Qadarullah, dua hari yang lalu suami saya harus
menemani kakaknya yang dirujuk di salah satu rumah sakit di Makassar karena
keluhan sakit pada perutnya yang membuatnya nyaris kolaps. Di IGD rumah sakit,
disaksikannya hal-hal yang berbeda. Pelajaran penting yang pak suami dapatkan adalah bahwa kita harus pahami prosedur IGD rumah sakit saat pandemi, jangan emosi dulu.
Setelah menyaksikan hal yang berbeda, seperti bahwa kakak ipar harus melalui prosedur pemeriksaan yang mana para petugas medisnya memakai APD (alat pelindung diri lengkap), pak suami bertanya-tanya pada perawat.
Jadi, semua bagian IGD di rumah
sakit sekarang menerapkan
2 prosedur penanganan pasien. Yang satunya untuk
pasien dengan gejala infeksi, yang lainnya untuk
pasien tanpa gejala infeksi. Tanpa gejala infeksi tak perlu
diperiksa petugas yang mengenakan APD lengkap.
2 prosedur penanganan pasien. Yang satunya untuk
pasien dengan gejala infeksi, yang lainnya untuk
pasien tanpa gejala infeksi. Tanpa gejala infeksi tak perlu
diperiksa petugas yang mengenakan APD lengkap.
Kakak dari pak suami
keluhannya di perut. Bukan gejala Covid-19 tapi demi mengikuti protokol kesehatan
di rumah sakit, dia harus diperiksa dulu oleh petugas yang mengenakan APD
lengkap.
Pemeriksaan pada malam
pertama di rumah sakit melulu yang mengarah kepada pembuktian bersih atau
tidaknya dari virus corona baru pada keesokan harinya dilakukan pemeriksaan berdasarkan
keluhannya.
Berbelit-belit, ya?
Iyaa tapi menurut saya wajar
saja, sih. Soalnya kita berada dalam situasi pandemi. Sekarang ini sudah banyak
tenaga kesehatan (nakes) dan dokter yang terinfeksi virus corona jadi mereka
harus berhati-hati.
Sudah begitu, adalah
fakta bahwa virus ini berkembangnya sangat masif dan tak terduga penularannya sementara
banyak orang yang tak menduga dia tertular dan jadi OTG atau orang tanpa gejala.
Ada pula yang tak jujur jadi wajar saja kalau di rumah sakit ketat pemeriksaan
seperti itu.
Ada satu insiden yang
disaksikan suami saya. Seorang ibu yang membawa anak remajanya marah-marah
kepada dokter dan nakes karena tidak mau menjalani prosedur IGD untuk pasien yang
menunjukkan gejala infeksi.
Ibu itu marah-marah karena
yakin anaknya bukan penderita Covid-19 dan tidak mau menjalani prosedur itu. Anak
si ibu pernah dirawat 2 tahun lalu di rumah sakit yang sama dan dia
menginginkan anaknya mendapatkan perawatan dengan cara yang persis sama seperti
saat itu.
Imbauan sebulan lalu
Sia-sia penjelasan dari dokter
dan nakes yang bertugas karena ibu itu jauh lebih besar rasa emosi negatifnya
dan tidak memedulikan penjelasan apapun. Akhirnya dia membawa pulang anaknya untuk
meminta rujukan di puskesmas padahal nantinya jika dirujuk ke sebuah rumah
sakit dia pun akan melalui prosedur yang sama.
Terbayangkan oleh saya,
ibu itu membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit lain. Di sana dia harus
mengulangi lagi prosedur sejak awal. Justru anaknya semakin lambat ditangani
padahal kalau dia mau melalui prosedurnya dia bisa lebih hemat waktu. Sekarang,
akan makin lama dan semakin berbelit-beli malahan.
Kakak ipar sendiri
mengira dia sudah selesai diperiksa terkait penyakit yang dideritanya. Pak
suami memberitahukan padanya bahwa baru prosedur awal yang dia lalui. Apa boleh
buat, sudah begitu memang protokolnya.
Yang jelas sudah
ketahuan, dia tidak terinfeksi Covid-19, anaknya pun bisa menjaganya selama dirawat
di rumah sakit itu jadi pak suami bisa pulang, hanya datang tiap hari untuk
membelikan kebutuhan kakak dan ponakannya.
Susah memang kalau emosi
sudah naik. Pikiran tak terbuka menerima penjelasan apapun. Kasihan dokter dan
perawat yang berusaha menjelaskan dan melakukan prosedur standard yang
diterapkan di seluruh Indonesia itu.
Mereka harus melakukan serangkain
prosedur seperti itu
bukan berarti menuduh semua pasien terinfeksi Covid-19.
Bukan begitu. Inilah ketetapan yang harus dilaksanakan.
bukan berarti menuduh semua pasien terinfeksi Covid-19.
Bukan begitu. Inilah ketetapan yang harus dilaksanakan.
Terpikirkah bagaimana
perasaan para dokter dan nakes?
Dokter IGD itu hanya bisa
berucap bahwa dia sudah 3 bulan di rumah sakit, ngekos, tidak pulang ke
rumah. Bayinya yang baru lahir dua hari sebelumnya belum dilihatnya langsung.
Seorang teman yang berprofesi sebagai dokter mengatakan kepada saya, perawat di
rumah sakit tempatnya bekerja pun ada yang sudah 2 bulan tidak pulang ke rumah.
Pandemi ini bukan
main-main. Bukan asal-asalan. Teman dokter saya membenarkan prosedur IGD yang
sama juga diterapkan di rumah sakitnya. Mana bisa keluarga pasien menjamin
siapapun sekarang aman dari virus Corona?
Memprihatinkan memang. Saya
juga merasa sedih dengan kabar-kabar tentang mereka yang terinfeksi dan meninggal.
Tapi mau tak mau, kita dituntut menerima situasi dan kondisi yang tak seperti
dulu lagi, utamanya dalam hal layanan rumah sakit. Emosi negatif takkan memberi
solusi.
Namun mohon kiranya, rasa
sedih karena ditimpa musibah tidak membutakan pikiran kita. Emosi takkan
membantu apapun. Tapi yah, pilihan ada pada diri masing-masing bagaimana jika
terpaksa harus berurusan dengan IGD rumah sakit. Pada akhirnya kita yang harus
mempertanggungjawabkan sendiri apapun yang kita lakukan.
Makassar, 4 Juni 2020
Keterangan
Foto-foto dari Pixabay.com.
Baca juga
Foto-foto dari Pixabay.com.
Baca juga
- Corona: Penyakit Kritis Hingga Mutasi
- Menyikapi Virus Corona: Mereka Masih Bersikap Sama
- Corona dan Orang Tua Kita
Share :
Kak, aku gemes banget baca cerita ibu yang ngotot itu. Duh ya, masa nggak tahu seberapa berbahayanya virus ini. Beritanya kan juga sudah meluas kemana-mana. Orang kok egois betul, ya?
ReplyDeletePekan ini aku sudah dua kali menemani kakakku ke klinik gigi. Kami pilih ke klinik daripada RS karena dirasa lebih aman dan nyaman. Sepi memang. Pengunjung pun harus patuh pada protokol di sana. Semua perawat dan dokter gigi mengenakan APD rapat banget. Kata kakakku, dokternya beberapa kali minta kalimat diulang. Mungkin dia kesulitan mendengar ya karena itu rapat banget.
Semoga semakin banyak orang yang bijaksana dalam menghadapi pandemi ini, ya.
Itulah, Mbak. Soalnya kalo emosi begitu kan tidak ada penyelesaian apa-apa ya malah makin lambat penanganannya.
DeleteSemoga bisa menjadu pembelajaran.
Ibu saya kemarin juga pas mau rawat inap di rumah sakit harus Rapid Tes sama rontgen paru-paru, mbak. Mana bayar sendiri pula tesnya. Lumayan banget biayanya
ReplyDeleteLumayan juga ya buat yang biaya sendiri.
DeleteKita mesti mendukung dan memahami prosedur yang ditetapkan RS terutama untuk ruang IGD. bener itu harus ada pemisahan yg jelas antara pasien infeksius dg yg noninfeksi. Sebisa mungkin kl cari RS yg gak menerima pasien infeksi kayak RS Malahayati di Medan itu jelas hanya menerima pasien noninfeksi. Tp kl terpaksa hrs ke RS yg campur seperti itu, mau gak mau hrs patuhi SOP nya
ReplyDeleteNah, iya, Mbak
DeleteWalah, emak-emak always right lah pokoknya yaaaa. Hmmm, hmmm, pengen tak sambat itu ibu-ibu. Ngomong-ngomong soal prosedur baru rumah sakit, minggu lalu saya juga memberanikan diri ke rumah sakit ibu anak untuk mengimunisasi anak kembar saya yang sudah pending 3 bulan. Memang ada sejumlah prosedur yg bikin ribet, tapi sesungguhnya itu juga cara rumah sakit memastikan semua pelayanan memerhatikan standar kesehatan, apalagi musim virus begini kaaan. Jadi yaaa harus patuh.
ReplyDeleteWah skrg beda gt ya di ugd , baru tau. Tp yang jelas smua harus hati2 Dan waspada
ReplyDeleteSaya dan istri masih trauma dengan prosedur salah satu RS di tempat kami, saat istri akan persalinan. Kalau saat pandemik gini, semoga sehat terus biar nvgak ke RS. Aamiin.
ReplyDeleteSelama pandemi ini, memang semuanya harus disesuaikan dengan sikon ya, Mbak. Jadi mau tidak mau, harus mengikuti prosedur juga termasuk IGD.
ReplyDeleteSoalnya memang covid 19 ini tidak main-main. Cepat sekali penularannya. kebayang kalau tidak ada pemeriksaan awal, bisa saja pasien lain yang memang kena covid, menuliskan nakes dan pasien lain.
Semoga kakaknya sudah sembuh ya Mbak Niar
ReplyDeleteMemang mesti maklum kita dengan prosedur IGD saat pandemi begini. Mesti berkepala dingin dan jauhi emosi.
Kalau semua tenang kan bakal lancar urusan dan selamat semua.
Betul ..saat pandemi spti ini emosi harus dikendalikan dan aturan khususnya jika ke IGD atau fasilitas kesehatan harus dipenuhi..semoga kita semua ada dalam lindungan NYA
ReplyDeleteIya mbak dalam kondisi kayak gini paling bener iyasudah manut saja sama aturan yang sudah ditetapkan di RS / IGD demi keselamatan dan kesehatan bersama juga kan. Walau terkesan ribet hehe. Harus sabar dan tenang biar semua lancar
ReplyDeletemakanya di awal pandemi ada himbauan ke rumah sakit hanya tuk yg urgent saja
ReplyDeletejadi krn semua harus sesuai protokol kesehatan dan wajib patuh
saya pernah merasakan nyeri di pinggang sebelah kiri
maklum oktober thn lalu pernah operasi sedang
tp karena bisa diatasi sendiri sy ga ke rmh sakit tuk kontrol
karena mmg prosedur yang ketat perlu kesabaran
semoga covid 19 ini segera berlalu
Betul sekali mba.
ReplyDeleteSuka gak suka prosedur pengamanan di rmh skt terkait covid 19 harus dijalankan.
Demi keselamatan kita bersama.
Bulan April lalu saya tengah malam masuk IGD mba, karena ada gejala covid. Tapi alhamdulillah setelah cek darah ternyata bukan, hanya infeksi virus yang bukan covid
ReplyDeletePapa saya yang sesak nafas karena bronkhitis akut beberapa bulan lalu juga begitu. Ke igd pun cuma boleh ditemani satu orang. Harus sama2 mengerti sih antar pasien dan pihak rumah sakit. Masa pandemi ini berbeda dari biasanya.
ReplyDeleteDeh gemesnya sama si ibu, padahal kalau mau ikut aturan kan lebih hemat waktu dan tidak ribet. Ada memang type orang seperti itu ya, maunya ji yang betul, atau mungkin karena sudah ketakutan duluan lalu emosi untuk menutupi kekhawatiran anaknya terpapar covid19
ReplyDelete