Mencari Hikmah di Perhelatan Akbar Wisuda Santri

Lapangan Karebosi sudah penuh dengan santri dan pengantarnya ketika saya dan putri saya – Athifah tiba di sana pada pagi hari tanggal 10 Mei kemarin. Di bagian tribun tempat duduk para santri menjelang remaja sementara para pengantarnya duduk di bawah tenda di atas lapangan rumput. Saya mengamati kursi-kursi yang bertebaran. Tak jelas apakah ada tanda di mana nomor 1659 – nomor urut Athifah bisa duduk. Para santri yang akan diwisuda duduk tak beraturan dijaga para pembinanya.


“Ada yang duduk di kursi itu, Pak?” tanya saya pada seorang bapak yang berdiri di antara para santri. “Ada. Ada orangnya di sini,” jawabnya.

Saya menengok pesan WA. Ada yang baru dari pembina TPQ di mana Athifah belajar mengaji. Saya pun bergegas menuju lokasi yang disebutkannya. Singkat cerita, cukup lama juga baru kami bisa bertemu di antara ribuan orang. Athifah dan teman-temannya – yang berasal dari TPQ yang sama duduk terpisah-pisah. Pembinanya mengatakan, tadinya dia mengambilkan sederetan kursi untuk para santrinya namun panitia menyuruh yang lain mengisi kursi-kursi yang kosong. Yah, apa mau dikata. Suasana dengan lebih dari 3000 orang di dalamnya pastilah disertai dengan chaos.

Acara Wisuda Santri ini merupakan acara tahunan yang digelar Departemen Agama Kota Makassar. Semua santri TPQ sekota Makassar diwisuda bersama-sama di sini. Mereka berusia 10 – 12 tahun dan sudah melalui ujian “bebas buta aksara al-Qur’an”. Saya mengapresiasinya, penting juga sebuah instansi ataupun lembaga menyelenggarakannya. Namun mengapresiasi bukanlah berarti seperti itu juga pendapat saya pribadi.


Saya mungkin anti mainstream. Tidak menganggap seremoni sebagai yang terpenting. Lebih dari seribu enam ratus anak diwisuda di satu sisi menjadikan situasi dan kondisi di saat seperti ini menjadi tidak nyaman bagi anak-anak. Putriku mulai mengeluarkan erangan lirih, "Sakit Kepala, Ma. Sakit kaki, Ma."

Mencarikan kursi untuk Athfah butuh perjuangan. Karena dia tak mendapatkan kursi untuk duduk maka saya mencarinya. Tak enak meminta kursi pada seorang ibu yang duduk manis di dekat para santri. Padahal saya bisa saja melakukannya kalau saya mau karena bukan hak pengantar duduk di situ. Pengantar ada tempatnya sendiri - di lapangan rumput yang di atasnya sudah didirikan tenda. 

Hanya santri yang berhak duduk di kursi di tribun yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah manusia yang hadir di sana. Bayangkan, satu santri bisa diantar oleh lebih dari 1 orang, bahkan hingga 4 orang dan tak semua pengantar mau duduk cantik di bawah tenda. Sama halnya saya, mau berada di dekat putri saya! Maka saya harus berjalan kaki sekira dua ratusan meter, ke tempat para pengantar santri duduk untuk mendapatkan sebuah kursi kosong. Oh bukan, kursinya tidak kosong. Sebuah tas perempuan sedang duduk di situ. Kemungkinan pemiliknya -  seorang ibu yang sedang menemani anaknya duduk di tribun. Di sekitar kursi  itu ada seorang bapak yang sedang duduk melantai dan dua anak kecilnya.

Tabe’, Pak, ada yang duduk di sini?” tanya saya sopan.

Iyye, ada,” jawab bapak itu.

Saya menghela napas namun tetap berusaha demi si putri mungil yang sudah mulai merasa tak nyaman, “Anakku ndak dapat kursi, Pak. Baru sakit mi kaki dan kepalanya. Ngng, tapi ada yang duduk di sini, dih?”

Si bapak mengangguk. Tak ada harapan. Saya berbalik dan mulai melangkah kembali ke tempat putri saya berada.


“Ambil maki’,” si bapak rupanya tak tega dan memberikan kursi itu untuk saya. Alhamdulillah. Senang sekali mendapat rezeki tak terkira. Saya mengangkat kursi dan membawanya kepada si putri mungil. Dalam hati saya berdo’a, semoga Allah merahmati bapak itu dan keluarganya.

Tak seperti biasanya saat menghdiri acara, kali ini saya tak menyimak seremoni apa yang terjadi di atas panggung. Saya kemudian sibuk saling kontak dengan pembina TPQ Athifah yang belum ketemu juga di mana posisinya saat itu. Sementara pikiran saya mengembara, mencoba merenungi, hikmah apa yang bisa saya ambil dari event ini. Faktanya, kami sekarang berada di sini, mengikuti keinginan mayoritas ibu-ibu santri TPQ dekat rumah yang ingin melihat anaknya pakai baju wisuda dan toga.

Saya terus mencari hikmah apa yang membuat saya berada di sini. Karena tanpa seremoni pun saya menghargai upaya sungguh-sungguh si putri mungil melalui serangkaian ujiannya menuju bebas buta aksara al-Qur'an. Saya berkali-kali mengatakan pada anak-anak bahwa saya menghargai proses, bukannya hasil. Saya kira anak-anak akan belajar pula bahwa hasil yang baik akan tercipta kalau proses yang dilalui baik dan penuh kesungguhan. Saya ingin anak-anak belajar banyak dari semua pembelajaran yang mereka jalani. Bukan sekadar bangga dengan toga dan baju wisuda yang hanya kami sewa. Apalah arti kemampuan baca-tulis dan hafal kalau tiba-tiba Allah menghendaki mengambilnya?

Yah, mari kita lihat apa yang bisa kita pelajari di tempat ini, Nak. Yang jelas, perhelatan akbar wisuda santri seperti ini bukanlah akhir. Bukanlah pencapaian fantastis. Perjalanan kita masih panjang, yaitu tentang apakah dan bagaimana kau menjadikan kitab suci kita sebagai pedoman hidupmu. Semoga Allah me-ridhai jalan kita hingga di akhir masa.

Makassar, 11 Mei 2018

Bersambung



Share :

2 Komentar di "Mencari Hikmah di Perhelatan Akbar Wisuda Santri"

  1. Aah kuterharu :') Barakallah ya Athfah :) Semoga selalu mencintai Al-Qur'an. Aamiin :')

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^