Lauk Lima Ratus

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.

Warung kak Ebo
Orang-orang sekitar rumah ada yang memanggilnya daeng Ebo. Saya memanggilnya dengan “kak Ebo”. Ia bekerja sama dengan seorang tetangga – daeng So’na namanya, membuka warung yang menjua aneka lauk. Amat dekat dari rumah saya, hanya sekitar tiga puluh meter jaraknya. Modal awal, peralatan masak, dan tempat usaha berasal dari daeng So’na. Selanjutnya modal diputar terus. Omzet, setelah dikurangi modal merupakan keuntungan yang mereka bagi dua.

Kak Ebo adalah langganan saya ketika persediaan lauk di rumah tak mencukupi. Ia pandai masak. Cita-citanya adalah kerja di rumah makan. Sayang mendengarnya masih ingin bekerja di rumah makan. Karena dengan kemampuannya, ia sebenarnya amat mandiri. Ia bisa berbisnis sendiri di tempat yang amat dekat dari rumahnya sehingga bisa selalu memantau anak-anaknya plus mengatur sendiri waktu kerja. Kalau sedang ada acara di kampung atau ketika ada di antara keempat anaknya yang sakit, warung lauknya ditutup.


Lauk dagangan kak Ebo
“Lebih untung mana ki’, sekarang dengan dulu?” tanya saya pada suatu waktu.

Dulu ia bekerja dengan seorang tetangga tapi kedudukannya hanya sebagai buruh. Dari pagi hingga malam ia bekerja, biasa sampai pukul setengah sebelas malam. Ia harus mempersiapkan bahan, memasak, menjual, dan mencuci piring. Tenaganya betul-betul terkuras. Ia hanya dibayar sebesar tiga puluh ribu rupiah per hari. Tidak peduli penjualan sedang bagus, keuntungan sedang berlipat, tetap segitu saja yang diterimanya. Belum lagi kalau keempat anaknya makan di situ, tentu saja jatahnya harus dipotong sebesar harga lauk yang diambil mereka.

“Lebih untung sekarang iya. Sekarang, kalau ada keuntungan baku bagi dua ka’[1]. Seberapa keuntungan, sebegitu yang dibagi. Tidak seperti dulu. Terus kalau siang, habis mi jualanku, pulang maka’[2] istirahat,” jawabnya.

“Biasa sampai jam berapa ki’[3] menjual kah?”

“Biasa jam jam tiga habis mi.

Warung yang menjual ikan bakar enak
Banyaknya kos-kosan, petak-petak kontrakan, dan rumah kontrakan berdampak pada hidupnya roda ekonomi di Rappocini. Baik di jalan besar maupun di gang-gang tersebar warung-warung yang menjual lauk. Harganya amat murah. Tempe dan tahu goreng (berbumbu dan kering) juga perkedel jagung maupun perkedel mairo[4] dijual seharga lima ratus rupiah per potongnya.

Ikan yang sudah dimasak juga dijual amat murah. Ikan bandeng ukuran agak besar dibagi tiga lalu oleh kak Ebo dijual seharga dua ribu lima ratus rupiah per potong. Ikan tongkol berukuran agak kecil, seekornya dijuga juga dengan harga dua ribu lima ratus rupiah. Memasaknya dengan cara digoreng, dibakar atau dibuat pindang (pallu mara). Kalau harga ikan naik, mau tidak mau kak Ebo menaikkan harga jualnya. Tapi kalau harganya turun, harga jualnya pun turun kembali. Fleksibel.

Tak semua warung menjual ikan yang ukurannya sama dengan harga yang sama dengan dagangan kak Ebo. Beberapa warung menjualnya lebih mahal.

Ada satu warung yang saya suka sekali ikan bakarnya. Letaknya di dalam lorong 6, di belakang tembok belakang  sebuah perumahan yang cukup elit di Rappocini. Ikan bandengnya dibagi dua lalu dibelah tengahnya (di bagian punggung). Di bagian dalam ikan disisipkan bumbu yang terbuat dari bawang merah, cabe merah, kemiri, dan daun kemangi. Setelah itu, ikan dibakar menggunakan arang. Rasanya ... hmm maknyus, membuat saya selalu nagih. Harganya murah, hanya enam ribu rupiah per potongnya.

Dari warung lauk. Kiri atas: ikan bakar bumbu (Rp. 6000/potong).
Kanan atas: sayur (Rp. 1.000)
Kiri bawah: sambal goreng tempe (Rp. 2.000 seporsi).
Kanan bawah: perkedel jagung (Rp. 500/potong)
Foto-foto ini diambil pada hari berbeda
Warung ini selalu ramai oleh warga sekitar. Ada yang makan di situ, ada yang membawanya pulang. Suatu waktu saat sedang menunggu ikan matang, saya mendengar percakapan antara pemilik warung dengan seorang pemuda – tampaknya ia mahasiswa.

“Berapa perkedel Kau makan?” tanya pemilik warung.
“Enam,” jawab si pemuda.
Hah ... enam?” pemilik warung tak bisa menahan keheranannya.

Mendengar itu, saya tersenyum geli. Memang jumlah yang cukup fantastis untuk lambung seorang pemuda bertubuh kurus. Tapi untuk kantung mahasiswa, enam buah perkedel jagung sangat terjangkau harganya, mengenyangkan pula. Tiga ribu rupiah ditambah beberapa (sedikit) ribu lagi untuk lauk lain, untuk sebuah makan siang, bukankah sebuah keberuntungan?

Makassar, 12 April 2013

Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri

Silakan juga disimak:





[1] Maksudnya: “Kami bagi dua”
[2] “Pulanglah Saya”
[3] Kata ganti orang kedua (anda)
[4] Ikan teri


Share :

39 Komentar di "Lauk Lima Ratus"

  1. wah, klo di tempatku itu perkedel harganya Rp 1.000

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mahal yaa ... dua kali liat harganya dengan di sini ...

      Delete
    2. kalo di deket kos q juga seribu. soalnya kentang, bukan jagung.
      tapi yang lainnya sma donk.

      masih murah di solo :p

      Delete
    3. Di sini masih ada perkedel kentang 500 rupiah tapi kayaknya dicampur ubi deh ^_^

      Delete
  2. masih ada ya harga segitu
    berasa di jogja tuh. di sini boro boro ada makanan murah...

    ReplyDelete
  3. ditempatku jg masih murah...
    jd mau nulis lagiiii :D

    ReplyDelete
  4. di tempatku dah pada mahal Mak..
    muraah banget disana, pidah ahh jadi tetangganya emak deh :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asyik nih kalo bisa tetanggan sama mak Nchie :D

      Delete
  5. Disini ada yang murah ada yang mahal mbak

    ReplyDelete
  6. Wah, masih murah ya disana, Niar. Kalo di Bandung udah mahal, di Aceh jauh lebih mahal lagi... btw, foto lauknya itu, bikin selera makan bertambah deh. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah mahal sekali ya ...
      Enak2 lho kak makanan di foto itu :)

      Delete
  7. paling mahal makanan di pariaman, beuhhh jangan harap ad yang 6000, plg murah langgananku 7000-an i2 pun skrg sdh naik mie semua sdh tdk mau ksh 7000, skrg hrgx kalo cuman lauk saja 8000 sampe 10.000 kalo pake nasi 11.000, nasinya porsi kuli booo, hahahaa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wiiii tetanggaku masih ada yang jual 5000 per bungkus tawwa nasi kuningnya, jualan dalam lorong ji tapi laku. Mahalnya di' di sana padahal di kabupaten? :D

      Delete
  8. Murah2 mi lauk di sana! Nanti pi kalo nakke jadi maen ka makasar, mau ki traktir nakke? Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Murah ces. Bolehlah kalo perkedel 500 sebanyak 6 biji hahaha

      Delete
  9. di semarang juga masih ada kok mba gorengan yang seharga 500, tapi untuk ukuran Makassar ya murah banget ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu waktu masih di Makassar pernah gak beli makanan warung, mbak?

      Delete
  10. makanan yang begini emang cocok bagi kantong mahasiswa, selain murah bisa kenyang dengan hanay berbekal 20 ribu. heheheehehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. 6 ribu pun bisa kenyang. Bayangkan deh kalo makan 12 perkedel jagung hehehe

      Delete
  11. Mugniar, seandainya saja warung ini letaknya bertetangga dengan rumah saya, pasti saya juga bakal jadi langganannya...
    Ngomong-ngomong, perkedel jagungnya itu bikin saya penasaran, sampe habis enam gitu lo...wah, wah, pasti rasanya mantap banget!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enak2 mbak Irma. Sederhana tapi enak :)
      Saya pun kalo lupa diri mungkin bisa habis 6, dijadikan cemilan hehehe

      Delete
  12. wah, enak bener bund...500 perak udah dapat lauk, kalau deket mau dong...

    harga lauk ikan di tempat saya rata2 Rp 7.000,-

    makanya, saya agak mikir kalau mau jajan, jadi mending masak sendiri...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah kalo begitu pasti harus masak sendiri ya mbak.... mahal juga

      Delete
  13. duh, lauk dan sayur nya harganya ramah sekali ya mbak. kalo dekat saya pasti mampir kesitu tiap hari deh...hehe

    ReplyDelete
  14. wah masih murah tu harganya kak, yumi pngn icip-icip kalau di aceh mahal benar kata cuk kak alaika :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh harus masak sendiri ya ... padahal ibu2 kan pingin rehat juga sekali dua kali, tiga kali ... eh itu namanya malas ya hehehe

      Delete
  15. Di Bali ada perkedel jagung yang 500an tp jagungnya sedikiiittt sx dibanding tepung. hahaha
    sukses yah GAnya mba :D

    ReplyDelete
  16. Andai warung Kak Ebo buka cabang di deket rumah saya.. Pasti saya sering-sering beli ikan bandengnya. Sudah jarang makan ikan bandeng bakar bumbu itu di Jakarta. Padahal dulu sering dibuatkan sama ibu di Bone..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo yang di foto itu, bukan di warungnya kak Ebo. Kak Ebo kadang2 saja bikin ikan bolu seperti itu tapi kayaknya kalo direquest mau ji dia ka baik sekali orangnya :)

      Delete
  17. wahdari photonya bikin laper mbak Niar..
    wah masih relatif murah ya mbak..
    saya sendiri kalo makan tidak neko2 mbak, apa yang disiapin di meja makan ya disikat, gak pilih2...

    lama ya gak mampir kesini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mas Insan apa kabar :)
      Masih murah, alhamdulillah. Yang mahalan juga ada. Tinggal pilih mas kalo mau beli .. pengusaha makanan buanyaknya minta ampun.

      Delete
  18. wah aku suka aku suka.kalo yang murah murah begini makannya jadi lebih lahap ya niar :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebih lahap karena murah ya mbak hehehe. Yang jelas rasanya enak :)

      Delete
  19. Emang praktis jika ada yang jual sayur dan lauk matang. Setidaknya mengurangi biaya utk memasaknya hehehe.
    Aku sih pakai catering aja :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^