Mengupas Makna Pendidikan Karakter – “Kata kunci kegiatan kita adalah KARAKTER. Karakter merupakan bahasa asing. Bahasa kita bisa AKHLAK, ADAB, atau yang sejenisnya. Orang Islam diajarkan ‘adab sebelum ilmu’. Hal ini sangat mendasar karena ilmu akan benar-benar hadir sebagai ilmu dalam arti yang sebenarnya: ‘ilmu yang memberikan manfaat’, ‘ilmu yang menghadirkan jariyah – pahala yang mengalir karena mendatangkan manfaat kepada khalayak’ adalah ilmu yang berbasis/berfondasi kepada adab atau karakter,” ucap Prof. Atip Latipulhayat, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, memulai speech-nya.
Menurut
beliau, kalau kita cermati, salah satu tujuan pokok
dari pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk insan yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Karakter itu adalah salah satu
elemen dari ketakwaan. Dan pondasi dari takwa itu adalah iman.
Pentingnya Adab Sebelum Ilmu
Saya
tertarik membuat satu tulisan khusus tentang speech Prof. Atip pada pembukaan
pelatihan Fasilitasi dan Advokasi Kebijakan Penguatan Karakter pada tanggal 24
September lalu. Satu postingan ini merupakan perkataan
beliau yang saya tuliskan kembali di blog ini untuk menjadi pembelajaran bagi
saya khususnya dan bagi siapa saja yang tertarik belajar bersama.
Prof.
Atip mengutip Al-Qur’an surah Al-Mujadilah ayat 11 yang menyebutkan: “….. Allah
niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat …..”
Yang
akan diangkat derajatnya adalah orang-orang yang di dalam dirinya memiliki dua
elemen yaitu iman dan ilmu, dua elemen tersebut berinteraksi.
Ilmu tanpa keimanan akan melahirkan kebiadaban. Orang yang menipu itu pada
umumnya orang pintar, berbicara dengan halus, menyebabkan orang yang ditipunya
terbuai. Penipu merusak karena dia memiliki ilmu minus iman.
Iman
dimensinya banyak, salah satunya siri’ na
pacce sebagaimana yang disampaikan
Pak Imran, Kepala BPMP Sulsel dalam
sambutannya sebelum Pak Wamen naik ke podium. Tentang sambutan Pak Imran bisa
dibaca di tulisan berjudul Ketika Emak Blogger Menghadiri Pelatihan Fasad Kebijakan Penguatan Karakter.
Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa iman itu punya 60 cabang,
salah satunya adalah malu – malu kalau dia mendapatkan sesuatu tanpa kerja.
Orang yang beriman dan berilmu tak mungkin mendapatkan sesuatu ”without pain”.
Dia akan menolak jika mendapatkan sesuatu yang mana dia tidak berkontribusi di
situ. Itulah adab, merit system. Salah satu yang akan menghambat
kemajuan negara kita karena terkikisnya rasa malu.
Karakter
itu fondasinya, sesuai dengan tujuan pendidikan kita, yaitu membentuk insan
yang beriman dan bertakwa. Dari situlah dimensi iman berkembang. Dan karakter
tertinggi adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Kuasa.
Kementerian
menciptakan bentuk-bentuk Pendidikan Karakter yang tentunya tidak hanya
berhenti pada level kebijakan. Harus betul-betul terimplementasi di dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan Karakter menjadikan sekolah sebagai sistem
peradaban. Tidak ada negara maju dalam pengamatan Prof. Atip yang pendidikannya
jauh dari pendidikan karakter. Bahkan ditekankan, khususnya pendidikan dasar
sampai SMP.
Pengalaman
ketika di Australia, anak Pak Wamen bersekolah di sekolah dasar, di sana
diajarkan karakter. Teringat dengan kata-kata hikmah “knowledge is power
but character is more”. Kalimat ini tampaknya adaptasi dari surah
Al-Mujadilah ayat 11 tadi.
Suatu
hari anak Prof. Atip diminta oleh gurunya untuk membawakan donasi dari orang
tua tetapi uang yang dimasukkan ke dalam amplop itu tidak boleh dibawa oleh
orang tua, melainkan harus dibawa sendiri oleh anak dan si anak diberi tanda
terima. Dari sini terlihat, anak diajar bertanggung jawab.
Prof.
Atip menyoroti pengambilan rapor yang harus diambil oleh orang tua, bukan oleh
anak sendiri. Mungkin diberlakukan hal ini karena ada anak yang mengubah nilai
rapornya. Sekarang pengambilan rapor oleh orang tua tujuannya kurang jelas,
hanya sekadar ambil rapor.
Prof.
Atip menceritakan saat mengambil rapor anaknya di sekolah di Australia, wali
kelas menceritakan keadaan anaknya saat itu yang baru 6 bulan belajar – yaitu belum
tertarik pada numerasi. Tak apa kata gurunya, mungkin belum saja dia tertarik,
mungkin nanti ada waktunya. Lebih lanjutnya gurunya menyampaikan apresiasi
mengenai buah hatinya yang sudah bisa mengungkapkan pikirannya dalam bahasa
Inggris dengan cara yang tergolong bagus untuk orang asing yang baru 6 bulan
bersekolah.
Terasa
penyampaian guru tersebut mengapresiasi buah hatinya, jauh dari kesan
mendepresiasi. Sang guru memberikan deskripsi, alih-alih sekadar simbol numerik
yang memperlihatkan kekurangan atau kebodohan.
Simbol
numerik (angka) di rapor anak cenderung menjadi punishment ketika tak sesuai
harapan. Zaman ketika dulu ada angka merah. Satu angka merah saja di rapor anak
bisa menjadi fokus kritik atau kemarahan orang tua padahal anaknya sudah terpuruk
dengan angka merah yang ada. Sudah begitu, orang tua hanya membahas angka
merahnya, alih-alih memuji pencapaian lain yang mungkin lebih banyak.
Kembali
kepada penyampaian guru di Australia tadi – betul yang disampaikannya, seiring
berjalannya waktu, akhirnya anak Prof. Atip tertarik dengan matematika. Saat
lulus SMA, buah hatinya itu memilih melanjutkan pendidikan di Fakultas
Kedokteran.
Yang Digugu dan Ditiru dan Tantangan Pendidikan Zaman Now
Prof.
Atip berpesan bahwa kita harus membangkitkan kembali ungkapan bahwa “guru itu
digugu dan ditiru”. Guru itu role model, uswah hasanah, suri teladan.
Guru harus mampu memberikan penjelasan dalam bentuk perbuatan.
Pendidikan
beriringan dengan globalisasi, digitalisasi yang memunculkan tantangan
tersendiri sementara pada pendidik pada umumnya, sebelum memasuki era
globalisasi seperti sekarang, terjadi gap. Pada umumnya orang yang
berpengalaman selalu menoleh ke belakang karena memiliki sejarahnya tersendiri.
Kekhawatiran lebih dikedepankan ketimbang melakukan eksperimen-eksperimen.
Sementara siswa yang mau diajar adalah orang yang belum memiliki sejarah,
mereka nantinya akan memiliki sejarahnya sendiri, mereka “memandang” ke depan. Tantangannya
sekarang, bagaimana melahirkan “cyber character”.
Contoh
kasus diceritakan Pak Wamen, saat kerusuhan akhir bulan Agustus lalu, sejumlah
siswa termasuk anak SMP mengikuti seruan melalui game online. Mereka bertemu
di titik kumpul tertentu, siapa yang berada di lokasi lebih lama, dialah yang
mendapatkan gift lebih besar. Terbayangkan bagaimana beratnya menjadi
pendidik di masa kini, jika berhasil tidak mendapatkan apresiasi, terlebih jika
gagal – punishment-nya bisa bertubi-tubi. Generasi “kolonial” kebanyakan
sudah terkalahkan, menjadi tantangan tersendiri.
Kita
juga menghadapi fenomen “generasi instan” yang serba cepat. Mereka mudah
terpengaruh dan rawan dalam krisis moral, etika, kesehatan mental. Pornografi
dan judi online menjadi tantangan besar tersendiri. Judi online masih
sangat diminati dan permintaannya tinggi bahkan ada orang yang berprofesi
sebagai guru terlibat
Pendidikan
bukan hanya tentang membentuk generasi yang cerdas intelektual dan berkarakter,
melainkan juga siap menghadapi tantangan zaman. Inilah yang dijalankan dalam
program prioritas Kemdikdasmen dalam Pendidikan Karakter. Penguatan melalui
pembiasaan di Satuan Pendidikan melalui Gerakan 7
Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (G7KAIH).
Pembiasaan Menjadi Karakter
Salah
satu esensi dari pendidikan adalah pembiasaan – alah bisa karena biasa. Salah
satu metode pembelajaran adalah dengan mengulang. Dalam pembiasaan G7KAIH sudah
tercakup pendidikan karakter dan ada di dalam keluarga.
Tujuh
Kebiasaan Anak Indonesia Hebat meliputi Bangun Pagi, Beribadah, Berolahraga,
Makan Sehat dan Bergizi, Gemar Belajar, Bermasyarakat, dan Tidur Cepat. Bangun
pagi dan beribadah adalah bagian dari kebiasaan dalam keluarga Indonesia.
“Berolahraga,
harus gerak. Salah satu eksistensi manusia ditentukan oleh kualitas geraknya.
Semakin gerak dia, semakin dinamis dia, semakin eksis sebagai manusia. Kalau
manusia tidak bergerak, sebutannya berubah menjadi mayit (mayat).
Disebut mayit karena tidak bergerak lagi. Kalau belum mati tetap mager –
malas bergerak, itu namanya mayat hidup,” ucap Pak Wamen.
“Gemar
belajar, manusia itu harus selalu belajar. Allamal insana malam ya’lam (bagian
dari surat Al-'Alaq ayat 5, yang berarti ‘Dia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya’, red). Tidak ada manusia yang serba tahu. Ketujuh kebiasaan
itu melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter, tangguh, dan sanggup menghadapi
tantangan zaman,” tukas Prof. Atip.
Kita
tidak bisa menghindar dari teknologi, kita bisa menjadikannya sarana untuk
membantu pendidikan kita. Untuk membantu terlaksananya Pendidikan Karakter,
perlu peran cari Catur Pusat Pendidikan –
sekolah, keluarga, masyarakat, dan media.
Ada
pergeseran paradigma dari schooling ke learning. Sekolah (schooling)
ada batas waktunya, dibuktikan dengan ijazah. Sedangkan learning (mencari
ilmu) tidak ada batas waktunya. Sekolah itu hanya salah satu cara untuk mencari
ilmu.
Jika
keempatnya berjalan secara sinergis maka karakter anak Indonesia akan terbentuk
secara utuh. Dengan adanya kolaborasi Catur Pusat Pendidikan serta dukungan
penuh dari pemerintah daerah maka kebijakan Penguatan Karakter ini dapat
terlaksana dengan baik.
***
“Dari
Sulawesi Selatan dengan budaya siri’ na pacce, diharapkan lahir praktik
baik yang bisa menjadi inspirasi dan teladan dari daerah lain,” tukas Prof.
Atip.
Speech
dari Pak Wamen saya abadikan di blog ini karena sarat
makna dan dalam. Dari apa yang beliau sampaikan, saya yakin, pelatihan yang
akan saya ikuti akan sangat menarik dan bermakna. Sehat selalu Profesor, baarakallahu
fiik.
Makassar, 8 Oktober 2025
Tulisan kedua
B E R S A M B U N G
Share :
0 Response to "Mengupas Makna Pendidikan Karakter"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^