Saya
melihat jam ponsel, pukul setengah dua lewat! Tidak mungkin keburu shalat zuhur di rumah kalau
begini. Maka saya bergegas menuju WC. Sebelumnya, saya menengok mushallah.
Alhamdulillah pintunya terbuka. Di dalam mushalla, di atas karpet di tengah
ruangan, dua orang laki-laki sedang berbaring.
Usai
wudhu, saya masuk mushalla dan mengerjakan shalat zuhur. Usai shalat, kedua
lelaki itu ternyata sedang terjaga tetapi mereka masih dalam posisi berbaring. Saat
tengah mengemas kembali alat shalat, ekor mata saya menatap pemandangan tak
lazim. Salah satu dari kedua lelaki yang sedang ngobrol berhadap-hadapan dalam
posisi berbaring itu, meletakkan kakinya di atas kaki lelaki yang lainnya.
Glek. Setahu saya, itu bukan
perilaku normal dua orang lelaki. Buru-buru saya memasukkan peralatan shalat ke
dalam tas lalu ke luar mushalla sambil beristighfar.
Fort Rottedam |
Sampai
di tempat pertemuan, kawan-kawan sudah tak ada. Mereka sudah pulang semua.
Berarti saya harus menunggu jemputan sendirian di Fort Rotterdam ini. Saya
melangkahkan kaki menuju sebuah kursi panjang yang terletak dekat kedai souvenir.
Saya
tak membawa buku bacaan. Berarti saya
hanya bisa menghabiskan waktu dengan mengamati orang-orang di sekeliling saya.
Fort Rotterdam di hari libur Nyepi ini ramai dikunjungi. Berkelompok-kelompok
orang terlihat di seantero pekarangan. Ada yang duduk saja di pekarangan yang
asri, ada yang melihat-lihat museum.
Mata
saya menatap pemandangan aneh lagi. Kali berasal dari dua orang lelaki yang
sedang duduk-duduk santai di atas rumput pendek. Seorang bocah lelaki bermain
di sekitar mereka.
Kedua
lelaki itu, sebut saja A dan B. A menelisik rambut B. Gerakannya seperti
gerakan sedang mencari kutu atau ketombe. Keduanya terlihat riang. Tak lama
kemudian, gantian B yang menelisik rambut A. B melakukan gerakan yang sama
dengan yang dilakukan A sebelumnya.
A
yang gemulai terlihat manja kepada B. Mereka terus bercengkrama menikmati siang
yang tenang di Fort Rotterdam. Tak lama kemudian keduanya berfoto selfie.
Setelah itu A memotret B, kemudian gantian B memotret A.
Untung
saja suami saya datang tak lama kemudian. Duh
Allah, perasaan saya tak enak mengingat pemandangan itu. Pemandangan yang
menurut saya bukan perilaku wajar dua orang lelaki. Astaghfirullah hal ‘azhim.
Mudah-mudahan Allah menjauhkan saya dan keturunan saya dari hal-hal yang tidak
baik.
Makassar, 31 Maret 2014
Share :
Amiin...Ya Allah...sy jg suka merinding bila melihat hal spt itu mak Niar...terkadang saya berfikir apakah mereka tidak takut dengan murka Allah?...ataukah mereka tidak mengenal Allah dan perintah serta larangan-Nya...Naudzubillah min dzalik...
ReplyDeleteNa'udzu billah min dzalik Mbak :(
DeleteItu yang di musala seandainya malam-malam & pas mati lampu, pasti adegannya lrbih...
ReplyDeleteDuh :(
Delete*bergidik ngeri*
ReplyDeleteuntung penjemputnya segera datang yah kak...
Iya Dien :(
DeleteNgeri ya mak..... di Bali malah ada komunitasnya, ada yang gay ada juga yang lesbian dan bysex...... mereka bahkan punya pantai sendiri, bar, restaurant bahkan tempat masage khusus. Pria-pria muda setengah telanjangpun dilelang.... Naudhubilaah Min Dzalik @FerdyBookelmann
ReplyDeleteAduh Mak .. lebih ngeri lagi ...
DeleteHaduh ngeri Mak. Sering aku lihat pemandangan seperti itu. Semoga mereka cepat bertobat. Dan semoga keluarga kita terhindar dari hal-hal seperti itu...
ReplyDeleteAamiin .. semoga
DeleteAq bahkan pernah melihat temanku sendiri mbak :(
ReplyDeletemerinding membacanya maak..tunggu postinganku tentang pendidikan seks usia 0-7 tahun besok ya mak di WEB KEB. ada menyinggung tentang fase pembentukan identitas jenis.
ReplyDeletengeri mak bacanya --" berarti bener adanya kalo cowo ganteng pacarnya ganteng juga >.<
ReplyDeleteSahabat dekatku sendiri punya pengalaman pahit (sekali) dengan kaum gay. Setelah menikah, baru ketahuan klo ternyata suaminya itu gay. Jadi pernikahannya cuman dipakai buat kedok saja. Nauzubillah min dzalik! Rasanya memang tidak takut dengan Allah sama sekali mak. Larangan Allah dilanggar, janji pernikahan yang kokoh (mitsaqan ghaliza) yang setara perjanjian dengan nabi atau diangkatnya bukit thur pun dianggap senda gurau.
ReplyDeleteHm.. kasihan ya. Pasti harga hotel di Makassar mahal sampai-sampai mereka sulit mendapatkan ruang untuk berekspresi.
ReplyDeleteHahahaaa orang mereka yang aneh2 malah mak Mugniar yg malu. Susahnya ya yang begitu malah yg gak tau malu.
ReplyDelete