Bersinergi dalam Adaptasi Perubahan Iklim

The Fourth Assessment Report (AR4) IPCC menyatakan bahwa penyebab terbesar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad 20 disebabkan oleh konsentrasi gas rumah kaca yang dihasilkan secara antropogenik selain itu perubahan iklim masa datang diperkirakan mengalami peningkatan suhu permukaan rata-rata global pada tahun 2090 – 2099 akan bervariasi antara 1,1 oC dan 6,4 oC.

Kenaikan muka air laut diproyeksikan 9,88 cm pada tahun 2100. Akan terjadi pula peningkatan frekuensi kejadian iklim yang ekstrim seperti gelombang panas, curah hujan yang berlebihan, dan badai secara lebih intens.

Estimasi WHO terhadap trend pemanasan dan peningkatan curah hujan akibat perubahan iklim selama 30 tahun terakhir telah menyebabkan kerugian nyawa sebanyak 160.000 orang dan sekitar 77.000 kematian terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Berdasarkan data observasi dan model di Indonesia, kenaikan tinggi muka laut pada tahun 2030 berkisar antara 12cm - 20 cm. Tinggi muka laut berpotensi naik lebih dari 1m pada tahun 2100. Juga akan terjadi kenaikan suhu 2 – 2,5  derajat Celsius pada tahun 2100. Kenaikan suhu permukaan laut 0.2 oC/dekade. Selain itu, kenaikan curah hujan di Indonesia diproyeksikan sebesar 5 – 10% pada tahun 2100.

Untuk iklim yang berlangsung konstan, tentunya tak ada masalah. Namun dengan terjadinya perubahan iklim seperti ini maka perlu berbagai usaha untuk memperkecil ataupun mengatasi dampaknya.
Efek Rumah Kaca (green house)
Sumber: http://campaign-pelangi.or.id

Perubahan Iklim

Sebagian panas yang diterima bumi dari matahari akan terperangkap di atmosfer akibat adanya beberapa jenis gas. Gas-gas yang menangkap panas tersebut dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) karena cara kerjanya yang seperti rumah kaca (green house). Seperti yang kita ketahui, di dalam green house suhunya diatur agar cukup hangat sehingga tanaman dapat tumbuh. Terperangkapnya panas oleh gas-gas di atmosfer dikenal dengan istilah efek rumah kaca. Sejatinya, efek rumah kaca diperlukan agar permukaan bumi cukup hangat untuk didiami. Namun aktivitas manusia membuat konsentrasi GRK semakin tinggi dan menyebabkan suhu permukaan bumi semakin panas sehingga terjadilah perubahan iklim.

Aktivitas Manusia yang Mampu Mengubah Iklim

Emisi dari pembangkit listrik dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar yang bersumber dari fosil seperti minyak bumi dan batubara, adalah sumber utama karbondioksida (CO2). CO2 merupakan GRK yang memiliki pengaruh terbesar terhadap terjadinya perubahan iklim. CO2 juga banyak  terkandung pada pohon sehingga kebakaran dan penebangan hutan menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK.

Pemakaian pupuk buatan pada pertanian menghasilkan nitro oksida (N2O). Selain itu, pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, dan sampah organik akan melepaskan gas metana (CH4). Proses serupa terjadi pada tanah yang tergenang air, seperti daerah rawa-rawa dan persawahan. N2O  dan CH4 juga  termasuk ke dalam golongan GRK.

Penggunaan gas-gas untuk freon AC dan campuran produk kaleng semprot serta proses produksi beberapa industri, terutama peralatan listrik, juga menghasilkan GRK.

Dampak Perubahan Iklim

Laju pertambahan penduduk yang tinggi dan modernisasi makin meningkatkan emisi karbon dan sekaligus mendorong eksploitasi hasil laut yang tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan rusaknya terumbu karang makin meluas dan penggundulan hutan dan penebangan pohon yang berperan sebagai penyerap karbon yang diemisikan ke atmosfer. Dampaknya adalah:
Banjir dan tanah longsor di beberapa tempat di Sulawesi Selatan
yang terjadi Januari lalu
Sumber: http://supirpete2.com
  • Harga pangan meningkat karena hasil produksi yang menurun.
  • Siklus yang tidak sehat karena peningkatan suhu ditambah dengan populasi global akan menaikkan permintaan energi sehingga memicu lebih banyak lagi emisi. Sedangkan curah hujan, diproyeksikan akan menurun sebanyak 40 persen di beberapa lokasi.  
  • Rusaknya infrastruktur setelah banjir dan bencana tanah longsor.
  • Krisis air bersih karena penyedotan besar-besaran terhadap sumber air yang ada akibat meningkatnya jumlah penduduk/permintaan air.
  • Meningkatnya penyakit pernapasan, karena menurunnya fungsi dari paru-paru. Juga demam berdarah, diare, malaria dan leptospirosis.
  • Bencana hidrologi, misalnya meningkatnya badai dan cuaca ekstrim.
  • Meningkatnya permukaan air laut menyebabkan beberapa wilayah kehilangan daratan dan beberapa pulau tenggelam, juga mengakibatkan kurangnya daya tahan pesisir pantai sehingga rentan tehadap erosi.
  • Terjadi pergeseran musim karena adanya perubahan tekanan dan suhu udara. Alhasil musim kemarau berlangsung lama mengakibatkan bencana kekeringan dan penggurunan di beberapa tempat. Sebaliknya musim hujan berlangsung dalam waktu yang singkat dengan intensitas curah hujan lebih tinggi, mengakibatkan banjir dan tanah longsor di tempat-tempat lain
  • Hilangnya berbagai jenis keaneragaman hayati (seperti terumbu karang) karena tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan suhu bumi yang tidak menentu.
Video banjir di Maros, Sulawesi Selatan, Januari lalu
Sumber: www.youtube.com/watch?v=aLvro8qUKxM

Yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Perubahan Iklim: Mitigasi dan Adaptasi

Mitigasi adalah mengurangi emisi GRK hasil aktivitas manusia di atmosfer. Misalnya dengan menggunakan sumber energi yang lebih bersih (seperti beralih dari batu bara ke gas), menggunakan biomassa, atau sumber energi terbarukan.

Ada pula usaha mitigasi secara global yaitu melalui Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC) pada KTT Bumi tentang lingkungan dan pembangunan (UN Conferenced on Environment & Development – UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992.

Setelah itu dilanjutkan dengan Protokol Kyoto (amandemen terhadap UNFCCC, pada tahun 1997), dan yang terakhir Doha Climate Gateway (kelanjutan Protokol Kyoto periode komitmen kedua pada bulan Desember 2012).

Adaptasi adalah mempersiapkan diri dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah terjadi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi.

Pemerintah dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Pada bulan Juli 2008, pemerintah Indonesia mendirikan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Keputusan Presiden no. 48 tahun 2008 sebagai institusi utama yang bergerak dalam perumusan dan koordinasi kebijakan perubahan iklim. DNPI diketuai oleh Presiden sendiri. Dalam kesehariannya, DNPI dipimpin oleh Rachmat Witoelar (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup) dan beranggotakan 16 Menteri.

Kegiatan DNPI ditunjang oleh sekretariat dan 7 kelompok kerja yang masing-masing bergerak dalam bidang (1) Mitigasi, (2) Adaptasi, (3) Transfer Teknologi, (4) Mekanisme Pembiayaan, (5)Penggunaan Lahan, Perubahan Fungsi lahan dan Kehutanan (LULUCF), (6) Program pasca 2012, (7) Dasar Keilmuan dan Inventarisasi Data Iklim.

Kelompok kerja bertugas untuk mengumpulkan dan melakukan analisa data serta memberikan masukan kebijakan dan menyiapkan respon pemerintah atas berbagai isu perubahan iklim. Keanggotaannya terdiri atas pakar dan penggiat dari berbagai sektor, baik dari instansi pemerintah, swasta maupun LSM. DNPI berfokus pada reformasi koordinasi di kalangan kementerian dan lembaga sektoral yang relevan, untuk mengutamakan isu perubahan iklim.

Adaptasi Perubahan Iklim dalam Kearifan Lokal

Indonesia terdiri atas beragam komponen masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang masih terjaga hingga saat ini. Ada larangan yang harus dipatuhi, siapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi. Kearifan lokal yang dimiliki ini secara tidak langsung berdampak kepada kesejahteraan lingkungan.

Sebagai masyarakat modern di luar komponen masyarakat tersebut, kita perlu meninjaunya kembali dan menirunya dalam keseharian kita.

Beberapa contoh komponen masyarakat yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal:

Komunitas adat Karampuang, desa Tompo Bulu, kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan yang masih memelihara hutan adat Karampuang.

Rumah adat Karampuang
Sumber gambar: http://kabarkami.com

Dalam masyarakat ini berlaku beberapa ajaran bersifat kearifan. Salah satunya adalah: “Aja muala aju ripasanre taniya iko pasanreki. Aja to muala hilare risape’ taniya iko sapeki.” Artinya: “Jangan mengambil kayu yang sandar bila bukan engkau yang menyandarkannya. Jangan pula mengambil rotan yang terpotong bila bukan engkau yang memotongnya.”

Maksud larangan ini adalah: setiap warga sekitar hutan adat Karampuang dilarang mengambil kayu atau rotan tanpa seizin Dewan Adat. Segala yang tumbuh dalam hutan merupakan milik adat sehingga segala kegiatan harus seizin atau diputuskan melalui proses musyawarah adat.

Kelompok-kelompok masyarakat di pulau Selayar, Sulawesi Selatan yang memelihara lingkungan perairan.

Di desa Appatana, pada suatu masa pernah ada eksploitasi yang merusak lingkungan. Terdapat kerusakan terumbu karang dan biota lainnya sehingga hasil tangkapan nelayan berkurang. Akhirnya para nelayan menyadari untuk menerapkan kembali kearifan lokal yang pernah mereka miliki di masa lalu.

Maka ada larangan menangkap ikan pada wilayah tertentu kecuali seizin pemerintah dusun/desa. Selain itu nelayan dilarang memakai bahan peledak atau penyelaman dengan menggunakan kompressor. Jika melanggar, ada sanksi pembakaran kapal dan tidak diberi izin untuk kembali menangkap ikan.

Di desa Layolo, ada pranata yang menentukan Taka Sasamata sebagai DPL bersama 3 desa sekitar yang hanya boleh dikelola bila yang bersangkutan mendapat izin dari pemerintah atau desa setempat pada musim barat. Pada wilayah yang dilindungi hanya boleh menggunakan peralatan yang ramah lingkungan seperti pancing, jaring rawe, dan pukat maroami.

Khusus nelayan teripang, tidak boleh mengambil teripang yang dalam keadaan berdiri karena konon “bukan teripang biasa”. Logikanya adalah, teripang yang akan melakukan pemijahan (melepaskan telur) akan berdiri dengan posisi lubang anus pada bagian atas.

Jagung Berusia 18 Tahun di Rongi

Rongi adalah sebuah desa di pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Masyarakatnya memilki kebiasaan turun-temurun dalam menyimpan jagung untuk jangka waktu lama. Seorang tokoh masyarakat bersama Haruddin bahkan menuimpan biji jagung ketika anak tertuanya belum lahir dan masih awet di dalam gudang penyimpanannya hingga anaknya berusia 18 tahun, dengan rasa yang tidak berubah.

Ini karena mereka memiliki kebiasaan menyimpan jangung di lumbung yang terletak di langit-langit rumah mereka. Jagung simpanan mereka “terasapi dengan sendirinya” setiap hari karena terkena asap dapur yang berada tepat di bawah lumbung.

Padi gunung yang mereka tanam pun bisa bertahan lama. Padi yang disimpan di bawah rumah mereka tetap berada dalam batang-batangnya dan diikat dalam ukuran tertentu. Padi yang masih dalam bentuk gabah, masih berkulit tahan terhadap kutu yang biasa menyerangnya. Juga tahan terhadap cuaca dan binatang pengganggu lainnya karena ditutup rapat-rapat dengan kain.

Saat kelaparan hebat menyerang kesultanan Buton pada suatu masa kemarau panjang, seluruh daerah menderita kelaparan kecuali Rongi. Warga dari desa-desa lain pergi ke Rongi untuk menukarkan barang-barang mereka dengan bahan makanan simpanan masyarakat Rongi.

Biota Langka di Tanimbar Kei

Sea Cucumber
Sumber gambar: http://biology.unm.edu

Di pulau kecil Tanimbar Kei, ada beberapa Kelompok Pelestari Kampung yang berdedikasi tinggi dalam menjaga kelestarian alam dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan petinggi adat di sana. Perpaduan aturan adat (disebut sasi) dan pendekatan adaptasi membuat populasi trochus meningkat pesat.

Ada pula pemberdayaan ekonomi alternatif seperti pengelolaan rumput laut, kini amat berkembang. Di kampung Ohoiren, populasi biota laut langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan adanya sasi.

Adaptasi Perubahan Iklim yang Diusung Lembaga Independen

Lembaga-lembaga independen pun tergerak untuk melakukan usaha mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim. Di antaranya:

Oxfam


Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan

Oxfam menangani masalah peningkatan jumlah kekeringan dan banjir dengan sangat serius dalam beberapa tahun terakhir. Oxfam juga membantu masyarakat miskin untuk beradaptasi, seperti melalui teknik-teknik yang lebih baik menyangkut pertahanan terhadap banjir atau kekeringan. Contohnya, ketika tsunami dan gempa mengguncang Aceh dan Nias, Oxfam terlibat dalam pemberdayaan perempuan 

BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia)

BaKTI adalah sebuah organisasi yang mengumpulkan dan menyebarkan informasi tentang program dan bantuan untuk pembangunan di KTI (meliputi 12 provinsi dalam wilayah Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Sulawesi). Hal ini sangat membantu para pelaku pembangunan dalam mengefektifkan pekerjaan mereka.

Salah satu dari peran-peran BaKTI dalam adaptasi perubahan iklim adalah dengan memprakarsai Diskusi Regional Forum KTI di Lombok NTB pada tanggal 17 – 18 Oktober 2011. Dengan dukungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kompas, dan beberapa mitra pembangunan internasional, Diskusi Regional tahunan ini mengusung tema besar “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia”. Kegiatan ini dihadiri unsur pemerintah, aktivis LSM, akademisi, dan mitra donor pembangunan.

Diskusi Regional Forum KTI di Lombok, 2011
Sumber gambar: http://batukar.info

Diskusi ini menghasilkan 5 tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu:
  • Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional, serta masyarakat.
  • Mendorong pulau-pulau yang berdekatan untuk bekerjasama dan saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang diharapkan mendorong pulau-pulau lain untuk melakukan hal serupa.
  • Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak dengan hanya menekankan beras sebagai satu-satunya komoditi pangan tetapi mendorong konsumsi komoditi-komoditi pangan lainnya yang sesuai dengan budaya, sejarah, dan kondisi setempat.
  • Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik, ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah KTI dan tingkat nasional.
  • Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau-pulau kecil di KTI yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, melalui upaya-upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.

Adaptasi Perubahan Iklim Oleh Perorangan

Beberapa orang melakukan usaha sendiri dalam menyelamatkan lingkungan. Di antaranya:

Kamir R. Brata (Bogor)

Peneliti Institut Pertanian Bogor sekaligus staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan ini menemukan fakta bahwa lubang serapan biopori (LRB) mampu mencegah banjir. Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktivitas organisma di dalamnya seperti cacing, perakaran tanaman, rayap, dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah.                

Caranya dengan membuat lubang-lubang di tanah dengan kedalaman, lebar, dan jumlah tertentu dengan menggunakan alat bor. Lalu lubang-lubang tersebut diisi dengan sampah organik. Sampah organik ini nantinya akan menjadi sumber energi bagi organisme yang berada di dalam tanah sehingga aktivitas mereka meningkat yang akan berimplikasi kepada semakin banyaknya lubang biopori. Lubang-lubang biopori ini berfungsi sebagai lubang peresapan air yang dapat membantu mengurangi, bahkan mencegah banjir.

Walaupun ide ini belum ditanggapi secara serius oleh pemerintah, beberapa daerah sudah menerapkannya secara swadaya atau atas inisiatif pemerintah daerah setempat, contohnya di Bogor, beberapa titik di Jakarta, dan Bontang.

Maria Loretha (NTT)

Tata dan sorgumnya
Sumber gambar: http://thejakartapost.com
Perempuan yang akrab disapa Tata ini membudidayakan sorgum – sejenis alang-alang yang tumbuh liar di lahan seluas 6 hektar miliknya, di desa terpencil Pajinian – Adonara Barat, Flores Timur. Sorgum adalah tumbuhan asli NTT – provinsi yang memiliki tingkat kerawanan pangan tinggi akibat perubahan iklim. Tetapi karena pemerintah memaksakan petani-petani di sana untuk menanam padi maka  tumbuhan ini menjadi langka dan jarang dikonsumsi. Padahal dahulu, sorgum yang sangat cocok untuk ditanam di lahan kering NTT ini adalah bahan makanan penduduk asli.

Murniati (Takalar, Sulawesi Selatan)

Dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap lingkungan tempatnya mengajar, guru SD di pulau kecil Tanakeke, Takalar ini “memasukkan muatan” tentang pentingnya hutan bakau bagi kawasan pantai di kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran IPA ia membawa murid-muridnya ke lapangan  dan meminta mereka  mencatat perbedaan kehidupan di antara pantai yang masih banyak bakaunya dengan pantai yang jarang tumbuhan bakaunya.

Pada pelajaran Bahasa Indonesia, ia meminta murid-muridnya untuk menuliskan hasil pengamatan mereka terhadap kedua kondisi tersebut. Anak-anak ini menyimpulkan bahwa pantai yang ada bakaunya terjaga dari abrasi pantai. Jika di wilayah mereka yang sudah kekurangan bakau ditanami kembali tentu banyak kehidupan lain yang bisa tumbuh sehingga bisa dimanfaatkan penduduk sekitar.

Tanpa disuruh, murid-muridnya mengajaknya untuk menanam pohon bakau. Bibitnya mereka ambil dari pohon-pohon bakau sekitar pulau. Hasilnya, kini Tanakeke jauh lebih hijau dan pantainya mulai terjaga. Kini kegiatan menghidupkan kembali bakau di pulau tersebut dilakukan oleh hampir seluruh warga, bukan hanya murid-murid Murni.

***

Adaptasi terhadap perubahan iklim bukan semata isu internasional, nasional, atau lokal. Ia juga merupakan isu individu yang menggerakkan beberapa orang tangguh untuk melaksanakannya walaupun tanpa kesadaran bahwa apa yang mereka melakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka hanya peduli dengan kelestarian lingkungan dan nasib masyarakat sekitarnya bila bencana datang menerjang.

Adalah bentuk sinergi yang amat signifikan bila kemudian ada lembaga independen dan komunitas yang juga peduli dengan adaptasi perubahan iklim. Amat dahsyat sinergi yang terjadi sekiranya pemerintah daerah maupun pusat meresponnya semaksimal mungkin apalagi mitigasi internasional sudah lama diupayakan.

Dukungan dana lembaga-lembaga donor juga sangat membantu Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, selama itu berlangsung wajar tentu saja. Maksudnya, tidak merongrong kedaulatan bangsa.

Makassar, 15 Februari 2013

Referensi: 
  • Kebijakan Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam bentuk file PDF, bersumber dari: http://kebijakankesehatanindonesia.net/images/2012/asm2012/Kementerian%20LH%20Maret%202012..pdf
  • http://campaign.pelangi.or.id
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto
  • http://pslh.ugm.ac.id/id/index.php/archives/1526
  • http://sains.kompas.com/read/2013/01/20/17502648/Enam.Dampak.Perubahan.Iklim.pada.Hidup.Kita
  • http://www.oxfam.org
  • http://dnpi.go.id
  • http://iklimkarbon.com/2010/05/04/dewan-nasional-perubahan-iklim-dnpi/
  • http://blog.cifor.org
  • http://biopori.com
  • Daniel Murdiyarso, “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim”, penerbit KOMPAS, 2003.
  • Buku kumpulan tulisan “Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan”, penyunting Andi M. Akhmar Syarifuddin, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI bekerjasama dengan Masagena Press, 2007.
  • BaKTINews volume V September – Oktober 2011, edisi 71.
  • Booklet BaKTI – Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia
  • Buku kumpulan tulisan “Makassar di Panyingkul”, editor: Lily Yulianti Farida dan Farid Ma’ruf Ibrahim, Insist Press, 2007.

Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Oxfam yang bertema “ Masyarakat dan Perubahan Iklim “




Silakan juga disimak:



Share :

20 Komentar di "Bersinergi dalam Adaptasi Perubahan Iklim"

  1. panjang bgd pantesan ini untuk GA Perubahan Iklim..
    setuju saya sama mbak Niar.
    Bener bgd nih. mesti kita ini yg hars jaga diri sama lingkungan kemungkinan besar tahun2 yg disebutkan diatas bisa2 jadi kenyataan.
    tak pernah terbayngkan jika gersang pans tiada henti.

    bagus mb., menarik artikelnya,
    dan finally Sukses untuk Lombanya.
    @___@ semoga menang mb

    ReplyDelete
  2. Tanam beberapa pohon setiap musim penghujan tiba, bisa ikut mengurangi efek pemanasan global juga ya .., itu yang kulakukan selama ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah komitmen yang bagus itu. Insya ALlah menjadi amal yang besar buat penanamnya :)

      Delete
  3. gudlak mbak niar..doakan aku segera nyusul nulis.:D

    ReplyDelete
  4. panjang banget kalimat, kalau boleh saran dibuat simple aja alias gaya bahasa ilmiah populer, jd inti dari kalimat mudah dicerna :)
    dan semoga menang deh, ikut kontes'a mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini sudah dipersimpel mas ... kalimatnya sudah diusahakan tidak terlalu panjang lagi :) Makasih ya :)

      Delete
  5. pingin ngerasain jagung berumur 18 tahun jadinya, bisa gak ya ?? xixixixi :p

    sepertinya perlu usaha luar biasa untuk tetap menjaga iklim stabil ya mba, sekarang aja, cuaca udah gak jelas, ujan panas susah di prediksi ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayajuga pingin, mas Stumon :)
      Iya, cuaca jadi gak jelas begini ya. Tahun 80-an dulu, musim hujan dan kemarau signifikan sekali datangnya. Sekarang .. ? Wuuiiih

      Delete
  6. Waahh.. tulisannya komplit MAk..
    Sukses yah ngontesnya...
    eh, ngomong2, gara2 banjir Maros waktu itu, kakak saya yang dari kampung ke Mks kena dampak, harus jalan kaki dari Maros sampai bandara. Untungnya gak ketinggalan pesawat..
    Banjir oh banjir..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh kasihan. Ada yang dai Sorowako ke Makassar 24 jam lho, padahal biasanya 12 jam. Mudah2an ada langkah signifikan supaya ini tak terjadi lagi tahun depan ya mom ..

      Delete
  7. perubahan iklim yg memang menyesakkan...
    kita memang harus belajar beradaptasi dengan lingkungan yg makin ekstrim...
    sukses buat ngontesnya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Jiah ... harus beradaptasi ya. Sekuat mungkin harusnya ...

      Delete
  8. ternyata banyak juga ya orang2 keren yg aktif mengatasi perubahan iklim. baru tau aku mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak sekali mbak Win, di referensi yang punya masih banyak, tapi itu saja yang bisa saya tuliskan (kalo mo ditulis semua bisa panjaaaang sekali tulisan ini) :D

      Delete
  9. Panjang dan lengkap.... global warming memang topik paling seksi dewasa ini ya Niar... karena memang telah menjadi issue paling serius dan butuh kerjasama dari semua pihak untuk mengendalikannya....

    sukses yaaaa..... ikutan ah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya kak, topik seksi. Ditunggu tulisannya, pasti keren secara kak Al kan orang NGO yang biasa turun ke daerah2 :)

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^