Makassar dalam Histori dan Cagar Budaya

Makassar dalam Histori dan Cagar Budaya - Seminar yang saya hadiri pada tanggal 13 April kemarin itu pada garis besarnya membicarakan tentang pelestarian cagar budaya. Sebagai bagian dari sejarah, tentunya yang dibicarakan juga bukan hanya sekadar cagar budaya namun juga sejarah.

Lalu, apa yang dimaksud dengan cagar budaya? Pengetian cagar  budaya menurut: UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya adalah  warisan  budaya  bersifat kebendaan  berupa  BENDA  CAGAR  BUDAYA,  BANGUNAN CAGAR  BUDAYA,  STRUKTUR  CAGAR  BUDAYA,  SITUS  CAGAR BUDAYA,  dan  KAWASAN  CAGAR  BUDAYA  di  darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya  karena  memiliki  nilai  penting bagi sejarah,  ilmu  pengetahuan,  pendidikan,  agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.


Cagar budaya memiliki sifat: rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan upaya penyelamatan dan pelindungannya. Oleh karenanya cagar budaya kita harus dilestarikan.

Nah, apa saja di Makassar yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya? Semua warga kota mungkin sudah tahu benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba Opu, ya. Keduanya termasuk cagar budaya di kota ini. Selain itu ada Museum Kota Makassar, Gereja Katedral, dan beberapa kompleks makam tua.

Ada 6 situs lagi di kawasan pecinan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, yaitu Klenteng Ibu Agung Bahari, Klenteng Xian Ma, Klenteng Kwang Kong, Rumah Leluhur Lie, Rumah Leluhur Nio, dan Rumah Leluhur Thoeng.

Pak Laode M. Aksa, sebelah kiri (duduk di depan)

Dalam materi berjudul Antara Pelestarian dan Perlindungan, “Ceritera Baru dari yang lama”, Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa, M. Hum – Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa penataan lingkungan bangunan bersejarah yang baik adalah mengarah pada pembangunan yang rekreatif, penciptaan ruang, dan environment serta arah pengembangan ke depan yang merekomendasikan berbagai sasaran desain penataan pembangunan sebagai daya tarik kawasan.

Pak Aksa menceritakan upaya pelestarian Fort Rotterdam dan tempat-tempat lain, di mana pencarian bahan bangunannya harus mencari ketersediaan stok lama. Namun demikian biasa pula ditemui adanya kendala.

Permasalahan pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan kuno bersejarah dengan tuntutan kebutuhan zaman akan bangunan-lingkungan modern. Di sisi lain masih banyak ditemukan adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak bangunan sebagai situs cagar budaya. Belum lagi menghadapi kepentingan sepihak pihak-pihak lain.

Celebes Monument

Dikatakan pula bahwa kota yang baik adalah kota yang memiliki kenangan tahapan pembangunan, di mana kota  bagaikan mahkluk hidup yang tumbuh dan berkembang, kemudian mati apabila tidak terpelihara. Hal ini menyiratkan bahwa suatu kota pasti memiliki kawasan bersejarah.

Kawasan bersejarah merupakan suatu kawasan yang didalamnya terdapat berbagai peninggalan masa lampau dari terbentuknya suatu kota, baik berupa wujud fisik historis maupun berupa nilai dan pola hidup masyarakatnya, serta kepercayaannya.

Pada presentasinya, Pak Aksa menyelipkan gambar Celebes Monument yang di puncaknya ada bentuk obelisk dan membawa malaikat perdamaian. Patung hadiah dari ratu Belanda itu dahulu menjadi penanda titik nol yang kemudian dipajang di sekitar gedung RRI. Sekarang patung itu ada di Fort Rotterdam.


Pak Dias Pradadimara – dosen Sejarah di Universitas Hasanuddin menjadi nara sumber berikutnya dengan topik Membentuk Kota Makassar: Perkembangan Kota, Heritage, dan Cagar Budaya. Membuka presentasinya, Pak Dias menyampaikan bahwa “Makassar” sebagai kota yang kita ketahui sekarang tidaklah alami terbentuknya. Ada modal, kekuasaan, dan resistansi masyarakat terlibat di dalamnya.

Pak Dias lebih melihat Makassar dalam sudut pandang heritage (warisan (budaya) masa lalu, ada yang berbentuk benda dan ada yang tak benda). Dalam hal ini bukan gedung per gedung, melainkan kawasan kota.

Lantas timbul pertanyaan, “Yang mana kota Makassar?”

Pak Dias (berdiri)

Kata Makassar mengacu kepada 3 hal: pertama: suku/orang/bahasa Makassar, kedua: mengacu kepada kesultanan Gowa-Tallo, dan yang ketiga: ibukota. Untuk ibukota, dahulu yang disebut dalam lontarak adalah Kalegowa sebagai pusat/ibukota (terletak di daerah Tamalate, Sungguminasa).

Kota Makassar tak disebutkan dalam catatan sejarah spesifik sebagai kota. Sebelum abad 17, nama Jumpandang yang justru disebutkan sebagai nama tempat – ditemui dalam sebuah catatan lontarak yang dibaca Pak Dias.

Dari sebuah lukisan yang terkenal yang berasal dari abad ke-17, disebutkan kota Somba Opu (“Stadt Sombaopu”), bukannya “Kota Makassar”. Kota Sombaopu adalah kota yang dibangun sebagai tempat berdagang.

Teman-teman blogger.

Di akhir abad ke-16, kesultanan Gowa membangun belasan benteng, dari Kalegowa, Anagowa, Panakukang, dan seterusnya sampai Jumpandang dan Ujung Tanah. Pembangunan benteng yang bertujuan menahan serangan dari arah laut itu menimbulkan konflik dengan kerajaan-kerajaan sekitar.

“Tenaga kerja pembangunan benteng diambil dari daerah-daerah lain seperti Soppeng dan seterusnya. Keluarga Arupalakka misalnya dibawa dari Soppeng dan dijadikan tenaga kerja,” ujar Pak Dias.

Setelah perang, seluruh benteng harus dibongkar. Termasuk benteng Jumpandang yang harus diserahkan kepada VOC dan diperintahkan dibongkar pada tahun 1669. Benteng Jumpandang ini menjadi markas VOC dan berganti nama menjadi Fort Rotterdam.

Catatan traveling Wallace, dari presentasi Pak Dias

“Setelah Fort Rotterdam penuh barulah bergeser ke Vlaardingen. Kira-kira dekat dengan tempat kita ini (jalan Lombok, maksudnya). Inilah yang diisi oleh mereka yang dianggap dekat dengan VOC,” imbuh Pak Dias.

Orang-orang Melayu dan orang-orang Bugis, juga Wajo mendiami wilayah-wilayah tersendiri. Saat itu orang Wajo tidak dianggap sebagai orang Bugis oleh VOC. Catatan pada abad ke-17 dan abad ke-18 tentang Makassar:
  • Heather Sutherland (2004: 28-29), adanya Kampung Melayu, Kampung Wajo sebagai Negorij, munculnya Nieuwe Negorij, dan pentingnya Muurstraat (jalan Timor).
  • Batas kota sisi utara yakni Grootestraat (jalan Sumba), batas timur Burgerwachtstraat (jalan Jampea)


Pada abad ke-19, ditemukan Catatan Alfred Wallace (seorang naturalis yang ke Makassar 1856).
Macassar was the first Dutch town I had visited, and I found it prettier and cleaner than any I had yet seen in the East. The Dutch have some admirable local regulations. All European houses must be kept well white washed, and every person must, at four in the afternoon, water the road in front of his house. The streets are kept clear of refuse, and covered drains carry away all impurities into large open sewers, into which the tide is admitted at high-water and allowed to flow out when it has ebbed, carrying all the sewage with it into the sea. The town consists chiefly of one long narrow street, along the sea side, devoted to business, and principally occupied by the Dutch and Chinese merchants' offices and warehouses, and the native shops or bazaars.  This extends northwards for more than* -mile, gradually merging into native houses, often of a most miserable description, but made to have a neat appearance by being all built up exactly to the straight line of the street, and being generally backed by fruit trees. This street is usually thronged with a native population of -Bugis and Macassar men, who wear cotton trousers about twelve inches long, covering only from the hip to half-way down the thigh, and the universal Malay sarong, of gay checked colours, worn round the waist or across the shoulders in a variety of ways. Parallel to this street run two short ones, which form the old Dutch town, and are enclosed by gates. These consist of private houses, and at their southern end is • the fort, the church, and a road at right angles to the beach, containing the houses of the Governor and of the principal officials. Beyond the fort again, along the beach, is another long street of native huts and many country houses of the tradesmen and merchants. (Wallace 1872:  212).

Catatan berikutnya mengenai batas kota Makassar adalah pada tahun 1888. Batas utara dan barat adalah laut. Batas selatan adalah Losari – maksudnya adalah di taman dekat Perpustakaan Kota Makassar (Jalan Sultan Hasanuddin).

Bersama Kang Asep Kambali, founder komunitas Historia
Indonesia. Foto: Abby Onety.

Pada awal abad ke-20, batas kota meluas lagi. Batas selatan kota adalah (kampung) Mattoanging. Sebelah timurnya adalah Maricaya-Maradekayya. Setelah menjadi kotapraja, batasnya meluas lagi. Di sebelah selatan di Sungai Bontobaru (ada yang tahu di mana itu?).

Dari presentasi Pak Dias, bisa kita pahami bahwa kota Makassar itu berkembang dari daerah Fort Rotterdam hingga makin meluas seperti sekarang ini. Materi berikutnya adalah mengenai asimilasi orang Tionghoa di Makassar, dilanjutkan dengan jalan-jalan di sekitar kawasan pecinan yang berada dekat Hotel Dinasti, tempat Seminar Nasional Merawat Cagar Budaya Kita berlangsung.


Makassar, 21 April 2019

Bersambung

Catatan: tulisan ini merupaka tulisan kedua


Baca juga:




Share :

1 Komentar di "Makassar dalam Histori dan Cagar Budaya"

  1. Dari catatan Wallace, tergambar jelas kalo dulunya Makassar itu bagus banget ya. Indah dan bersih. Dan pantas aja dulu ada kebiasaan menyiram depan rumah setiap sore, ternyata hal itu sudah dilakukan sejak jaman dulu, hehe..

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^