Ati Raja: 8 Hal Menarik dari Film yang Berkisah Tentang Lelaki dalam Pusaran Rasa

Bagaimana pendapat Anda jika mengetahui ada lagu daerah yang usianya lebih tua dari republik ini masih sering dinyanyikan hingga kini? Luar bisa, kan? Nah, lagu berbahasa Makassar ini: “Ati Raja“ yang berarti kebesaran jiwa/hati masih dinyanyikan hingga saat ini lho!

Ada fakta lain tentang lagu ini yang membuat saya takjub ketika nonton film Ati Raja tanggal 10 November lalu. Yaitu bahwa pencipta lagu Ati Raja adalah seorang seniman muslim, peranakan Tionghoa bernama Ho Eng Dji.


Film Ati Raja yang Berkisah Tentang Lelaki dalam Pusaran Rasa


Film ini bercerita tentang kehidupan Ho Eng Dji dalam berkesenian. Dia menciptakan lagu-lagu berbahasa Makassar dan menjadi bagian dari sebuah kelompok musik yang senantiasan memainkan lagu tradisional.

Baba Coi atau Coi (nama panggilan Ho Eng Dji) mulanya bekerja sebaga karyawan toko kain namun dia lebih senang menjadi seniman. Sempat mencoba peruntungan di Pulau Mutiara, Coi kembali ke Makassar untuk kembali berkesenian. Takdir baik datang padanya, Bersama kawan-kawannya dia diajak bekerja sama dengan produser dari Surabaya.

Konflik terjadi seputar hubungannya dengan keluarga kecilnya, dengan perempuan-perempuan yang dekat dengannya, dan dia pernah dihina terkait strata sosial. Salah satu konflik mengantarnya ke penjara untuk beberapa lama. Kesemua konflik itu membawanya ke dalam pusaran rasa.


Kesan saya secara umum mengenai film besutan sutradara Shaifuddin Bahrum ini adalah: BAGUS dan MENARIK. Menontonnya seolah berada di dalam pusaran rasa yang mengepung si tokoh utama.

Bukan hanya pusaran rasa sehubungan dengan beberapa perempuan. Namun juga dalam mempertahankan harga diri keluarga, keutuhan keluarga, dan harga dirinya sendiri.

Sekarang mari kita kupas, apa saja yang menarik dari film ATI RAJA


1. Film Sejarah yang Humanis


Setting waktu dalam film ini pada tahun 1930 – 1940-an. Memuat gambaran kehidupan masyarakat Makassar pada tahun-tahun itu. Di antaranya harmonisasi antara masyarakat asli Makassar dengan warga keturunan Tionghoa.

Ho Eng Dji, berbincang tentang pekerjaan dengan keluarganya.

Menariknya di sini ada sisi humanisme dalam ulasan kehidupan Coi. Membincangkan sejarah memang menarik dan sebaiknya sembari menelisiki sisi-sisi humanis yang melingkupinya, bukan sekadar deretan angka yang menunjukkan tanggal dan tahun.

Salah satu sisi humanis Coi adalah sisi dirinya yang memikat beberapa perempuan dan membiarkan harapan menari-nari di sekitar perempuan-perempuan itu. Namun pada dasarnya dia adalah lelaki berkepribadian baik meski sesekali menyenangkan dirinya dengan ballo’- tuak khas Makassar.

Kebaikan hatinya mengantarkannya pada konflik dengan orang-orang di sekitar Ailina, Yancu, dan Soang Kie. Ya, bukan hanya konflik dengan perempuan-perempuan itu sendiri, melainkan dengan sekelilingnya.

Pada salah satu adegan, konflik yang terjadi menyebabkan sekelompok perempuan bergosip mengenai Coi yang dikatakan membawa lari istri orang. Adegan yang lain memperlihatkan di Pulau Mutiara sekelompok lelaki menghajarnya karena ngobrol dengan istri orang.

Yang mau nonton Ati Raja.

2. Berdamai dalam Keberagaman


Tergambar dalam film ini bahwa pada tahun 1930-an pun, percampurbauran antara keturunan Tionghoa dengan orang asli Makassar merupakan hal yang lazim. Misalnya dalam kelompok musiknya, Baba Coi merupakan satu-satunya peranakan Tionghoa namun tak pernah ada masalah dengan hal ini.

Dalam pesta yang diselenggarakan oleh warga Tionghoa, akulturasi – seperti pertunjukan lagu Makassar merupakan hal yang biasa. Bahkan serdadu Belanda juga mengundang Coi dan kawan-kawannya untuk bermain musik.

Sumpu – sahabatnya dalam bermusik yang orang Makassar asli beberapa kali menjadi penolongnya ketika mengalami masalah. Termasuk ketika melindungi Soang Kie dan anak-anaknya.


3. Nasionalisme Seorang Seniman


Ho Eng Dji menunjukkan jiwa nasionalismenya ketika diajak sahabatnya bergabung dengan Partai Islam Tionghoa. “Kenapa kita tidak merasa bahwa kita ini orang Makassar? Makan dan minum dari tumbuhan dan mata air yang terpancar dari bumi Makassar. Kenapa bawa-bawa nama Tionghoa padahal nenek dan kakek kita orang Makassar dan kita orang Makassar?”gugatnya.

Menjawab pertanyaan itu, sahabatnya menjawab bahwa mereka juga punya kepentingan yang perlu disuarakan secara khusus.

4. Ho Eng Dji yang Memiliki Ati Raja


Kesan yang saya peroleh tentang sosok Ho Eng Dji dengan bagaimana dia memaknai lagu Ati Raja ciptaannya adalah bahwa lagu ini buah dari keyakiannya kepada Allah. Merupakan hasil dari perenungannya selama bertahun-tahun tentang makna kehidupan dan hubungannya dengan Sang Pencipta.

Mau tahu? Yuk simak paragraf pertama lagu Ati Raja:

Se're-Se're ji batara baule

Ati raja nakijai pa'nganroi baule
Rajale alla kereaminjo
Ati ... Ati ... Ati raja
Natarima pappala'na baule

Artinya:
Hanya ada satu Tuhan
Kebesaran jiwa, hanya kepada-Mu kami meminta
Apapun itu yang sesungguhnya
Ati ... Ati ... Ati raja (kebesaran jiwa)
Pasti akan diterima segala permintaan


Masa-masa paling sulit bagi Coi adalah ketika menjalani hukuman dipenjara karena tindakannya membela kehormatan keluarganya membawa korban. Ketika masih di dalam penjara, dia mendapat kabar ayahnya meninggal.

Di penjara.

Penjara bukan hanya merenggut kebebasannya, juga mata pencariannya. Masih berkutat dengan perasaan-perasaan tidak enak karena kehilangan dua hal tersebut, mendadak ayahanda yang dicintainya meninggal dunia.

Bukan hanya rasa kehilangan ditanggungnya. Makin tak berdaya perasaannya mengingat dua perempuan yang dia cintai – ibu dan adiknya tak ada yang melindungi di rumah.

Dalam kegalauan dan perenungannya, tercetus rangkaian rintihan monolog jiwa dan curhat-nya kepada Sangkala – teman satu selnya. Saya mencatat sedikit di antara percakapan itu:

Seandainya bukan kebesaran jiwa (ati raja),
Saya memilih mati daripada hidup.
Akan kutunjukkan usahaku melawan kepedihanku.

Setelah melewati rangkaian monolog dan dialog, tatapan kosong dan ekspresi galau seorang Ho Eng Dji berganti menjadi ekspresi yang menunjukkan tekad yang kuat mengenai visi cerah yang harus disongsongnya.

5. Bahasa Makassar dalam Film


Hal yang paling saya suka dari film ini adalah sekira 70% dialognya menggunakan bahasa Makassar dan sisanya dalam bahasa Indonesia. Tetapi tak perlu khawatir karena ada sub title berbahasa Indonesia yang bisa disimak dengan jelas di sepanjang film, koq.

Ya, meskipun saya bukan penutur asli bahasa Makassar – hanya numpang lahir dan besar di Makassar, senang sekali menyaksikan film berbahasa Makassar bisa sekeren ini. Meskipun produksi Makassar, film ini tak kalah dengan film yang diproduksi para sineas yang sudah lebih dulu terkenal – setidaknya menurut perspektif saya, ya.

Official trailer film Ati Raja

Kemasan filmnya oke dalam hal pengambilan gambar. Meskipun tak semua artis berakting maksimal dan natural, saya melihat ada usaha untuk tampil baik. Dari awal hingga pertengahan, tak henti benak saya dipenuhi tanda tanya - menebak-nebak selanjutnya bagaimana? atau siapa yang akan berperan nanti?

Banyak tanya yang timbul demi menyimak alur maju-mundur, mengingat nama-nama yang tak familiar, dan menebak tahun berapa setting film yang berkisah tentang musisi sekaligus penyair yang lahir di Kassi Kebo (Kabupaten Maros) tahun 1906 dan wafat di Makassar tahun 1960 ini.

6. Pusaran Rasa di Antara Para Perempuan


Bukan hanya rasa berbunga-bunga dalam kisah cinta yang rumit. Tiga perempuan yang bikin saya menebak-nebak yang mana akan menjadi pendamping Baba Coi juga menciptakan pusaran rasa lain. Ada rasa perih di hati juga sakit di fisik.

Pun ada kepiluan yang menusuk bagai sembilu. Misalnya ketika ibunda yang dicintai berkeras tak mau menerima Coi menikah di rumahnya. Atau kepiluan yang timbul ketika melihat perempuan-perempuan itu tersakiti. Kalau saya bilang, Baba Coi ini seorang yang sangat baik sekaligus labil dalam urusan cinta. Kabar baiknya, dia memilih perempuan yang tepat untuk menjadi istrinya.

Merayu Ailina di Pulau Mutiara.

7. Perlindungan Perempuan


Dalam beberapa bagian, film yang berada dalam naungan produksi Persaudaraan Peranakan Tionghoa Makassar (P2TM) ini juga berbicara tentang isu perlindungan perempuan. Yaitu bahwa perempuan yang menjadi istri patut dilindungi dan dihargai, bukannya diperlakukan sebagai obyek dan hak milik.

Diceritakan dalam film ini, beberapa kali Coi mengkritik sahabatnya yang menjadikan istrinya hanya sebagai obyek dan hak milik. Membentak, berkata-kata kasar, menghina, caci-maki, memerintah, hingga memukul biasa dia lakukan kepada istrinya. Ketika tak tahan lagi, sang istri melawan. Anak mereka membela ibunya. Buntutnya sang sahabat mengusir istri dan anak-anaknya.

8. Selipan Humor


Meskipun ber-genre drama sejarah dengan bumbu syair dan lagu Makassar, di dalam film yang naskahnya ditulis juga oleh sutradaranya – Shaifuddin Bahrum ini ada selipan-selipan humor. Misalnya pada adegan percakapan berbahasa Makassar antara Ho Eng Dji yang tengah mabuk dengan tukang becak.

Ah ya, mungkin di bagian ini yang mengerti segolongan orang saja. Saya mengerti ketika si tukang becak menyebut “setan Sumiati” lalu lari meninggalkan Coi, mengapa sebagian penonton tertawa. Setan Sumiati ini sosok hantu “urban legend” di Makassar. Sewaktu duduk di bangku sekolah dasar tahun 1980-an, saya masih sering mendengarnya.


Lagu Ammaciang, ciptaan Ho Eng Dji

Tetapi adegan kue yang disembunyikan di dalam bas gitar dan menimbulkan bau busuk pasti bisa dimengerti dan mengundang tawa semua orang. Dalam bahasa gambar, tanpa perlu menyimak dialog, penonton pasti bisa paham mengapa ada kue-kue basi di dalam bas gitar itu.

Dalam film ini, saya bisa menyaksikan betapa menariknya sejarah dalam bahasa film yang tepat meskipun hal ini menjadi tanda tanya:

Bagaimana Perjuangan Ati Raja Menuju Populer?


Jujur, saya berharap menyaksikan kisah perjuangan kelompok musik Baba Coi dalam menjalani rekaman di Surabaya dan bagaimana sampai lagu ini dikenal luas dan masih dinyanyikan sampai saat ini. Filmnya berhenti pada setting tahun 1942, saat pendudukan Jepang.

Setelah adegan berlatar tahun 1942 itu ada running text yang menceritakan bagian setelahnya. Sayangnya saya tidak bisa menangkap semua tulisan. Yang sempat terekam oleh saya adalah bahwa pada tahun 1945, Coi kembali ke Makassar. Pada tahun 1953 dia bertemu presiden Soekarno untuk berbincang mengenai budaya. Setelah itu Ati Raja dikenal luas oleh masyarakat.

Running text yang menceritakan tentang kehidupan Ho Eng Dji
setelah tahun 1942.

Lampu telah menyala, saya bertatapan dengan kawan yang duduk di kursi sebelah. “Mauku ada happy ending,” ujarnya. Saya mengiyakan. Entah sama atau tidak keinginan kami. Saya berharap menonton lanjutannya ketika film tiba-tiba usai pada adegan pendudukan Jepang.

Saya berharap masih menonton adegan visual mengenai step-step berikut tentang keberhasilan Ati Raja tersebar luas di masyarakat dan bagaimana kehidupan pribadi Ho Eng Dji setelah menikah. Tapi rupanya harus puas filmnya berhenti tanpa melihat itu semua.

Suara saya mungkin bukan suara mayoritas penikmat film. Saya pun tak akan mengatakan “harusnya begini” atau “harusnya begitu” karena saya memahami film sebagai karya seni di mana para kreatornya bebas menerjemahkan seni dalam perspektif mereka di dalam film. Tanda tanya yang muncul itu hanyalah noktah dari sekian banyak hal menarik dan inspiratif dalam film yang layak Anda nikmati ini.

Makassar, 15 November 2019

Keterangan tambahan:
  • Selama hidupnya, beberapa lagu ciptaan Ho Eng Dji populer hingga saat ini, di antaranya Ati Raja, Sailong, Dendang-dendang, dan Amma Ciang.
  • Produser: Arwan Tjahjadi, Ancu Amar
  • Sutradara dan penulis naskah: Shaifuddin Bahrum
  • Para pemain film: Fajar Baharuddin, Jennifer Tungka, Stephani Andries, Chesya Tjoputra, Goenawan Monoharto, Zulkifli Gani Otto, Noufah A. Patajangi, Saenab Hasmar, Agung Iskandar, dan Gregorius.





Share :

18 Komentar di "Ati Raja: 8 Hal Menarik dari Film yang Berkisah Tentang Lelaki dalam Pusaran Rasa"

  1. Makin bangga dengan kearifan lokal ya Mak Niar!
    Sukaaaakkk banget kalau kreator film semakin menampilkan kisah2 yg mengakar kuat pada local things seperti ini.
    semoga makin banyak insan perfilman yg berkiprah, memberikan sajian tayangan yg menarik, aamiiin

    ReplyDelete
  2. Makasi kaka reviewnya. Baru tau aku ada film keren gimi

    ReplyDelete
  3. Film yang menceritakan masa lalu selalu punya sisi menariknya sendiri. Meski mungkin ada beberapa yang beranggapan bahwa mungkin saja filmnya akan membosankan.

    Bangganya punya Indonesia dengan banyak budayanya. Good job makassar.

    ReplyDelete
  4. Katanya seru ya film ini mengangkat budaya makassar. Pengen nonton juga sih cuma filmnya sudah closed di bioskop.

    ReplyDelete
  5. Lagu sepanjang masa jadinya ini kak, semoga terus dilestarikan ya 😊

    ReplyDelete
  6. keren sekali ini film. rasanya taggantungki masih mauki cerita selanjutnya. tapi deh luar biasa memng ati rajanya baba co kah kalau saya itu tdk sanggupma

    ReplyDelete
  7. Waah, ada referensi film buat weekend nih. Jadi pengen ajak suami nobar deh. Kayanya filmnya bagus nih mbak. Penasaran

    ReplyDelete
  8. Film daerah yang menarik. Apa ditayangkan di bioskop seluruh Indonesia? Perpaduan antara sejarah dan romansa.

    ReplyDelete
  9. setelah membaca tulisan kak naar baru saya tau kalau ati raja itu adalah kebesaran jiwa, terharu sekali baca ungkåpan yg kt tulis, akan ku tunjukkan usahaku melawan kepedihanku, sesulit apapun hidup ini kita tetap harus menjalaninya.. :')

    ReplyDelete
  10. Ya ampun keren banget. Setting filmnya totalitas banget ngambil sekitar tahun 40-an

    ReplyDelete
  11. Aku belum nonton ini BUnd, betapa syarat akan makna dan banyak pengetahuan ya
    apalgi soal kebesaran jiwa yang dimiliki. Mari bersama melestarikan film daerah. Penasaran versi layar lebarnya

    ReplyDelete
  12. Film berlatar sejarah yang harus diapresiasi. Mengangkat kearifan lokal yang sudah mendunia.
    Salutku buat Ho Eng Dji.

    Sayang saya belum nonton filmnya tapi baca reviewnya kak Niar, bisa sedikit paham isi film itu. Filmnya bercerita tentang perjalanan hidup Ho Eng Dji sampai tercipta lagu Ati Raja dan akhirnya bisa dikenal luas masyarakat setelah pertemuannya dengan Presiden Soekarno.

    ReplyDelete
  13. Sejak awal munculnya film ini saya sangat tertarik, sayangnya waktunya tak pas. Pas mau nonton pas pula saya ngajar. Syukurlah kita review ki jadi adalah gambaran sedikit soal film sejarah ini. Sayangnya, kurang promosi secara nasional di, jadi kurang gaungnya .

    ReplyDelete
  14. Aku blm nonton filmnya pastinya maknanya bagus banget dan memberikan pesan yang berarti yah kak

    ReplyDelete
  15. Waktu ke Makassar awal bulan ini sempat lihat baliho film ini di jalan-jalan, langsung penasaran sama filmnya. Sayangnya nggak sempat nonton di bioskop pas tayang so baca ulasan Kak Niar ini bikin penasaran saya makin bertambah deh.

    ReplyDelete
  16. Hahahaa... ada tong pakakkalana ino film. Katanya karet mahal, jadi jangan pakai karet banyak banyak tuk ikat barang yg sdh terjual. Bisa bangkrut hahahaa...

    ReplyDelete
  17. tertarik sekali menonton film ini setelah membaca ceritanya. masih ada ini di bioskop kak?

    ReplyDelete
  18. Keren nih filmnya, dengan menggunakan 70 % bahasa Makasar, jarang ada film yang menggunakan bahasa daerah luar Jawa.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^