Merindu Sang Pembuat Telur Mata Sapi Gepeng

Bulan ini tulisan di blog ini tak sebanyak bulan-bulan lalu. Adanya musibah di keluarga kami membuat saya harus jauh lebih banyak menyediakan waktu di dunia nyata ketimbang mengurusi blog dan media sosial. Ibu mertua saya, di penghujung tahun lalu mengalami serangan jantung ketiga (akibat kelelahan yang teramat sangat) hingga dari rumah sakit Pare pare harus dirujuk ke Pusat Jantung Terpadu di kawasan Universitas Hasanuddin. Beruntung beliau hanya 10 hari di rumah sakit. Tidak seperti kejadian di tahun 2016 lalu, saat terjadi serangan pertama dan kedua – saat itu beliau harus dirawat inap selama 40 hari.

Suami saya menjaga ibunya selama sakit di Pare pare hingga Makassar. Sudah kewajibannya demikian, seperti juga ketika 40 hari di tahun 2016 itu. Maka dari itu, waktu saya harus jauh lebih banyak dialokasikan ke dunia nyata karena pak suami yang biasanya bersama-sama bahu-membahu mengerjakan banyak hal di dalam rumah dan mengurusi anak-anak tidak ada. Seperti soal antar-jemput anak, harus saya kerjakan sendiri hingga memasakkan anak-anak. Kalau sesekali anak-anak meminta “telur mata sapi gepeng” pada ayahnya sehingga saya boleh berlega hati, kali ini tak ada Papa.


Si Papa menemukan formula telur mata sapi yang membuat dua anak terkecil senantiasa meminta dibikinkan. Buatannya memang berbeda dengan telur mata sapi yang biasa saya buat. Telur mata sapi buatannya pipih dan minim minyak goreng.

Suatu ketika saya pernah membuat Athifah marah. Ketika itu dia meminta papanya yang membuatkan telur mata sapi tetapi karena lupa, saya membuatkannya ala saya. Alhasil dia menolak memakan telur mata sapi buatan saya dan tetap meminta papanya membuatkan sembari ngomel-ngomel. Saat pak suami mengatakan supaya saya belajar, saya ogah. “Biar saja, supaya mereka punya hal yang dirindukan dari Papa, toh?” saya berkilah. Saya perlu dalih, dong supaya saya bisa sering-sering beristirahat. Jangan sedikit-sedikit harus saya yang melakukannya, iya kan? 😝

Namun saat ibu mertua dirawat di rumah sakit saya harus menerima kalau “semua harus Mama yang melakukan”. Anak-anak sesekali membantu, sih tapi tetap tak seperti kalau ayahnya yang membantu. Tapi, yah semuanya tetap harus diterima dengan lapang dada sembari mengingatkan diri untuk menjaga kesehatan dan mengingatkan pak suami akan kesehatannya pula.

Athifah yang paling lebay ketika tak ada papanya. Beberapa kali dia menangis. "Rindu papa", katanya. Bahkan suatu malam, dia membawa foto Papa di dekatnya sebelum tidur. Saya tertawa dan meledeknya, “Istrinya saja tidak begitu, masa’ Kamu begitu?” Namun demikian saya senang karena itu berarti ada Papa di hatinya. Keusilan pak suami kepada putri satu-satunya selama ini, tak membuatnya jauh dari putrinya. Athifah merindukannya hingga air matanya berlinang-linang! Kabar bagus, bukan?

Saya masih ingat ketika 40 hari pak suami nyaris tak pulang pada tahun 2016 lalu. Ketika itu ibu mertua 10 hari di rumah sakit di Pare pare, dirujuk ke RS Wahidin selama 30 hari di ICU jantung. Selama itu, hanya dua kali pak suami pulang, itu pun hanya sekira 1 – 2 jam saja. Bukan main merindunya si putri mungil. Saat kami ke rumah sakit menjenguk neneknya, setiap pulang pasti ada drama. Athifah akan memeluk erat papanya sebelum naik pete’-pete’ (angkot), berlanjut dengan dia menangis sesenggukan hingga beberapa saat setelah pete’-pete’ meninggalkan rumah sakit.

Berbahagialah ketika anak-anak menunggu kepulanganmu, wahai Ayah.
Si bungsu Afyad kali ini lebih menerima kalau papanya tak pulang karena menjaga Nenek di rumah sakit tapi setiap saat dia bertanya dengan cadelnya, “Jam belapa Papa pulang?” Si sulung Affiq sesekali menanyakan papanya. Dia tentu paham sekali dengan kondisi kami. Bagi saya, anak-anak menanyakan papanya itu pertanda bagus, bahwa ada Papa di hati mereka. Mengerikan kalau anak-anak kita tak hendak bertanya-tanya kita ke mana setelah sekian lama tak pulang-pulang, bukan? Jangan dikira tidak ada anak yang merindukan orangtuanya, lho. Anak-anak yang tak merindukan orangtuanya ada!

Lalu saya bagaimana? Tidakkah saya kangen? Tentu saja saya kangen. Mamak juga manusia, kan? Kami tak pernah berpisah lama selain karena pak suami harus menjaga ibunya di rumah sakit. Lha setiap harinya saja kalau pak suami pergi saya menanti kepulangannya dengan penuh harap dan baru tenang ketika dia sudah tiba di rumah. Tapi saya bukan tipikal orang yang memperlihatkan rasa kangen ... ehm kecuali saat sedang berdua saja. Ekspresi saya biasa saja tapi hati saya memendam rindu. Uhuy. Wajarkan, yah, namanya juga suami-istri.

Walau merindu, saya bahagia pak suami mau merawat ibunya. Dengan telaten beliau mengurusi makan ibundanya hingga buang airnya. Dengan cekatan mencari tahu perihal penyakit ibunya, hingga memberikan semua obatnya dengan takaran yang sudah ditentukan. Dengan cerdas mencari suplemen yang bisa membantu mempercepat proses pemulihan ibunya. Saat baginya untuk birrul walidain. Alhamdulillah-lah, masih diberi kesempatan berbakti kepada ibunda. Saya berharap, anak-anak menyerapnya sebagai pengetahuan dan sebagai “keharusan” bahwa seperti itulah seharusnya seorang anak kepada ibunya. Semoga.


Makassar, 23 Januari 2018


Share :

12 Komentar di "Merindu Sang Pembuat Telur Mata Sapi Gepeng"

  1. Saya baca sampai habis, sa kira ada mi dipaparkan apa rahasia bikin telur mata sapi gepeng yg dirindukan itu 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang dirindukan pembuat telur mata sapinya Nanie, jadi resepnya ndak dibahaslah hahaha. Lagian, gayaku ji pake kata "formula", telur mata sapi biasayya ji, cuma cara bikinnya khusus. Penasaran? Inbox, ya, Sist. #apasih :)

      Delete
  2. sehat2 terus ya semua keluarga dan ibu mertua mba Niar

    ReplyDelete
  3. Aamiin... Semoga ibunda sang Ayah cepat sembuh ya Mbak. Saya pernah dengar sebagaimana kita memperlakukan orang tua, begitu juga anak-anak kelak akan memperlakukan kita. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Sekarang - alhamdulillah, sedang dalam masa pemulihan, Mbak. Banyak perkembangan baiknya. Terima kasih, ya, Mbak.

      Delete
  4. Ahh, so sweet. Suami Bunda sudah berhasil jadi idola anak2 dan istri tentunya. Btw kalau ada keluarga yang sakit memang kita harus ekstra semuanya. Baik sabar, sehat juga biaya. Semoga segera diberikan kesembuhan ya, Bund.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Iya, harus mengusahakan untuk tetap sehat sekaligus menjaga kesehatan keluarga, Mbak. Terima kasih ya Mbak Damar.

      Delete
  5. Sosok papa yg dapat menjadi teladan bagi anak2nya. Ga cuma sayang sama keluarga tapi juga berbakti kepada ibunya.
    Hmm, saya penasaran sama telur mata sapi gepengnya. Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ... in syaa Allah, semoga istiqomah.

      Penasaran? Hahaha, biasa saja, Mbak Pipit. Digorengnya di wajan anti lengket biasa, koq. Setelah itu .... ditaburi garam saat masih di penggorengan. Begitu saja tapi anak-anak suka. Mungkin karena membuatnya dengan penuh kasih makanya anak-anak suka, ya Mbak hehehe.

      Delete
  6. Eh iya..saya pun penasaran seperti apa rupa dan rasa telur mata sapi gepeng itu! Hahah..

    Btw Alhamdulillah suami ta masih bisa berbakti merawat Ibunya ya kak.. Semoga sehat selalu mertua dan suami ta.

    ReplyDelete
  7. Ini anak2ku banget, selalu kangen ama papi saking deketnya :D. Dilain pihaj, aku mah malah seneng, jd ga terlalu dicari2 mereka apalagi kalo aku sdg traveling bareng temen yg agak lamaan :) . Tp wajar sih kalo anak2ku lbh deket ke papinya, krn memang jauuuh lbh sabar dan ngemong dibanding aku. :D.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^