi Sulawesi Selatan, kedua suku ini berbeda.

Dari segi linguistik, bahasa Makassar dan bahasa Bugis berbeda, walau kedua bahasa ini termasuk dalam Rumpun bahasa Sulawesi Selatan, dalam cabang Melayu-Polinesia, dari rumpun bahasa Austronesia. Dalam kelompok ini, bahasa Makassar termasuk ke dalam sub-kelompok yang sama dengan bahasa Bentong, Konjo dan Selayar, sedangkan bahasa Bugis termasuk dalam sub-kelompok yang sama dengan bahasa Campalagian dan dua bahasa asal Kalimantan, yaitu bahasa Embaloh dan bahasa Taman.

Namun demikian, yang namanya serumpun tentunya memiliki persamaan. Misalnya dalam penggunaan kata KITA’ dan TANYA’, seperti yang saya ceritakan di atas. Penyimpangan artinya sama persis.

Ada juga kosa kata yang sama antara bahasa Bugis dan bahasa Makassar namun kosa kata yang sama itu berbeda artinya dalam kedua bahasa tersebut. Misalnya dalam situasi ini:

G yang seorang Makassar penjual sirih ditanyai oleh H, seorang pesepeda Bugis yang sedang mencari alamat rumah di sekitar tempat G berjualan. G menunjukkan letak alamat yang dicari oleh H.

Saat H sedang mengayuh sepedanya mencari alamat, terdengar suara G berteriak, “LEKO’ …  LEKO’.”

H langsung berbelok di tikungan terdekat. Ia mengira teriakan G itu ditujukan kepadanya. Dalam bahasa Bugis, leko’ berarti “belok”. Tak berapa lama terdengar lagi teriakan G, “LEKO’ …  LEKO’.”  Seketika H berbelok lagi. Hal ini terjadi beberapa kali hingga membuat H kesal. Ia merasa dipermainkan oleh G.

H lalu mengayuh sepedanya mendekati G dan melontarkan kekesalannya, “Kenapa Kau suruh Saya belok terus? Bagaimana Saya bisa ketemu alamatnya kalau sebentar-sebentar Kau suruh Saya berbelok?”

Eeeh angngapa mi,” (Eeh, kenapa ini – bahasa Makassar)
“Saya lagi jualan leko’, bukan suruh Kau berbelok!” seru G tak terima kekesalan H.

Jelas saja G tidak terima dan H merasa kesal. Dalam bahasa Makassar, leko’ itu berarti “sirih”. Sementara dalam bahasa Bugis, leko’ itu berarti “belok”.


Rumah tradisional
Sumber: http://www.landscapeindonesia.com/
Kekayaan Bahasa Bugis

Penduduk asli kota Makassar adalah suku Makassar. Sementara suku Bugis mendiami sebagian provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Wajo, Soppeng, Pare-Pare, Pinrang, Sidrap, Enrekang, dan Luwu.

Walaupun sama-sama suku Bugis, berbeda wilayahnya, berbed pula dialeknya. Bahasa Bugis di Bone, Soppeng, dan Wajo atau biasa disebut BOSOWA, sekilas terdengar sama-sama mengalun lembut nan mendayu. Namun bila dicermati baik-baik, terdengar adanya perbedaan di antara ketiganya.

Begitu pun daerah Bugis yang dikelompokkan sebagai Bugis Ajatappareng yang berdomisili di Pare-Pare, Sidrap, dan Pinrang, juga memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Bahkan ada daerah yang memiliki sub bahasa. Seperti di kampung ibu mertua saya di daerah Pinrang, ada daerah bernama Malimpung. Di Malimpung, warganya menggunakan bahasa Malimpung yang berbeda dari bahasa Bugis. Penuturnya kira-kira berjumlah seratusan orang dan mereka berkerabat. Tetapi bila ke wilayah lain di Pinrang atau di daerah Bugis lain, orang Malimpung menggunakan bahasa Bugis.

Orang Bugis memiliki ciri khas yang amat menarik. Jarang terdapat di nusantara, masyarakat yang mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas, seperti halnya orang Bugis.

Orang Bugis dikenal berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan, orang Bugis bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, orang Bugis juga terkenal ramah, sangat menghargai orang lain, serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.

Orang Bugis juga memiliki tradisi kesusasteraan lisan dan tulisan. Satu contoh yang melegenda adalah perpaduan antara tradisi lisan dan sastra tulis yang menghasilkan epos terbesar di dunia: La Galigo, yang panjangnya melebihi Mahabharata, epos yang jauh lebih terkenal itu.

Kata Siapa Orang Bugis Kasar?

Banyak orang menyamakan antara Bugis dan Makassar. Dikira identik dengan sifat/kata kasar yang (dikira mereka) berasal dari kata Makassar. Padahal tidak demikian. Kata Makassar berasal dari kata “Mangkasarak”yang terdiri atas 2 kata, yaitu mang dan kasarakMang adalah kata tambahan yang memperjelas kata dasarnya, yaitu kasarak. Arti kasarak adalah terang, jelas, tegas atau nyata.

Kata Mangkasarak mengandung arti “memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter mangkasarak berarti orang tersebut besar (mulia) dan berterus terang (jujur).

Sedangkan kata “Bugis” berasal dari kata to Ugi, yang berarti orang Bugis. Kata “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat itu, yaitu La Sattumpugi.

Rakyat La Sattumpugilah yang menamakan dirinya sebagai to Ugi, atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading adalah suami dari We Cudai.

Seara pribadi, saya menolak tegas bila ada suku yang diidentikkan dengan “kasar” karena kata sifat ini mengacu kepada perangai yang negatif. Padahal dalam semua suku, di mana pun berada, pasti terdiri atas orang-orang yang kasar dan yang tidak. Terkadang pula hanya karena dialek sebuah suku yang terdengar tegas dan kebanyakan orang dari suku tersebut bercakap-cakap dengan lantang maka suku itu dinilai kasar. Padahal, sekali lagi, tidaklah demikian halnya.

Uniknya, dalam suku Bugis sendiri ada banyak dialek. Ada yang terdengar lembut dan ada yang tegas/keras. Ada yang berbicara dengan suara pelan dan ada yang dengan suara keras. Orang-orang Bugis yang tinggal di daerah pesisir pantai biasanya bersuara lebih keras ketimbang yang tinggalnya di daerah pegunungan.

Suami saya orang Bugis, gabungan Sidrap dan Pinrang yang besar di Pare-Pare. Dalam kesehariannya ia dan kerabatnya terbiasa bercakap dengan bahasa Bugis yang menggunakan dialek yang tegas dan diucapkan dengan lantang. Berbeda dengan ayah saya dan kerabat kami yang besar di Soppeng. Ayah dan mereka berbicara dengan dialek yang lembut, seperti mengalun dan bertutur dengan suara pelan.

Untuk yang tidak terbiasa dengan orang Bugis yang berdialek tegas dan lantang, memang bisa terkaget-kaget bila mendengar pengguna dialek ini bercakap-cakap. Saya pernah tertegun waktu melewati rumah sebuah keluarga yang berasal dari Sidrap. Dari jendela yang terbuka, saya melihat seorang anak gadis sedang bercakap-cakap dengan ayahnya. Saya pikir saya tengah mendengar suara seorang anak memarah-marahi ayahnya saking lantangnya suaranya.


Setelah menyimak percakapan mereka beberapa menit, tanpa sadar saya tersenyum sendiri karena percakapan anak-beranak itu hanyalah percakapan biasa, layaknya percakapan sehari-hari antara anak dan ayahnya. Suara sang ayah pun tak kalah lantangnya dari suara putrinya tetapi konten percakapan mereka sebenarnya datar saja. Pun tak ada luapan amarah di sana. Memang mereka terbiasa bercakap-cakap seperti itu. Seperti itulah keseharian mereka.

Ditulis Juni 2014

Bersambung

Catatan: 
Tulisan ini merupakan tulisan ke-2 dari 3 tulisan

Referensi tulisan 1 - 3:

  • Callang, S., 2007, Orang Lise Tak Hendak Memperdaya Lawan Bicara, Farid, L. Y. dan Ibrahim, F.M., Makassar di Panyingkul, INSIST Press Yogyakarta.
  • Cerita Makassar, Home, http://ceritamakassar.wordpress.com/, diakses tanggal 30 Mei 2014.
  • Endha, Tentang Suku Bugis, http://endraithuujelek.wordpress.com/sejarah-suku-bugis/, diakses tanggal 31 Mei 2014.
  • Idha Nurhidayah, Kata-Kata Mutiara dalam Bahasa Bugis, http://idhanurhidayah1993.blogspot.com/2013/01/kata-kata-mutiara-dalam-bahasa-bugis_27.html diakses tanggal 31 Mei 2014.
  • Pelras, C., 2006 (cetakan kedua), Manusia Bugis, Nalar Jakarta.
  • Wikipedia, Suku Makassar, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Makassar, diakses tanggal 30 Mei 2014.


Share :

1 Komentar di "Kekayaan Tutur Bugis"

  1. Mugniar...baru paham kalau ternyata Makassar dan suku Bugis itu tidak identik. Saya kira sama aja. Tapi setelah baca tulisan ini, saya jadi ngerti bahwa mereka memang tidak sama. Contohnya dari kata 'leko' itu tadi...yang satu artinya belok, yang satu sirih...duh, beda banget ternyata!

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^