Membincangkan Perubahan: Menjadi Pahlawan atau Sang Bijak

Diskusi buku Mengubah & Menginspirasi – Cerita Tentang Perubahan yang berlangsung di kantor BaKTI yang berlangsung tanggal 10 Agustus lalu masih menyisakan kenangan. Bukan saja pengetahuan mengenai konten buku tersebut saya peroleh tapi juga hal-hal lain yang menarik. Diskusi pada akhirnya bukan hanya pada buku namun menjadi berkembang tetapi tetap menarik.


Pak Alwy Rachman (akademisi Universitas Hasanuddin dan budayawan), seperti biasa mengajak berkontemplasi. Mengembalikan pesan buku ke dalam diri kita melalui pertanyaan-pertanyaan 3 what  (3 “apa”) berikut ini:
  • Apa sebenarnya yang bisa kita pelajari dari buku ini?
  • Apa dampaknya terhadap kita, apakah berdampak pada orang lain?
  • Kita mau apa?

Tutur Pak Alwy tidak hanya seputar pandangan filusuf dan budaya bahwa perempuan itu kuat namun juga mengenai definisi perubahan dan segala sesuatu terkait perubahan. 

Kak Ema Husain (Husaima Husain) yang aktivis SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi) juga tidak hanya mengupas isi buku. Kak Ema pada akhirnya berbagi kisahnya dan melemparkan bahan diskusi baru kepada Pak Alwy dengan gaya interaksi yang membuat saya terpesona. Walaupun topiknya serius, diskusi ini tidak berlangsung dengan serius apalagi tegang. Ada guyonan-guyonan segar terselip sepanjang diskusi.

Tantangan Perubahan pada Diri Seorang Perempuan

Ketika memutuskan untuk berubah dari zona nyaman yang diwarnai perilaku koruptif, Kak Erma tidak melalui jalan mudah. Mula-mula harus menundukkan diri dulu, membiasakan diri berjam-jam antre (untuk urusan KTP misalnya) padahal dulu tinggal telepon bisa melenggang masuk sebagai “orang penting” dan mengambil hak banyak orang yang sudah lebih dulu antre. Tawaran memotong antrean pun ditolaknya, sebagai konsekuensi dari pilihannya.

Kak Ema, Pak Alwy, dan Kak Luna

Kak Ema yang dulunya kalau ke kantor gubernur tinggal menghadapkan wajah ke arah CCTV maka dengan segera panggilan datang, sekarang rela antre berjam-jam menunggu giliran. Yang dulu mudah saja mendapatkan uang dalam jumlah besar, sekarang harus bertanya kembali mengenai jumlah uang yang diterima sudah sesuai prosedur atau tidak. Tak mudah pada awalnya namun kemudian Kak Ema berhasil menundukkan dirinya.

Selanjutnya bukan semata pujian yang diperolehnya, ada yang mencibir, menganggapnya munafik. Atau bercerita di belakangnya karena tak lagi memberi hadiah kepada guru-guru anaknya. Bukan tanpa alasan, menurut Kak Ema pemberian hadiah kepada guru itu berimplikasi kepada perilaku guru kepada anak-anak muridnya, hal ini bisa dibuktikan.

Lalu butuh diskusi panjang dengan suami untuk sama-sama berubah dan menjaga idealisme. Mungkin menjadi lebih miskin secara materi tetapi secara psikis, perubahan ini tidak bisa ditukan dengan apapun. Meski tak dikatakannya secara gamblang, saya kira Kak Ema merasa lebih bahagia menjalani kehidupannya yang sekarang. Menurut Kak Ema: “Perubahan dari diri sendiri bisa memengaruhi keluarga, lalu lingkungan.”

Menjawab pertanyaan mengenai perempuan, kemiskinan, dan kemalasan – Kak Ema berucap, “Struktur kemiskinan itu bukan karena miskin dan malas atau dia malas karena dia miskin tetapi juga karena dimiskinkan. Proses memiskinkan ada yang terstruktur. Bagaimana ketidakmampuan perempuan mengakses sumber-sumber daya. Siapa yang lebih cepat miskin? Laki-laki atau perempuan? Perempuan lebih cepat miskin. Hadirnya kemiskinan ini karena adanya sebuah struktur yang dihadirkan oleh kekuasaan dan membuat perempuan terjebak dalam kemiskinan. Dalam kondisi miskin, laki-laki lebih cepat move on. Perempuan tidak karena banyak kondisi di sekitar dia. Dia harus menyelesaikan semua sudut di sekelilingnya. Perempuan misalnya memikirkan besok bagaimana dan lain-lain.”



Saya teringat penjelasan Pak Alwy mengenai aktivasi bahasa pada perempuan itu ada pada kedua belah bagian otaknya (kiri dan kanan). Bila ada masalah, telaah perempuan terkait kerja dua belahan otaknya. Mungkin tak dibahasakannya secara lisan atau tulisan tetapi secara “bahasa kalbu”. Sebagai perempuan, saya juga merasakannya sendiri, hehe.

Perubahan Perilaku dan Sistem

Terkait mengubah perilaku, Pak Alwy memulai dari area domestik dan publik, “Domestik itu lawan dari konsep publik. ‘Publik’ itu sama sekali tidak merujuk ke orang banyak. Publik adalah wadah untuk bertindak secara adil sebagaimana domestik. Karena di publik banyak orang, banyak identitas maka publik tidak bisa dikuasai oleh sekelompok orang. Masak hanya satu agama yang boleh demo yang lain tidak? Masak kamu kasih kawin dan tutup jalan? Bagi banyak orang itu tidak adil.”

“Tidak ada bedanya dengan domestik. Domestik itu juga harus adil hanya saja kepentingannya keluarga, primordial. Masyarakat kita tidak terlatih untuk memahami publik. Jadi kadang-kadang ada di wilayah publik tapi mentalnya domestik. Atau dia di domestik tapi mentalnya publik. Misalnya di jalan raya mengemudi seperti mengemudi di dalam rumahnya sendiri. Dia yang salah, dia yang lebih dulu marah seolah rumahnya. Ini menjadi soal kita, bagaimana memahami hal itu,” imbuh Pak Alwy.

Kata Pak Alwy, perilaku itu harus diubah lewat sistem. Contohnya sistem di bandara yang berliku-liku sehingga memperlambat manusia tiba di tempat barang. Kita puji karena sampai di tempat barang, barang kita sudah tiba juga. Di dunia ini ada kebenaran yang imperatif. Ada yang legalistik. Misalnya hukuman mati adalah kebenaran yang dilegalkan. Sistem mempengaruhi perilaku. Biasanya Begitu kalau kita berpikir sistem. Makanya ada yang bilang system influence behaviour. Jadi, sistem itu sebenarnya memengaruhi perilaku.

“Kenapa jalan raya kita seperti revolusi saja rasanya?
Karena ndak ada sistemnya. Ketika marah:
tabrak, belok semau-maunya. Karena
tidak ada sistem yang memengaruhi perilaku,”
Pak Alwy memberi contoh lain.

Hello, we are heroes!


Perubahan itu dimulai dari individu yang berkesadaran. Tanda-tandanya sadar. Orang yang sadar tidak akan bersuara tanpa wacana. Orang yang sadar itu sampai di wacana.

Suara  bunyi  kata  gagasan  wacana

Sejarah Yunani tidak memasukkan perempuan dan anak-anak sebagai konstituen karena waktu itu perempuan tidak punya gagasan, hanya suara saja.

“Lalu apa bedanya dengan kucing? Kucing kan hanya suara saja. Hewan tidak sampai pada kata, hanya suara saja. Dia tidak bisa bertindak membangun peradaban karena tidak bisa sampai kepada wacana. Kalau perempuan hanya bersuara tapi tidak berwacana maka bisa dituduh oleh para filusuf: ‘Apa bedanya dengan binatang?’ Laki-laki juga begitu,” Pak Alwy menegaskan lagi.

Itu sejarah Yunani. Di Indonesia sekarang banyak sekali perempuan terdidik. Contohnya menteri perempuan kita hebat-hebat.

Nah, setelah wacana membawa perubahan,
perempuan mau diposisikan
sebagai hero atau wisdom?

Kenapa kita di dunia ini berkecenderungan menjadi pahlawan? Di segala ranah kita lebih mencari pahlawan. Di dunia politik, ekonomi, kelaki-lakian yang dicari adalah pahlawan. Padahal menurut Galileo Galilei, “Pahlawan itu adalah tanda-tanda masyarakat yang sedang sakit.”

Sang Bijak tak perlu lampu sorot.

“Tidak mungkin kita tidak cari pahlawan kalau kita sedang tidak sakit. Karena sakitnya kita maka kita cari pahlawan. Maka gampang mencari masyarakat sakit, selalu mencari pahlawan. Yang mestinya dicari adalah wisdom – sang bijak,” pungkas Pak Alwy Rachman.

Makassar, 27 Agustus 2018

Mau jadi hero atau wisdom? Mari kita renungkan, apakah kita mementingkan berada di bawah lampu sorot super terang dan semua orang memandang ke arah kita sembari bertepuk tangan riuh? Ataukah kita tak peduli bila tak kena lampu sorot, tak menjadi bahan berita ataupun cibiran dan tetap melangkah menyusuri kehidupan dengan konsisten pada nilai-nilai kebaikan?


Simak juga tulisan mengenai diskusi buku ini di:




Share :

12 Komentar di "Membincangkan Perubahan: Menjadi Pahlawan atau Sang Bijak"

  1. Yah itulah sistem dan saya tahu betul bagaimana rumitnya berada dalam pusaran itu. Butuh keimanan yang tinggi dan keikhlasan melepaskan ego agar dapat terlepas dari sistem yang membelit. Dan itulah sekarang yang saya coba perjuangkan. Berangkat dari diri sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang paling sulit adalah melawan diri sendiri, ya Kak

      Delete
  2. Super sekali Kak..jadi terinspirasi dan tetap konsisten dalam kebaikan.

    Salam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, ya sudah mampir. Ucapan yang sama untuk Sahyul.

      Delete
  3. Lengkap reportasenya. Baca tulisan ini rasanya ikut hadir di eventnnya

    ReplyDelete
  4. Kak Ema itu hebat ya, bisa punya prinsip gak kaso hadiah ke guru anaknya. Kalo saya sih ngasih hadiah semisal ole2 kalo anak dari liburan, saya pikir wajar aja sebagai tanda sayang dan perhatian kepada guru

    ReplyDelete
  5. Saya fokus ke perempuan yang lebih berpotensi cepat miskin karena punya hambatan mengakses sumber daya, sudah begitu kalah cepat lagi sama laki-kali dalam ber move on. Tapi kalau saya pribadi jadi perempuan itu banyak anugerah kelebihan yang justru bikin kita tidak harus miskin atau kelihatan miskin.
    Wah, bakalan panjang kali lebar inii kalau diulas. Kak Mugniar memang jagonya menulis reportase. Lengkap, detail dan bikin kita tergerak untuk bertindak. Sangat informatif kakaaa.

    ReplyDelete
  6. Wuihhhhh shock ka ttg memiskinkan wanita dan menjauhkan mereka dari segala sumber daya betul juga itu di tawwaa .. uhuhu . Makasih sharing tulisannya kak Niar . Selalu ada pengetahuan baru

    ReplyDelete
  7. Sebuah sistem dibuat dengan maksud untuk memperbaiki prilaku dan membuat sebuah proses kerja menjadi lebih baik, secure dan berpola. Sayangnya banyak orang yang merasa punya kuasa suka memotong jalur yang telah ada. Semoga kita bisa berproses jadi manusia yang lebih baik, seperti contohnya Ibu Emma ditulisan di atas.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^