Masuk Neraka Siapa Takut: Utang yang Terbayar

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi “undangan hajatan” di blog sobat blogger Hariyanto Wijoyo. Amat sulit menuliskannya karena harus membongkar aib sendiri dan berusaha menutupi yang lainnya. Namun bukan maksud saya menyebar aib orang-orang yang terkait di dalamnya makanya nama-nama yang terlibat saya rahasiakan. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi pengingat bagi saya untuk tidak melakukannya lagi dan bisa menjadi bahan pelajaran untuk siapa pun yang mau belajar bersama saya.

Saya ditunjuk kawan-kawan angkatan untuk menjadi bendahara sebuah kegiatan bersama di daerah lain. Sebut saja itu kegiatan EST. Tanggal keberangkatan kami sudah ditentukan. Sebagian besar dana sudah terkumpul. Tiba-tiba pada suatu sore, A menyatakan hendak meminjam dana kami sebesar Rp. 500.000.

“Lusa dikembalikan,” demikian penegasan A.

Saya menyetujuinya saja, mengingat posisi A sebagai ketua panitia sebuah kegiatan besar di kampus. Lagi pula hanya dua hari. A sedang membutuhkan dana saat itu sementara dananya baru masuk dua hari lagi. Karena amat mendesak, ia meminjam kepada kami. Sebagai sesama fakultas, saya harus membantunya. Dengan disaksikan seorang teman yang menjabat wakil bendahara, saya memberikan uang sejumlah yang dimintanya.

Namun janji itu tak terpenuhi dua hari kemudian. A sangat sibuk karena kegiatan itu berskala besar. Sub kegiatannya banyak, pesertanya pun banyak. Hingga hari keberangkatan kami, uang itu tak kunjung kembali. Beberapa kawan mulai menunjukkan sikap tak senangnya pada saya.

Saya merasa amat tertekan. Tak enak pada teman-teman. Permintaan seorang kawan untuk memberikan tip tambahan kepada sopir bis yang mengantar kami tak saya gubris karena berusaha menghemat pengeluaran. Pikiran saya ruwet. Uang kami belum kembali padahal perjalanan masih beberapa hari lagi. Bagaimana kalau dana kami tak cukup? Untung saja seorang dermawan di antara kawan-kawan dengan tulus membantu sehingga kami tak perlu membayar penginapan.

Sumber: eofdreams.com

Secara tak terduga datang bantuan dari Makassar. Beberapa orang yang peduli, menyisihkan uang SPP dan uang kiriman orangtua mereka dari kampung. Dana yang terkumpul itu dikirimkan kepada kami. Tentu saja, setelah uang kami yang dipinjam itu dikembalikan, uang mereka harus dikembalikan. Saya pun bisa lebih menikmati perjalanan kami.

Sepulang dari EST, nyaris saja saya melupakan bantuan dana dari mereka yang baik hati itu. Hingga suatu hari B mengatakan kepada saya sesuatu yang membuat saya stres berat selama berbulan-bulan. “C dulu pinjam uang sama Saya, katanya dikirim untuk EST Kalian. Tapi sampai sekarang Dia tidak membayarnya,” ujar B.

Saya terperanjat. Saya baru benar-benar sadar kebaikan hati C. Karena khawatir kami kehabisan dana, ia mengupayakan dana itu dengan mengorbankan uang SPPnya dan meminjam sisanya kepada beberapa orang lagi. Seharusnya saya mengembalikan uang mereka!

Saya bingung sekali sementara A tidak kunjung mengembalikan uang itu. Kegiatan besar itu rupanya tidak rapi dalam urusan pendanaan. Uang yang sedianya akan diberikan kepada saya, terpakai oleh D untuk sebuah sub kegiatan. Saya tak bisa sepenuhnya menyalahkan A. Bebannya berat sekali karena banyaknya masalah yang harus dibereskannya usai kegiatan besar itu.

Untuk berterus terang kepada orangtua, saya tak berani. Saya pasti dimarahi. Di masa itu, bagaimana caranya saya yang anak pegawai swasta kecil ini sanggup mengembalikan uang orang sebesar Rp. 500.000?  Lagi-lagi saya merasa tertekan.

Saat mendengar pengurus senat mahasiswa yang baru sedang berusaha membereskan masalah-masalah yang ditinggalkan kegiatan besar itu, saya mendapatkan sedikit titik terang. Saya membicarakan masalah saya kepada pengurus senat. Alhamdulillah, mereka membantu. Sebagian dari utang itu terbayar. Utang kepada B segera saya bayar.

Saya memutar otak untuk mencari cara mengembalikan sisa utang. Masih ada dana di tangan saya yang bisa dipakai sebagai modal. Satu-satunya cara yang terpikir adalah mengusahakan pembuatan stiker islami dan menjualnya kepada teman-teman.

Saya menghubungi E. Saya menceritakan masalah saya dan memintanya untuk mendisainkan dan mencetakkan beberapa macam stiker. E bersedia, ia bahkan tak mau dibayar sepeser pun untuk jasanya.

Saya meminta bantuan beberapa kawan untuk menjualkan stiker-stiker itu. Hasilnya bisa digunakan untuk membayar semua utang yang tersisa. Bahkan masih ada sisanya. Setelah berunding dengan beberapa kawan, sisa uang itu digunakan untuk membantu seorang kawan yang amat membutuhkan. Alhamdulillah, masalah uang itu terselesaikan dalam jangka waktu setahun lebih setelah EST.

Setelah rentetan panjang berbagai kejadian tak mengenakkan, ending ini menjadi pelajaran yang teramat berharga bagi saya. Tak mudah memegang amanah sebagai pemegang uang milik banyak orang. Kalau ada masalah, tanggung jawabnya teramat berat. Harus memberlakukan perjanjian hitam di atas putih meski kepada sahabat sekali pun, untuk menjaga kemungkinan yang tak terduga. Waktu dua hari memang tak lama tapi ada saja hal tak terduga dalam jangka waktu dua hari itu.

Pelajaran terpentingnya: jangan gegabah mengeluarkan uang, harus selalu berkoordinasi dengan organisasi, terutama ketua. Ini kesalahan saya. Karena saya pikir pasti akan kembali, saya tak menolak waktu diminta oleh A. Padahal tak ada yang pasti di dunia ini.

Pelajaran terpenting berikutnya: sadari baik-baik tanggung jawab dan resiko pemegang uang milik orang banyak. Yang terakhir, saya harus mengawasi, mendampingi, dan memberi pengarahan kepada anak-anak saya bila kelak mereka terlibat dalam sebuah organisasi. Jangan sampai mengalami hal yang sama dengan saya.

Bersyukur masih ada orang-orang baik yang membantu. Ada C, pengurus senat mahasiswa, dan E. Allah masih menyayangi saya dengan memberikan jalan keluar dari permasalahan ini. Mudah-mudahan kejadian ini tak terulang lagi, juga tak dialami lagi oleh anak-cucu saya.

Makassar, 18 November 2013

“Artikel ini diikutkan sebagai peserta Fiesta Tali Kasih Blogger 2013 BlogS Of Hariyanto – Masuk Neraka Siapa Takut!!!??? ”

Share :