Dari Kearifan Masa Lampau Hingga Ilham Arief

Masyarakat tradisional bangsa kita pada umumnya memiliki aturan-aturan yang mengandung nilai kearifan lokal. Masih banyak dari mereka yang hidup terasing dari masyarakat modern. Sementara masyarakat modern konon semakin cerdas dan semakin mengikuti tren teknologi, mereka tetap dengan aneka aturan adat yang mereka patuhi.

Terlepas dari apakah kepatuhan mereka karena takut sanksi mistis yang bisa menimpa ataukah karena kesadaran menjaga lingkungan, nilai-nilai yang mereka pegang erat tetaplah menghasilkan tindakan arif terhadap lingkungan.

Secara tak sadar, apa yang mereka lakukan pada saat ini merupakan tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi. Seperti yang kita ketahui, efek rumah kaca menyebabkan suhu bumi makin panas, dan menimbulkan berbagai macam dampak seperti makin meningkatnya permukaan air laut, semakin parahnya bencana banjir di mana-mana akibat cuaca ekstrim, dan lain-lain sebagainya (seperti yang saya paparkan dalam tulisan berjudul Bersinergi dalam Adaptasi Perubahan Iklim).

Definisi adaptasi dalam hal ini adalah: bentuk penyesuaian dalam sistem alam atau manusia sebagai respon terhadap rangsangan iklim aktual atau yang akan terjadi atau efeknya untuk mengurangi bahayanya atau mengeksploitasi kemungkinan manfaatnya. (IPCC 2001, Annex B)
Masyarakat Baduy, di kabupaten Lebak, Banten, menjaga sungai mereka dengan membagi pemanfaatan area sungai untuk mandi, mencuci, buang air, dan konsumsi sehari-hari. Meski mereka tak memiliki kamar mandi, segala kegiatan yang berhubungan dengan air menggunakan sungai namun sungai mereka tetap jernih.

Banyak di antara aturan adat itu mengatur hubungan mereka dengan alam. Sebut saja masyarakat adat adat Karampuang, di desa Tompo Bulu, kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Ada larangan mengambil kayu ataupun rotan dari dalah hutan adat tanpa izin dari Dewan Adat. Ada pula larangan untuk mengambil madu pada saat-saat tertentu, yang jika dihubung-hubungkan pada masa itu kegiatan mengambil madu bisa mengganggu kedamaian lebah dan berfek kepada terganggunya proses penyerbukan tanaman yang memerlukan perantaraan lebah.

Demikian pula di Enrekang, masyarakat Massenrengpulu dilarang sembarangan mencabut ranting. Di Dongi, Sorowako, sumber mata airnya amat jernih. Masyarakatnya masih memelihara hutan yang masih sangat alami.

Di kabupaten Soppeng, di sekitar Danau Tempe, eksploitasi ikan di danau dilakukan dengan mengadakan pembagian area yang diumumkan sebelumnya lelang penentuannya. Ada pula waktu-waktu yang ditetapkan. Tak sepanjang tahun, ada waktu-waktu di mana semua kegiatan eksploitasi ditiadakan, memberi kesempatan bagi ikan-ikan untuk berkembang biak.

Masyarakat adat Kajang, Bulukumba memiliki pesan-pesang moral (Pasang ri Kajang) yang terpelihara sejak zaman dulu, seperti: jagai linoa lollong bonena, kammaya tompoa langika, siagang rupa tauwa, siagang boronga (peliharalah bumi beserta isinya, demikian pula langit, demikian pula manusia, demikian pula hutan).

Ada pula pesan yang berbunyi “Dijadikan bumi beserta isinya, untuk dimanfaatkan oleh manusia yang hidup di bumi, tetapi ingatlah apabila bumi marah kepadamu, tak ada yang dapat mencegahnya.”

"Apabila pemerintah sudah berdagang, maka binasalah tanaman,
binasalah negeri, serta rakyat banyak, dan
muncullah seratus empat puluh jenis petaka
."
Sumber: 
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31082126.pdf
Pesan lain berbunyi punna a’danggangmo pamarentayya, panra’mintu lamung-lamunga, panra’ tommi pa’rasanganga, siurang tu ta’ balaya, battu tommi pa’sihu-sihu sibilangngang patampulo. Artinya: apabila pemerintah sudah berdagang, maka binasalah tanaman, binasalah negeri, serta rakyat banyak, dan muncullah seratus empat puluh jenis petaka.

Untungnya masih ada penghargaan dari berbagai pihak dalam melestarikan upaya masyarakat seperti ini sehingga mereka, yang bisa dibilang “masih” terasing ini tak merasakan dampak dari bencana banjir yang bulan Januari lalu melanda masyarakat bersama 9 kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.

Bukan lagi rahasia bila pembangunan besar-besaran di kota seperti Makassar banyak mengabaikan etika lingkungan[i], tengok saja ruang hijau kota (taman kota) yang amat minim di kota ini, tak sebanding dengan pertumbuhan ruko dan mal. Tindakan pemeliharaan pun tak maksimal, contohnya pemeliharaan kanal yang seharusnya bisa mencegah banjir tak berarti apa-apa karena mengalami pendangkalan yang parah.

Lihatlah kemegahan mal bawah tanah di bawah lapangan Karebosi - alun-alun kota Makassar. Memang lapangan Karebosi tetap hijau tetapi di bawahnya, areal resapan air jauh berkurang ribuan meter kubik karena terganti dengan bangunan (mal) besar berbahan beton, termasuk "terowongan" penghubung ke mal di seberangnya.

Setitik harapan muncul dalam hati saya ketika membaca sebuah berita[ii] baru-baru ini. Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin berkata, “Ke depannya, pemkot Makassar akan berupaya mengoptimalkan beberapa kawasan sumber daya alam yang sudah ada, dan mengembangkan kawasan baru dengan harapan kawasan itu mampu menjadi contoh yang berorientasi pada perbaikan lingkungan seiring dengan konsep tata ruang Makassar. Oleh karena itu, dokumen analisis perubahan iklim ini akan menjadi pendukung konsep itu.

“Janji” ini diungkapkannya ketika menerima kunjungan tim analisis tiga lembaga badan dunia (UNDP, UNEP-Roap, dan UH-Habitat), di ruang kerjanya, pada hari Selasa, 12 Februari 2013. Selama di Makassar, ketiga lembaga dunia itu melakukan penelitian dan kajian analisis di danau Balantonjong dan sungai Tallo. Ilham optimis jika dokumen analisis atau penilaian kerentanan terhadap dampak perubahan iklim sudah diterimanya maka dalam waktu dekat Kota Makassar akan menjadi contoh daerah penanggulangan resiko perubahan iklim di Indonesia.

Walau kelihatannya - dari bencana yang sudah melanda hal ini agak terlambat, setidaknya kita harus menyambut dengan tangan terbuka upaya pemerintah. Apalagi adaptasi bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri, namun perlu diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang utuh. Barangkali saja Makassar punya langkah “kecepatan tinggi” dalam mengimplementasikan adaptasi terhadap perubahan iklim. Semoga.

Berbagai pihak telah cukup lama mengupayakan dengan serius tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim. Karena efeknya mengglobal, memang perlu gerakan dari berbagai arah, apalagi PBB telah mewadahi terbentuknya kesepakatan banyak negara dalam sebuah konvensi (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992

Banyak individu dan organisasi independen yang telah mengusahakannya, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Sebut saja Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

Yah, agak terlambat tak mengapa, daripada tidak sama sekali. Kami tunggu janjinya pak walikota!

Makassar, 15 Februari 2013

Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Oxfam yang bertema “ Masyarakat dan Perubahan Iklim “



Referensi:

  • http://green.kompasiana.com/iklim/2011/05/03/suku-baduy-air-romantisme-kearifan-lokal-sepanjang-masa-361753.html
  • http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31082126.pdf (dalam artikel berjudul Hurupu’ Sulapa’ Eppa, Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal yang ditulis oleh M. Asar Said Mahbud)
  • http://www.streamindonesia.org/resource-center/adaptasi-perubahan-iklim?language=id
  • http://cakrawalaberita.com/metro-makassar/pemkot-segera-miliki-dokumen-perubahan-iklim
  • Buku kumpulan tulisan “Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan”, penyunting Andi M. Akhmar Syarifuddin, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI bekerjasama dengan Masagena Press, 2007.




[i] Menurut Keraf (2005) Etika Lingkungan adalah disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip norma yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut, dinukil dari artikel berjudul Hurupu’ Sulapa’ Eppa, Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal yang ditulis oleh M. Asar Said Mahbud)

[ii] Selengkapnya, baca di: http://cakrawalaberita.com/metro-makassar/pemkot-segera-miliki-dokumen-perubahan-iklim


Share :

18 Komentar di "Dari Kearifan Masa Lampau Hingga Ilham Arief"

  1. Stunning tulisannya kak ... :)
    Btw semoga janji pak wali bisa segera terealisasi dan makassar jadi 'hijau' bersemi yaa :)

    Sukses lombanyaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Stunning? Iyakah?
      Aamiin, semoga. Sy berharapnya sih yang diperhatikan seluruh kawasan kota ini, bukan hanya beberapa kawasan ...

      Delete
  2. heh? di enrekang juga ada yah? wah, sya baru tau mbak. maklum di enrekangnya "saya", masyarakatnya sudah heterogen, manusianya juga sudah kompleks. jadinya tergerus sedikit demi sedikit.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ada. COba deh tanya2, trus nanti bikin reportasenya kalau sudah jalan2 di sana. Dan, jangan lupa colek saya kalo sudah posting ya Aci ... :)

      Delete
  3. serba susah sekarang ini ya mbak, untuk suku yang dipedalaman itu malah bagus bisa menjaga alam... semua memang berhubungan jadi cuaca sekarang ini susah ditebak, dan para petani jadi susah...

    yang hidup di pedasaan masih mengalami kemudahan mencari air, tapi suatu saat nanti saat industri mulai masuk semua akan berubah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah2an makin banyak yang memperjuangkan kearifan di daerah2 terpencil hingga tidak perlu dimasuki industri ya mas Agus

      Delete
  4. quote nya bener2 ngena banget ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. KOq kebetulan ya nyari referensi tulisan ini dapat pesan kuno itu ... dan kebetulan pula, saya baru baca ttg janji pemerintah itu ...

      Delete
  5. itu pak walinya kalau lupa harus di ingetin, karena penghijauan selain sebagai paru papru kota juga pemanis tem[at obyek obyek vital pariwisata khususnya, nice share

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apalagi Makassar mau dijadikan kota dunia. Terimakasih mas. Postingan ini utk mengingatkan juga

      Delete
  6. bagus tulisannya
    bikin makin sadar tentang "kesehatan" bumi.

    ReplyDelete
  7. tulisannya inspiratif mbak, hebat, Mampu menyadarkan saya untuk peduli lingkungan. Hal kecil yang sudah terbiasa saya lakukan ya buang sampah pada tempatnya.

    Kebanyakan yang belum sadar dengan lingkungan adalah masyrakat menengah, kalo yang atas udah sadar, cuma ngga dipraktikkan semata-mata mengejar kepentingan komersial

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang pertama kali yang harus diusahakan sebaik mungkin ya membuang sampah pada tempatnya ya mas.

      Kalangan bawah memang yang masih banyak yang tidak peduli soal sampah padahal mereka sendiri yang kena dampaknya (dengan cepat dan langsung). Kalangan atas, masih ada saja yang buang sampah tidak pada tempatnya.

      Delete
  8. As usual, tulisan2 mbak Niar selalu padat, berisi dan penuh makna. Tulisannya keren mbak, semoga menang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aduh mbak Ecky, biasa saja mbak. Mbak Ecky membuat saya kembang kempis nih :D
      Aamiin. Ikutan yuk

      Delete
  9. oh masih menjabat walitota toh... :)
    ternyata masih ada janjinya yang belum terpenuhi, tagih terus bro :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih dong, kan melanjutkan masa jabatannya :D
      Ayuk ditagih sama2 :)

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^