Suster Apung: Kisah Konsistensi Orang Biasa dari Pulau Terpencil

Konsistensi adalah salah satu kunci, mengapa SUSTER APUNG terdengar kembali namanya setelah 2006 lalu memenangkan kompetisi film dokumenter EAGLE AWARD sebagai Best Film, Best Cinematography, dan Viewer’s Favourite.

Konsistensi membuat pada hari Kamis, 19 Desember kemarin, sejumlah orang – termasuk saya, hadir di Ruang AS, BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) untuk menyimak acara bertajuk Inspirasi BaKTI: Diskusi Buku ’Suster Apung’.

Foto: dari page Facebook BaKTI.


Konsistensi 13 Tahun yang Melahirkan Buku


Tiga belas tahun bukan waktu yang sebentar. Tanpa adanya konsistensi maka Ibu Hj. Rabiah – sang Suster Apung dan Arfan Sabran – pembuat film dokumenter Suster Apung tak akan hadir di hadapan para peserta diskusi buku hari itu.

Namun bukan bukan lagi film dokumenter dulu yang dibahas, melainkan film dokumenter berikutnya (Rabiah dan Mimi) dan novel berjudul Suster Apung yang baru saja terbit. Novel Suster Apung ditulis oleh Arfan Sabran, berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama meliput Suster Rabiah sejak tahun 2006.


Foto: dari page Facebook BaKTI

Ah ya, selain itu, kami membahas kehidupan Ibu Rabiah sebagai suster di pulau terpencil Liukang Tangayya di Kabupaten Pangkep yang juga pamong kesehatan di pulau-pulau lain di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Mengenai novelnya, Kak Luna Vidya – moderator diskusi sama sekali tak berkenan membahas isi buku karena takutnya bakal menimbulkan spoiler. Kak Luna hanya berkenan menunjukkan “cara memasuki novel Suster Apung” ini supaya para peserta diskusi memiliki dan membaca bukunya.


Oke, makanya saya tak akan membahas bukunya. Soal buku ini nanti saja saya bahas ya, soalnya buku milik saya sedang dalam proses pengiriman setelah pesan online, memanfaatkan voucher Gramedia, hadiah dari memenangkan challenge menulis pada Peringatan 13 Tahun Komunitas Blogger Makassar.

Arfan Sabran konsisten menjadi pencerita. Dari film ke buku, hanyalah pilihan media berceritanya. Dia mengaku banyak belajar dalam proses “memindahkan frame pencerita dari bentuk film ke buku” karena besarnya perbedaan antara keduanya. Meskipun dalam membuat film ada proses menulis juga – menulis story line tetap saja berbeda dengan menulis sebuah novel.

Ketika mencoba mengulik proses kreatifnya inilah – berhubung saya juga seorang pencerita yang menulis di blog, saya terperangah. Saya mencoba memperjelas mengenai sejak kapan Bang Arfan berproses hingga meluncurkan buku Suster Apung, jawabannya adalah sejak tahun 2006.

Dia meriset dalam waktu lama, tidak terburu-buru. Memasukkan catatan-catatan dan rekaman-rekaman wawancara juga. Selain itu, Bang Arfan memasukkan pengalaman pribadinya juga di dalam buku Suster Apung.


Misalnya ketika tersesat di tengah lautan dan meminta bantuan kepada seorang pemancing di tengah laut dan ketika bertanya kepada orang yang mahir navigasi berdasarkan alam (melihat bintang). Diakui oleh lelaki yang juga berprofesi sebagai Dosen Biologi FMIPA Unhas ini bahwa dirinya banyak berproses dalam menuliskan novel ini. Wow!

Konsistensi Pengabdian Ibu Rabiah


Konsistensi Ibu Rabiah tidak pernah bisa meruntuhkan kecintaannya kepada pulau, kehidupan di atasnya, dan para penduduknya. Mengapa dia begitu betah di pulau? Jawabannya adalah karena ketulusan warga pulau selalu membuatnya rindu untuk kembali. Jangankan dua bulan, tinggal selama sebulan saja di daratan pulau Sulawesi, dia sudah tidak betah.


Ibu Rabiah dalam Kick Andy

Warga pulau senantiasa mengajaknya mampir ke rumah mereka. Berbeda dengan warga di darat. Ibu Rabiah bahkan pernah sampai mengalami kecelakaan karena dipanggil-panggil dengan begitu hebohnya oleh seseorang. Dikiranya ada yang sakit padahal hanya sekadar mengajaknya mampir ke rumahnya.

Perjuangan perempuan kelahiran tahun 1957 ini dilanjutkan oleh putrinya Mimi. Kepedulian dan kecintaannya kepada masyarakat pulau membuat Ibu Rabiah masih kembali ke pulau walaupun sempat mengatakan hendak berhenti, pada kenyataannya dia melanjutkan pengabdiannya.



Saat seharusnya sudah pensiun, pensiunan ASN yang bertugas sebagai perawat sejak tahun 1978 ini masih kembali ke pulau untuk mendampingi Mimi bertugas dan memberikan petunjuk.


Ketika moderator bertanya mengenai perubahan yang terjadi, Ibu Rabiah mengatakan bahwa saat ini warga pulau sudah lebih menghargai dan menginginkan tenaga medis, tidak seperti dulu yang sangat mengandalkan dukun.

Trailer Suster Apung (The Floating Nurse)

Namun tetap saja belum merata ketersediaannya. Aparatur Sipil Negara belum ada di setiap pulau. Ada pulau yang bahkan tak memiliki satu pun tenaga medis sukarela. Sepertinya masih perlu berproses mencari solusi dengan melihat wilayah Sulawesi Selatan yang terletak di Laut Flores itu merupakan bagian dari NKRI, seperti kata seorang bapak dalam diskusi ini.

Menurut bapak tersebut sekat provinsi perlu ditiadakan dalam penerimaan tenaga medis kesehatan. Bisa saja tenaga kesehatan yang diterima berasal dari Nusa Tenggara atau Bali jika memang wilayah tersebut lebih dekat dengan pulau yang membutuhkan tenaga kesehatan, ketimbang menunggu orang Sulawesi Selatan yang mendaftar.


Setidaknya ada perkembangan ke arah yang lebih baik walau masih sulit mendapatkan orang yang mau mendaftar untuk mengabdi di pulau-pulau terpencil di sekitar Kabupaten Pangkep karena letak geografisnya lebih sulit dijangkau dari Sulawesi Selatan.

Konsistensi Seorang Gadis Kecil Mengejar Mimpinya


Ibu Rabiah mengisahkan tentang masa sekolahnya. Orang tuanya tak tahu dia mendaftar di sebuah SMP yang berjarak sekira 5 km dari rumahnya. Waktu itu, hanya dia anak perempuan di kampungnya yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP.


Teks Cerita Inspiratif, Biografi Ibu Hj. Rabiah

Kepada orang tua, dia beralasan hendak mengikuti PORSDA (pertandingan olahraga) makanya harus pergi berlatih. Setelah berbulan-bulan akhirnya orang tuanya tahu juga kalau putrinya bersekolah. Sebelum subuh, Rabiah kecil terjaga dan bersiap berangkat ke sekolah. Kokok ayam jantan menjadi alarm kapan dia harus berangkat ke sekolah.

Meski harus menempuh perjalanan sejauh 5 km dengan berjalan kaki, Rabiah selalu yang paling dulu tiba di sekolah. Tak pernah sekali pun sepupu-sepupu lelakinya yang juga bersekolah di SMP yang sama memboncengnya dengan sepeda mereka.

“Pantatku tidak pernah disentuh sama boncengan sepedanya,” ujar Ibu Rabiah. Luar biasanya, berkat ketekunanannya, Rabiah bisa meraih ranking 2 atau 3 di sekolahnya.

Sumber foto: page Facebook BaKTI.

Saat menceritakan tentang masa kecilnya ini, hadirin tertawa mendengar gaya bertutur Ibu Rabiah. Perempuan yang dulu pernah dijuluki “bidan anak-anak” ini mengatakan bahwa sepupu-sepupu lelakinya itu tak pernah dapat ranking.

Ucapannya disambut oleh Kak Luna dengan seloroh yang membuat kami tertawa lagi, “Padahal mereka naik sepeda, tidak dapat ranking. Na kita’ jalan kaki ji.”

Konsistensi dalam Menjalankan Tugas


Menjadi perawat adalah harapan perempuan penjinak  tingginya gelombang Laut Flores ini sejak dulu. Jika dulu dia mengunjungi pulau-pulau dengan perahu tanpa mesin, bahkan terkadang harus mendayung perahu sendiri. Kini dia berharap ada yang mau mengikuti jejaknya karena sekarang tak ada lagi perahu yang tak bermesin, semuanya sudah menggunakan mesin.

Dimulai dengan penolakan, merupakan tantangan tersendiri. Kepercayaan kuat masyarakat kepada dukun dan adanya guna-guna juga merupakan tantangan lain. Walaupun bertubuh mungil, Ibu Rabiah akhirnya bisa membuktikan kompetensinya sebagai petugas kesehatan.


Jalannya Inspirasi BaKTI 19 Desember 2019

Dalam film Suster Apung, Ibu Rabiah bercerita terpaksa memberikan obat kadaluwarsa kepada pasiennya – yang untungnya tak ada pasiennya yang bernasib buruk setelahnya. Dulu fasilitas komunikasi belum sebaik sekarang, jadi sering kali dia berangkat dengan membawa peralatan seadanya atau malah tak membawa peralatan sama sekali.

Kadang-kadang, dia datang saja ketika dipanggil tanpa petunjuk gejala apa yang dialami pasiennya. Terpaksalah dia mengira-ngira tindakan apa yang harus diberikan. Kini keadaan sudah jauh lebih baik. Dengan fasilitas telekomunikasi kabar mengenai gejala yang dialami menjadi acuannya dalam membawa peralatan.

Tentang Konsistensi Orang Biasa


Suster Apung adalah cerita tentang ORANG BIASA yang perlu kita petik hikmahnya. Mengapa? Karena kita adalah orang biasa yang harus berjuang dalam mengarungi garangnya kehidupan. Cerita perjuangan orang biasa ada di buku Suster Apung.

Mungkin di dalam novel ada kisah Ibu Rabiah, orang biasa yang pergi ke Bali untuk belanja kebutuhan dapur. Hanya 6 jam saja dari Liukang Tangayya menuju Lombok. Dari Lombok ke Bali, Ibu Rabiah belanja bumbu dapur. Dari Bali ke Surabaya, baru balik ke Makassar.

Sampul buku Suster Apung.

Novel ini bukan adaptasi dari filmnya. Buku Suster Apung bercerita mundur sekian tahun, mulai dari bagaimana kelahiran Ibu Rabiah, bagaimana menghadapi pasien pertama di pulau lalu berkeluarga. Bagaimana ketika suaminya meninggal dan dia kembali ke pulau. Berikut kisah suka-duka masyarakat pulau.

Sampai di sini, bukan hanya novel Suster Apung yang membuat saya penasaran. Saya juga penasaran dengan perjalanan film Rabiah dan Mimi yang kami nonton pada akhir diskusi. Film yang mendapat penghargaan Best Pitch Color of Asia pada TokyoDocs 2019 baru-baru ini juga lahir dari konsistensi Bang Arfan Sabran yang masih berpotensi berelasi dengan hal-hal lain lagi.

Mungkin saja film ini masih bisa menggaet penghargaan seperti “kakaknya” – film Suster Apung yang juga meraih Highly Commended for Best Documentary pada 12th Asian Television Award di Singapore, pada tahun 2007.


Meminjam ungkapan Kak Luna Vidya, “Kehidupan orang biasa berakar kuat, tidak pernah instan.” ... saya kira demikianlah kehidupan Ibu Hj. Rabiah dan proses kreatif Bang Arfan. Itulah mengapa saya yang juga orang biasa ini sangat menikmati Inspirasi BaKTI hari itu.

Semoga kelak masih ada kesempatan dan kemungkinan menyimak episode-episode berikutnya dari Ibu Rabiah, Mimi, dan Bang Arfan.

Makassar, 22 Desember 2019


Baca 60 catatan saya dari berbagai acara yang diselenggarakan oleh BaKTI di label BaKTI.

Baca juga:


Share :

26 Komentar di "Suster Apung: Kisah Konsistensi Orang Biasa dari Pulau Terpencil"

  1. Luar biasaa kisah suster apung ini. Kayaknya belum tentu juga sanggup aku berdedikasi seperti itu mba. Aku pernah juga baac kisahnya dan sungguh salut. Smoga berbalas pahala

    ReplyDelete
  2. Menurutku mereka bukan orang biasa. Mereka sungguh luar biasa. Dan setuju dengan sara sesebapak untuk menghilangkan sekat provinsi dalam penempatan tenaga medis

    ReplyDelete
  3. Tokoh yang inspiratif banget ya kak...Aku jadi pengen baca bukunya...meskipun udah sering lihat ulasannya di tv

    ReplyDelete
  4. Orang biasa yang luar biasa ya, mba.
    Salut dengan perjuangannya di zaman dulu dengan komunikasi yang super sulit.
    Benar-benar pengin nonton filmnya.

    ReplyDelete
  5. Suster apung junjungan kita semuaaaa

    Aku meweekk kalo lihat video dokumenternya Mbaaa. Sungguh luar biasa rasa tulus ikhlas yg ada d kalbu beliau yaaa

    Keren bgt ada novelnya jugaaa

    ReplyDelete
  6. Buku seperti ini sangat menginspirasi, tetapi juag sekaligus bikin saya malu sama diri sendiri. Merasa banget deh kalau saya belum setangguh, seperti sosok-sosok yang ada di Suster Apung.

    ReplyDelete
  7. Wah, salut banget dengan perjuangan suster apung... Menginspirasi... Pengen banget cari dan baca bukunya...

    ReplyDelete
  8. salut. tidak banyak orang seperti beliau. suster apung, dedikasi beliau sungguh luar biasa. padahal sekarang banyak yg menjadikan penempatan di kepulauan hanya sebagai batu loncatan namun beliau saat sudha pensiun pun malah kembali dan menemani putrinya

    ReplyDelete
  9. Kisah yang lunar biasa. Menurut saya ibu Rabiah bukanlah orang biasa, beliau sosok perempuan luar biasa.

    Semoga akan makin banyak pemuda pemudi yang terinspirasi oleh kisahnya dan melanjutkan perjuangannya memberikan pelayanan di pulau-pulau di Sulawesi selatan

    ReplyDelete
  10. Belum lama ini aku baca tentang dokter apung, sekarang membaca ringkasan tentang suster apung. Sangat luar biasa sekali ini, jarang sekali ada orang yang seperti beliau ya mbak.

    ReplyDelete
  11. Masya Allah tekat belajarnay tinggi ya sejak kecil. Anak SMP peralihan dari SD tapi sudah mikir jauh ya. Bohong sedikit sama orangtuanya demi melanjutkan pendidikannya salut banget buat Ibu Rabiah. Kegigihan beliau berlanjut hingga dewasa ya dengan menolong orang lain sebagai suster apung.

    ReplyDelete
  12. Membaca artikel ini mengajarkanku bahwa tidak perlu menunggu jadi sosok luar biasa untuk memiliki konsistensi.

    ReplyDelete
  13. Masya Allah, terharu aku baca ini, perjuangannya benar-benar hebat,s dengar tentang Suster Apung ternyata dari Pangkep ya..aku pengen baca bukunya Kak..

    ReplyDelete
  14. Ya Allah Ibu Rabiah... orang biasa yang super hebat. Aku langsung teriris hatinya ketika tahu masa kecil Ibu Rabiah yang melanjutkan SMP berjarak 5 km, terus enggak pernah diboncengkan sekalipun oleh sepupu-sepupunya yang laki-laki.

    ReplyDelete
  15. Beberapa kali nonton kisahnya saat diwawancarai di TV swasta, saya merasa salut dengan dedikasi nya. Jadi penasaran pengen baca bukunya aja, dibandingkan nonton film dokumenter Suster Rabiah

    ReplyDelete
  16. Ga banyak yang mau emang ya mb
    Sulitnya medan dan keterbatasan alat obat kadang berpikir dua kali mau ditempatkan di sana. Untung ada bidan rabiah ini yg dilanjutkan anaknya :")
    Perjuangan mereka masih sangat panjang dan butuh pemerintah

    ReplyDelete
  17. Masya Allah, inspiratif sekali hidup Bu Rabiah. Saya jadi ingat juga dulu saya mendaftar SMP dan harus berjalan kaki 5 km menuju sekolah. Tapi tetap saja tidak merasa jauh.

    ReplyDelete
  18. MAsyaAllah aku antara bangga dan mris sih mbak. Bangga karena ibu suster ini mau mengabdi sampai segitunya. Miris krn pelayanan kesehatan di area2 tertentu blm bagus dan belum lengkap. Semoga pelayanan kesehatan makin merata dan bu suster pekerjaannya makin mudah ya

    ReplyDelete
  19. Thumbs up untuk dedikasi dan konsistensi luar biasa yang ditunjukkan suster kita. Banyak sekali pasti orang - orang yang sudah terbantu yaa

    ReplyDelete
  20. Kisahnya sangat relate dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Sungguh inspiratif dan layak sekali buku Suster Apung dibaca usia anak sekolah. Agar selalu semangat menuntut ilmu agar menggapai apa yang diimpikan.

    ReplyDelete
  21. Hebat ya mb, perjuangan yang dilakukan suster apung ini. Perjuangan dan pengorbanan demi kemanuasiaan. Kepedulian semacam ini yang perlu ditularkan kepada generasi-generasi sekarang.

    ReplyDelete
  22. Ibu Rabiah merupakan contoh orang biasa dengan kontribusi kepada negara yang luar biasa. Pantang menyerah menaklukkan masyarakat yang tadinya tak percaya dengan dunia medis ya.

    ReplyDelete
  23. Sebuah buku klo ada sentuhan pengalaman pribadinya tuh menurut aku jadi nilai plus deh. Betasa ada jiwanya gitu pas baca.

    ReplyDelete
  24. Salut banget sama ibu Hj rabiah. Dedikasi beliau sungguh luar biasa. Aku belum mampu seperti beliau kak, jauh sedikit dari suami dan anak-anak saj aaku jadi galau

    ReplyDelete
  25. dedikasinya sungguh luar biasa
    jadi terinspirasi atas kegigihan mereka

    ReplyDelete
  26. mereka semua adalah contoh dari orang-orang yang luar biasa dan menginspirasi kita agar menjadi penerus dari mereka yang luar biasa tersebut

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^