Bagaimana Membahasakan Isu Perempuan dan Anak dengan Etis

“Aliansi Jurnalis Independen awalnya dibentuk untuk melawan rezim orde baru,” Agam Qodri Sofyan – ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Makassar mengawali pertemuan dengan menceritakan secara singkat sejarah AJI. Tudang Sipulung Komunitas Blogger Anging Mammiri pada tanggal 18 Maret lalu berlangsung di Kafe Flash Back Ice Cream & Coffee di Pasar Segar ruko RB8. Induk organisasi jurnalis ini dideklarasikan pendiriannya di Bogor pada tanggal 7 Agustus 1994.

Belajar Lagi Menjadi Peliput dan Penulis yang Etis dari Kasus-Kasus Terdahulu

Agam menjabat sebagai ketua di kepengurusan baru sejak tahun 2016. Pengurus AJI Makassar kali ini membawa misi ingin mengembalikan cara menulis sesuai kode etik kepenulisan. Mengapa? Karena belakangan makin banyak berita hoax yang menyebar. Demikian pula informasi yang bias terhadap perempuan dan anak. Di samping itu media sosial dipakai untuk menjerat generasi baru kita menjadi generasi cabul. “Titik tekan kami adalah penguatan pada peliputan dan penulisan isu perempuan, anak, dan difabel,” ujar Agam.

Suasana Tudang Sipulung kali ini. Foto: Nuur Almarwah Asrul
Agam yang juga menjadi produser di iNews TV Makassar ini menceritakan satu contoh kasus berita yang menyebabkan perempuan menjadi korban secara berkali-kali. Sang perempuan mengalami pelecehan seksual yang dilakukan atasannya. Berita tentang pelecehan itu merebak karena liputan tentangnya tersiar secara nasional. Namun apa yang terjadi kemudian? Atasan tidak tersentuh hukum sementara si perempuan justru diusir dari kampung karena dianggap aib bagi kampung dan rumahnya dibakar. Dia mendapatkan perlakuan tidak adil dengan menjadi korban berkali-kali. Baru satu contoh kasus namun ini menunjukkan bahwa kita tak boleh seenaknya menuliskan apa saja tentang sebuah kasus.

Kasus lain, masih ingat kasus anak SMA yang memukul gurunya? Kasus ini menjadi besar hingga si anak mengalami bully yang berlebihan. Dia dikeluarkan dari sekolah dan dibuat tidak bisa diterima di sekolah mana pun. Seseorang memasang foto yang salah di media sosial dan menyebutkan bahwa itu foto anak tersebut. Apa yang terjadi jika anak yang disebar fotonya menjadi korban bully? Lalu, bagaimana masa depan anak yang bersangkutan? Apakah kita memikirkannya? Pada kenyataannya, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, dia masih anak-anak yang punya hak sama dengan anak-anak Indonesia lainnya. Dalam hal ini dia bukan hanya pelaku namun juga sebagai “korban”.

“Tulislah yang baik dan benar. Cek dan ricek. Khusus untuk peliputan isu perempuan, anak, dan difabel: penting untuk menetapkan keberpihakan pada korban dan keberpihakan pada kebenaran!” tandas Agam.

Lebih Baik Menjadi Jurnalis Advokasi Ketimbang Jurnalis Obyektif


Agam mengajak hadirin untuk menjadi jurnalis warga yang berperspektif perempuan, anak, dan difabel, “Dari jurnalis obyektif, berubahlah menjadi jurnalis advokasi.”

Masih berulang lagi ajakan untuk mengubah mind set dari “jurnalis obyektif” menjadi “jurnalis advokasi”. Melakukan advokasi (pembelaan) kepada siapa/apa? Ya, seperti yang disebutkan oleh Agam sebelumnya: “keberpihakan kepada korban” dan “keberpihakan kepada kebenaran”.

Tiga contoh disebutkan oleh Agam. Yaitu mengenai peliputan isu pekerja seks komersial (PSK). Yang jamak dibentuk adalah kesan bahwa PSK-nyalah yang salah, karena menjadi pelacur. Mengapa tidak digali mengenai alasannya menjadi PSK? Lalu, mengapa saat penangkapan, bukan lelaki yang menggunakan jasa mereka yang ditangkap?



Atau pada kasus anak pelaku begal yang masih di bawah 18 tahun usianya. Janganlah diekspos anaknya hingga lokasi sekolahnya atau tempat tinggalnya. Tapi galilah penyebabnya misalnya bahwa si anak sebenarnya berasal dari keluarga yang berkecukupan tapi ayah-ibunya sibuk. Dan si anak menjadi begal “hanya” karena mau menunjukkan eksistensi kepada kedua orang tuanya bahwa dirinya masih ada!

Contoh lain yang disebutkan adalah pada kasus oknum guru yang salah kirim foto. Foto pribadinya terkirim ke sebuah grup Whatsapp. Padahal yang seharusnya dia mengirim foto tersebut kepada seorang dokter perempuan yang merawat tumor payudara yang diidapnya. Yang terjadi kemudian adalah ekspos bahwa dia melakukan tindakan tak terpuji dan dihukum secara massal. Menyedihkan.

Agam sekali lagi menghimbau agar para blogger menuliskan hal-hal yang baik dan benar dan memperhatikan kedua hal berikut:
  • Cek dan ricek, serta kroscek.
  • Cari rujukan lain, jangan hanya satu.
Sebuah kabar gembira, nanti akan ada rujukan kita dalam menulis. Karena AJI, bekerja sama dengan program MAMPU dari BaKTI saat ini sedang dalam tahap penyelesaikan dalam memproduksi Buku Saku Penulisan dan Peliputan Isu Perempuan, Anak, dan Difabel. Kalau bukunya sudah selesai, mudah-mudahan blogger Makassar bisa mendapatkan buku fisiknya atau e-book-nya.

Setelah memperlihatkan kepada kami sejumlah pilihan diksi yang etis dalam meliput isu  perempuan, anak, dan difabel, Agam tak membahas panjang lebar tentang draft penulisan dan peliputan isu tersebut. Karena memang belum selesai dan rencananya nanti masih akan ada pertemuan untuk menyempurnakan draft buku ini.

Menjadi Blogger yang Mengedepankan Etika


Saat sesi tanya-jawab, saya bertanya:
“Apa yang bisa kita lakukan jika menjadi korban dari penulisan berita yang tak berpihak dan jika menyaksikan berita yang tak berpihak pada anak/korban?”

Saya memberi contoh satu berita dari stasiun televisi lokal mengenai anak korban perkosaan yang tidak disebutkan namanya tetapi identitas sekolahnya diperlihatkan jelas-jelas, termasuk ruang kelas dan bangku tempat si anak bersekolah.
“Jika tayangan itu bias, bisa ajukan hak koreksi atau hak jawab,” jawab Agam.

Oya, pengertian kedua hak itu adalah:
  • Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak koreksi digunakan ketika seseorang atau sekelompok orang merasa terdapat kekeliruan informasi yang menyangkut dirinya atau orang lain dalam pemberitaan media, baik media cetak, media elektronik, atau pun media siber (Wikipedia)
  • Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak jawab digunakan ketika pemberitaan di media, baik media cetak, media siber, maupun media elektronik, bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dan mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang (Wikipedia).

Dalam kesempatan itu, berikan somasi[1], dengan jangka waktu 3 atau 4 bulan. Sampai media memberikan koreksinya. Jika tidak, datang ke organisasi media seperti AJI. Nanti didampingi ke LBH (lembaga bantuan hukum) untuk dibuatkan kronologinya. Nah, nanti Dewan Pers yang akan memanggil media yang bersangkutan, untuk menanyakan mengapa tidak menjawab somasi. Keputusan berikutnya ada di Dewan Pers, apakah redaktur dan media diberi sanksi (dipecat atau ditutup), atau bagaimana.

A. Bunga Tongeng menanyakan tentang dilematika penulisan isu seputar anak-anak di LeMina (Bunga merupakan blogger yang aktif di Lembaga Mitra Ibu dan Anak). Para relawan LeMina selama ini dibiasakan menuliskan hasil pantauan mereka di lapangan. Sesekali ada isu kekerasan dan isu mengenai tidak berjalannya edukasi seksual sementara anak-anak dengan mudahnya terpapar konten pornografi. Ada kekhawatiran, jangan sampai anak-anak atau warga menjadi korban.
Agam mengingatkan untuk berhati-hati. Timbang-timbang dengan seksama manfaat menyebarkan beritanya di ranah publik. Lihat sisi edukasinya di mana. Hati-hati dalam memilih kata. Jika di ranah publik ada konsekuensi hukumnya dan itu harus ditaati. “Jangan sampai bermaksud baik malah jadi buntung,” ujar Agam.

Ada ide dan keprihatinan untuk memasukkan blogger sebagai produk jurnalis. Karena Dewan Pers saat ini belum menganggap blog sebagai produk jurnalis. Hal ini dimaksudkan supaya bisa sama-sama mengontrol diri, baik bloggernya, pun Dewan Pers bisa mengontrolnya. Bila blogger terverifikasi di Dewan Pers, jika ada sengketa, Dewan Pers bisa membelanya. Caranya bisa dengan secara berkelompok dalam bentuk yayasan (berbadan hukum) dan akta notaris. Atau mendaftar menjadi anggota AJI.

Pertanyaan terakhir dari Fadli adalah mengenai etika dan mempublikasikan foto kehidupan pemulung. Bagaimana kalau di foto itu ada istri si pemulung yang terekspos, walau tak terlihat jelas wajahnya namun dia hanya mengenakan sarung?

Hadirin di Tudang Sipulung AM Maret

Agam mengingatkan agar tak mengeksploitasi pemulung sebagai “kasta terendah”. Pikirkan baik-baik apa yang hendak ditampilkan, apa esensinya menampilkan istri pemulung yang hanya bersarung. Apa tujuannya dan apakah tujuannya tercapai? Agam juga mengingatkan untuk berhati-hati meliput dan memilih kata.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sudah waktunya mengakhiri Tudang Sipulung kali ini. Bagi saya, pertemuan ini menunjukkan bahwa ada sekelompok jurnalis di Makassar yang menunjukkan dan membuktikan itikad baik mereka dalam memihaki korban sekaligus kebenaran. Dan bahwa memang masih banyak hal yang perlu diketahui oleh para blogger dalam meliput suatu isu mengingat sesekali blogger menulis setelah sebelumnya meliput sebuah kejadian atau event.

Saat menutup diskusi, saya mengutip kata-kata yang pernah saya dengar dari Pak Muliadi Mau – dosen  Ilmu Komunikasi FISIP UNHAS saat beliau menjadi nara sumber di pelatihan yang diselenggarakan oleh AJI Makassar yang saya ikuti. Pak Muliadi mengatakan, “Media tidak netral. Itu fakta. Itu makanya kita harus kritis terhadap media.”

Nah, sebagai orang yang menjalankan fungsi sebagai media (perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan), kita juga harus mampu mengkritik diri sendiri sebelum menaikkan tulisan. Dan konsekuensinya adalah, berani menerima akibat dari pesan yang kita sampaikan.

Makassar, 28 Maret 2017

Baca juga tulisan-tulisan terkait penulisan isu perempuan dan anak dan AJI Makassar yaa:






[1] Somasi adalah adalah sebuah teguran terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Tujuan dari pemberian somasi ini adalah pemberian kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat.


Share :

10 Komentar di "Bagaimana Membahasakan Isu Perempuan dan Anak dengan Etis"

  1. Dibeberapa kasus, yang kemudian edar di media online, kadang saya lebih serem lihat komentar-komentarnya... Kadang, mereka yang pernah mengomentari pedas ketika terjadi kasus bully, justru menjadi pembully. Hanya karena yang dibully melakukan kesalahan, seperti kasus anak yang memukul gurunya. Ajaib. Tapi terjadi, entahsalahnya dimana. Pemberitaannya??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhh, bisa jadi. Kesalahan kepada pemberitaan yang tidak mengadvokasi, hanya mencari sensasi di oplah atau rating :(

      Delete
  2. Terimakasih sudah mau berbagi Ilmunya, sangat bermanfaat ..... Thanks

    ReplyDelete
  3. Materinya berbobot dan penting supaya netizen lebih bijak berinternet. Pernah kejadian di lingkup RW sini aja. Waktu itu ada yang menyebarkan foto orang yang diduga kabur dari rumah majikan. Usut punya usut ternyata bukan itu orangnya. Lha kalau gini kan bisa dituntut pencemaran nama baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kasihan ya Mbak. Foto salah disebar. Untung efeknya tidak buruk :(

      Delete
  4. lengkap isi artikelnya dan memang betul seharusnya kita menuliskan yang berimbang ya

    ReplyDelete
  5. Bekerja di media memang tak mudah untuk meliput isu ibu dan anak mba. Apalagi kedua isu itu kadnag hanya diliput jika terkait kasus kriminal. Itu pun kadang tak mememnuhi kode etik ataupun P3SPS. Suatu hal yang sudah disosialisasikan sejak awal tapi masih sulit untuk dijalankan. Teirma kasih tulisannya mba

    ReplyDelete
  6. Hiks sayang ndak sempat hadir waktu itu, pas tong ada acara ke Bulukumba
    padahal menarik sekali isunya

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^