Gorontalo is Always in My Heart

Tulisan ini saya buat hampir dua bulan yang lalu.
Untuk web Saronde (komunitas blogger Gorontalo), 
di mana saya juga bergabung.
Dulu, saya punya akses sebagai kontributor.
Entah kenapa sekarang tercerabut.

Makanya saya mengirim via web.
Sayangnya sampai sekarang belum dimuat.
Padahal saya sudah melapor berkali-kali.
Dengan cara menulis komen di web, facebook, dan twitter.
Daripada hanya menghuni hard disk.
Hari ini saya posting di sini saja..

Untuk Saronde yang sedang tidur.
Semoga tak tertidur selamanya ...

Halo warga Saronde.

Perkenankan saya memperkenalkan diri kembali setelah lebih setahun tidak mengisi web ini. Nama saya Mugniar Marakarma, akrab disapa Niar. Jika kalian lebih muda dari saya dan suatu saat nanti kita berjumpa, please call me “Kak”, jangan “Bu” karena sapaan “Kak” membuat saya merasa akrab dengan sang penyapa. Saya lahir, besar, dan tinggal di Makassar. Pasti nama belakang saya asing bagi para pembaca. Nama belakang saya itu adalah nama dari ayah saya yang orang Bugis asli.

Kue kering "kerawang" khas Gorontalo 
Mengapa saya tertarik bergabung dengan Saronde? Karena darah Gorontalo mengalir dalam diri saya, melalui ibu saya. Ibu saya bernama Mientje Usman, anak dari Ismail Usman dan Fatmah Nento. Ibu merantau ke Makassar dan kuliah di FT UNHAS pada tahun 1960, namun tidak selesai karena alasan ekonomi.

Sudah bisa ketebak kan, bagaimana kelanjutannya. Ya, singkatnya Ayah dan Ibu bertemu, saling jatuh cinta, dan mereka menikah pada tanggal 4 September 1971. Ibu saya mematahkan anggapan kebanyakan orang Gorontalo bahwa orang Bugis itu “tukang kawen”. Alhamdulillah hingga sekarang Ayah masih setia pada satu istri. Anak sulung mereka meninggal, kemudian berturut-turut lahirlah saya dan ketiga adik saya. Sayangnya salah seorang adik saya meninggal pada tahun 1978.

Sering kali saya ditanya, “Orang apa?” maka pasti saya menjawabnya dengan lengkap, “Bapak Saya orang Bugis, ibu saya orang Gorontalo.”

Dari kecil saya akrab dengan bahasa Gorontalo yang mengandung banyak vitamin “O”. Saya terbiasa mendengar Ibu bercakap-cakap menggunakan bahasa ini dengan seorang sepupunya yang tinggal bersama kami. Tanpa Ibu sadari, ia membentuk saya menjadi pengguna pasif bahasa Gorontalo.

Hingga kini, Ibu tak menyadari kemampuan berbahasa Gorontalo yang saya miliki, ia selalu mengira saya tak paham bahasa ini. Bila bercakap-cakap dengan kerabat tentang sebuah rahasia, ia menggunakan bahasa Gorontalo agar saya yang lalu-lalang di dekatnya tak tahu. Ibu salah, walau tak paham detil percakapan, saya mengerti apa yang tengah ia perbincangkan.

Kosa kata bahasa Gorontalo saya masih ada dalam memori saya hingga kini. Seperti monga, mongilu, mongili (ups J), ila, dila, tau, bele, kadera, tanggu, tilonthahu, binthe, no’u, uti, ati olo, panggola, ilo lipata, batata, wa’u, dan watiya. Pun istilah seperti: ana basudara dan cucu basudara. Juga untaian kalimat: tete tete’o toitato watopo dan te Ali lotali tali to patali lodehu to ali. Lidah saya pun akrab dengan makanan Gorontalo seperti bilenthango, dabu-dabu, ilabulo, ile’e, cara isi, ilahe, dan ilepa’o.

Secara “darah”, keturunan saya sekarang tinggal memiliki ¼ darah Gorontalo karena saya menikah dengan orang Bugis. Adik-adik saya pun menikah dengan orang Sulawesi Selatan. Sayang, kami tak memenuhi harapan sebagian keluarga agar ada salah satu dari kami yang menikah dengan orang Gorontalo. Ya bagaimana ... jodohnya bukan orang Gorontalo.

Tapi bagi saya pribadi, Gorontalo selalu di hati. Sampai saat ini pun kepada orang yang menanyakan asal saya, saya masih menyebut Gorontalo. Bahkan saya sering norak bila “bertemu” orang Gorontalo di dunia maya. Saya suka sok akrab dengan meyapa, “Wolo habari?” lalu menjelaskan asal-usul Ibu saya tanpa diminta.

Oya, tentang sok kenal ini, saya bertemu seorang sepupu di facebook secara tak sengaja. Ia meng-add saya setelah membaca kenorakan kalimat “wolo habari” saya pada seorang kawan baru di wall sang kawan. Kami kemudian saling mengirim pesan inbox dan setelah saling mengusut “tanjakan” (lawan dari “keturunan”, maksud saya) kami pun tahu bahwa kami memiliki hubungan darah.

Dengan alasan “Gorontalo selalu di hati” itu pulalah yang membuat saya mendaftarkan diri untuk menjadi warga Saronde. Namun maaf, saya belum mendaftar milisnya karena entah kenapa e-mail Yahoo saya sulit saya masuki akhir-akhir ini.

Ada sebuah label dalam arsip di blog saya berjudul Celebesiana. Beberapa tulisan di dalamnya memuat sekelumit hal yang saya tahu tentang Gorontalo, seperti:
Kerawang Gorontalo: Dari Kain Hingga Kue Kering (tulisan ini telah meraup 2.588 page views sejak ditayangkan pada tanggal 11 Oktober 2011)


Ah, tulisan ini seperti ingin mendapatkan persetujuan ataupun pembenaran dari anda ya? Yah, singkatnya saya mau bilang bahwa hingga detik ini dan sampai kapan pun: Gorontalo is Always in My Heart.

Makassar, 28 Februari 2013

Mugniar | Ibu 3 anak | @Mugniar | http://mugniarm.blogspot.com


Share :

9 Komentar di "Gorontalo is Always in My Heart"

  1. mungkin nanti anak-anak tante yang akan menemukan jodoh di Gorontalo :)

    ReplyDelete
  2. wah aku selama ini anggilnya mbak, jadi di ganti kak aja ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo buat mbak Lidya, manggil apa saja bisa :)

      Delete
  3. Terimakasih untuk tulisannya Kak. Memang kami akui admin saronde saat ini lagi disibukkan dengan urusan kantor masing-masing. Kami mohon maaf terlalu lama Kakak menunggu. Kami akan usahakan untuk terpasang dalam website saronde.org dan kita bisa berhubungan lagi. Terimakasih Kak. Salam Kenal, Agus Lahinta @aguslah

    ReplyDelete
  4. gorontalo... saya serasa telah lama mengenalnya setelah baca ini :)
    jadi, di sana kosa katanya banyak menggunakan "O", hampir seperi Jawa mungkin ya ^^

    tapi ... Saronde itu apa?

    ReplyDelete
  5. ya ampun.. saya & mama saya kangen banget sama kue kering khas gorontalo huhuhu..

    *pernah ikut papah dinas di gorontalo setahun* :D

    ReplyDelete
  6. Wkwkw... saya pikir Kak Niar emang anak bugis murni. Saya nemu artikel ini sebetulnya sedang mencari keyword komunitas gorontalo. Terus lihat blognya Ka Niar membahas gorontalo. Jadi penasaran, eh tahunya putri gorontalo.

    Kak Niar miriplah Habibie kak. Ayahnya Habibie Gorontalo, Ibunya orang Jawa.

    Tetapi, apapun itu dan bagaimana pilihan kakak itu emang takdir.
    Kalau saya anak Gorontalo Kak Niar. Pas menikah, jodohnya ternyata orang Sinjai. Wkwkwkw...

    Salam kenal kak Niar. Walaupun saya ngak dikenal dekat. But I really know who you are. One of the best blogger from Sulawasi.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^